Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin rapat terbatas di Kantor Kepresidenan, Jakarta, kemarin.(MI/RAMDANI)
PENYELESAIAN lewat jalur rekonsiliasi di luar jalur pengadilan tetap dipilih pemerintah dalam menyelesaikan tujuh kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu. Kesulitan dalam hal menemukan bukti dan saksi jadi pertimbangan utamanya. Pernyataan penyesalan dari negara dan kompensasi bagi para korban bakal diberikan.
"Saya pikir untuk yang sulit ditemukan bukti-bukti saksi-saksi dan tersangkanya karena sudah sekian lama peristiwanya, ya mungkin cara yang paling efektif dan paling tepat ya rekonsiliasi," kata Jaksa Agung Mohammad Prasetyo, di Istana Negara, Jakarta, kemarin.
Tahapan dalam proses rekonsiliasi yang bakal dilakukan pemerintah, ungkapnya, pertama, pengakuan adanya pelanggaran berat HAM masa lalu, kedua, penyampaian penyesalan, ketiga, restorasi atau pemulihan. Bentuknya, jelas dia, kompensasi dan rehabilitasi. Tentunya, Prasetyo menambahkan, ada upaya pengungkapan kebenarannya.
"Semuanya juga melihat ada pelanggaran berat HAM masa lalu. Hanya masalahnya, siapa yang dinyatakan korban? Karena waktu itu kaos. Semua pihak ada korban. Anda harus ikhlas memberikan maaf, dan menerima maaf," ujar dia.
Tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang disebut tak bisa ditindaklanjuti lewat pengadilan HAM ad hoc itu, yakni kasus pembantaian terhadap anggota PKI sejak 1965 yang sempat diangkat dalam pengadilan rakyat kasus pelanggaran berat HAM di Den Haag, Belanda, pertengahan November lalu oleh sejumlah aktivis HAM.
Selain itu, kasus penembak misterius di era Orde Baru, kasus penghilangan secara paksa terhadap para aktivis prodemokrasi di periode 1997-1998, tragedi Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus Talang Sari, serta insiden penyerbuan aparat bersenjata terhadap warga Wasior-Wamena pada 2003-2004.
Tiga bulan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan menyebut proses penggodokan konsep rekonsiliasi itu diupayakan untuk rampung dalam dua hingga tiga bulan mendatang. Ia berharap peristiwa gelap di masa lalu itu tak lagi jadi beban bagi masyarakat Indonesia.
"Akan sulit juga karena siapa yang jadi korban, siapa yang mengganti, akan repot. Tapi pemerintah bisa melihat dalam konteks penyesalan yang mendalam terhadap peristiwa yang terjadi dalam beberapa puluh tahun," aku dia.
Saat ditanya soal janji kampanye Jokowi-JK yang menggembor-gemborkan penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, Luhut menyebut bahwa rekonsiliasi itu merupakan bentuk pemenuhan janji itu. "Itu kan bagian dari penyelesaiannya," ujar dia.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Tanah Air yang tercantum dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian. Dokumen itu berisi penjabaran Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, 'Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti kerusuhan Mei 98, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965'. (P-4)