Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Literasi Politik Prasyarat Pilkada Berkualitas

Eri Fauzi Rahman Pegiat Literasi Jabar, Pendiri Rumah Baca Masyarakat Cissel
09/11/2020 05:50
Literasi Politik Prasyarat Pilkada Berkualitas
Eri Fauzi Rahman Pegiat Literasi Jabar, Pendiri Rumah Baca Masyarakat Cissel(Dok.Pribadi)

SALAH satu yang menjadi indikator suksesnya penyelenggaraan pemilu (termasuk pilkada) ialah tingginya antusiasme masyarakat untuk memberikan suara yang ditunjukkan partisipasi pemilih yang meningkat. Hanya saja, tingginya partisipasi pemilih belum menjamin pemilu tersebut berkualitas.

Suasana penyelenggaraan pemilu yang kompetitif, transparan, adil, dan akuntabel, sampai saat ini belum dirasakan pada setiap penyelenggaraan pemilu. Belum lagi, jika menyinggung hasil pilihan pemimpin politik yang kompeten dan berintegritas. Faktanya, banyak ditemukan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pada setiap penyelenggaraan pemilu (pilkada), yang dilihat jangan hanya tingkat partisipasi pemilih yang tinggi, tetapi juga harus melibatkan partisipasi mutu yang berkualitas.

Untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas, dengan partisipasi yang juga berkualitas, diperlukan prakondisi tertentu. Salah satunya ialah 'perwajahan' para pemilih (voters) untuk melek, cerdas, dan kritis secara politik sehingga pilihan politiknya bersifat rasional (rational choice).

Secara sederhana, pemilih rasional (cerdas dan kritis) dapat digambarkan sebagai pemilih yang memiliki pengetahuan dan kesadaran elektoral (kepemiluan), juga bebas dari berbagai bentuk 'intimidasi' personal. Ia memiliki daya tahan terhadap serangan atau rayuan transaksional, seperti money politics, juga memahami betul arti penting suara yang mereka miliki, serta konsekuensi politik dari pilihannya di kemudian hari.

Sayangnya, usaha-usaha pembenahan 'wajah' para pemilih agar melek politik (political literacy) ini belum dilakukan secara optimal. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah, maupun peserta pemilu (khususnya partai politik), memang telah berupaya melakukan pendidikan pemilih (voter education), terutama melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi.

Hanya saja, karena keterbatasan ruang waktu, media, dan metodenya, kegiatan sosialisasi ini praktis kurang berdampak pada tumbuhnya kecerdasan dan daya kritis (political literacy) pemilih.

Secara umum, sosialisasi pemilu hanya berhasil meningkatkan pengetahuan dan kesadaran teknis elektoral, seperti kapan, di mana, dan bagaimana cara memberikan suara pada hari dan tanggal pemungutan suara dilakukan.

Tidak lebih dari itu. Alhasil, aspek-aspek substantif elektoral terabaikan. Misalnya, arti penting suara pemilih yang diberikan, pentingnya membangun otonomi, dan kemandirian politik. Lalu, dampak buruk dari praktik-praktik transaksional pembodohan, seperti money politics dan dampak atau konsekuensi pilihan politik, di kemudian hari.

Sekali lagi, hal-hal substantif tadi cenderung 'gatot' alias gagal total tumbuh di kalangan pemilih, terlebih pemilih pemula.

Kenyataannya, sampai hari ini, mayoritas dua tipologi wajah (performance) pemilih menurut Affan Gafar, yakni pertama, pemilih patronase dan kedua, pemilih Asal Bapak Senang (ABS) dalam setiap pemilu (pilkada) masih kentara.

Pemilih patronase, yakni pemilih yang mendasarkan pilihannya pada ketokohan dan figur tertentu, yang dianggap dapat mencitrakan dirinya sebagai pemimpin, sedangkan pemilih ABS, yakni pemilih yang tidak memiliki rasionalitas dan hanya menjadi pemilih follower yang mengikuti suara-suara mayoritas.

Munculnya pemilih patronase dan ABS pada pemilu (pilkada), bukan saja karena kurangnya pendidikan politik, (literasi politik), melainkan juga bisa jadi karena keengganan para pemilih itu sendiri untuk berpikir rasional. Bukan tanpa sebab, karena mereka 'sering dibohongi' politisi yang sering mengumbar janji.

Seperti kata Nikita Khrushchev, "Politicians are all the same. They promised to build a bridge, even though there was actually no river there." Politisi itu di mana pun sama, mereka selalu menjanjikan membangun jembatan sekalipun tidak ada sungai.

Kenyataan inilah yang membuat setiap penyelenggaraan pemilu (pilkada) tidak berkualitas. PR besar bagi seluruh elemen untuk bisa mendidik masyarakat agar 'melek politik'. Para pegiat literasi yang tergabung dalam berbagai komunitas harus diberikan ruang, agar bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang memang wilayah sentuhnya lebih luas.

Biasanya komunitas pegiat literasi ini bisa menjelajah kepada lintas pemilih. Terutama, pada pemilih pemula (first-time voters). Leterasi politik (political literacy) kepada pemilih pemula harus lebih diutamakan karena mereka yang benar-benar akan merasakan dampak atas pilihannya di kemudian hari.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya