Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Pancasila dalam Pusaran Pilkada Serentak

Muhamad Iqbal Dosen Prodi Pendidikan IPS/FPIPS/UPI, Kandidat Doktor Ilmu Politik Unpad
30/11/2020 01:15
Pancasila dalam Pusaran Pilkada Serentak
(Dok. Pribadi)

PADA Desember 2020, di Jawa Barat terdapat tujuh kabupaten yang akan melaksanakan gelaran pemilihan kepala daerah secara langsung, yakni Kabupaten Badung, Cianjur, Indramayu, Karawang, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Pangandaran, dan satu Kota Depok.

KPU telah melakukan tahap penetapan calon pasangan bupati/wali kota yang kemudian dilanjutkan pada tahap kampanye. Pada masa pemaparan calon ini, tak jarang memunculkan sentimen yang kurang begitu baik bagi pasangan figur publik. Padahal, dalam dunia demokrasi, mereka telah melakukan hak politik aktif, dengan cara mencalonkan diri sebagai bakal calon kemudian menjadi calon pemimpin politik.

Kekhawatiran tersebut cukup beralasan karena tidak jarang tugas dari fi gur publik pada saat proses peralihan kekuasaan baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota diperankan sebagai pemikat suara para pemilih, yang tidak memiliki keterikatan secara ideologis dengan partai politik pendukung tiap calon.

Pengalaman kurang menyenangkan itu menjadi kecemasan dalam proses interaksi politik tersendiri untuk membangun kualitas demokrasi. Oleh karena itu, perlunya dikembangkan instrumen kualitas kepemimpinan para calon kepala daerah yang dapat dijadikan sebagai barometer politik sebelum menentukan pilihan politik secara langsung di tempat pemungutan suara (TPS).

Pada masa Orde Baru telah dikembangkan 36 butir penjabaran dari kelima sila Pancasila kemudian dikembangkan BP7 menjadi 45 butir sehingga kelima sila Pancasila dikembangkan dalam butir-butir secara proporsional. Hambatan psikologis politik ialah ketika mendengar kata Orde Baru menjadi fobia tersendiri dalam keberterimaan konsptualisasi.

Akan tetapi, sebagai seorang akademisi, harus menilai secara adil jika sesuatu hal yang dikembangkan itu bermaslahat bagi bangsa dan negara, tidak usah sumir untuk dijadikan sebagai bahan kajian dan reformulasi nilai Pancasila itu sendiri.

Pengembangan butir Pancasila perlu dikembangkan menjadi indikator kepemimpinan Pancasila (IKP). Pertama, indikator tersebut dijadikan acuan pertimbangan politik bagi setiap partai, untuk melakukan proses rekrutmen politik bagi siapa saja yang akan diusung partai tersebut sebagai kandidat yang bergelut dalam perhelatan pesta demokrasi, baik pada kelembagaan legislatif maupun eksekutif.

Kedua, indikator itu digunakan KPU untuk melakukan verifikasi calon pemimpin, baik dalam level nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota, apakah layak sebagai bakal calon.

Ketiga, indikator tersebut dijadikan alat ukur bagi para pemilih, mana saja pemimpin yang memiliki skor paling tinggi dalam hasil penghitungan indeks kepemimpinan Pancasila itu sehingga memiliki keteguhan batin ketika sampai di TPS, untuk memilih pemimpin yang paling mendekati karakter Pancasilais.

Keempat, indikator kepemimpinan Pancasila dapat pula dijadikan sebagai alat ukur kualitas kepemimpinan kepala daerah ketika sudah menjabat selama satu periode (lima tahun). Memunculkan wacana evaluasi 100 hari masa kepemimpinan, satu tahun masa kepemimpinan, dan bahkan lima tahun kepemimpinan para pejabat politik, berdasarkan pada indikator kepemimpinan Pancasila.

Mengapa menjadi hal yang sangat penting mengembangkan indikator kepemimpinan Pancasila? Agar dapat mengikis perilaku parasit politik dari oknum elite politik yang dapat menghambat kemajuan bangsa sehingga sendi-sendi pembangunan nasional mengacu pada ketercapaian kesejahteraan bangsa dan negara, atas dasar budaya politik Pancasila yang menjadi tolok ukur praktik politik kenegarawanan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya