Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Aturan Modifikasi Menuai Kontroversi

MI/ Nurtjahyadi
07/1/2016 00:00
Aturan Modifikasi Menuai Kontroversi
(ANTARA/ZARQONI MAKSUM)
Oleh karena itu, kabar bakal muncul regulasi yang mengatur hal itu langsung menuai kontroversi. Apalagi, wacana pengetatan aturan itu disertai dengan denda tilang yang mencapai maksimal Rp24 juta, dan bahkan hukuman penjara. Kabar itu mencuat setelah laman jejaring sosial milik Polda Metro Jaya tertanggal 4 Desember 2016 lalu mem-posting artikel berjudul 'Modif Kendaraan Bisa Kena Tilang hingga Rp24 Juta'. Penggalan artikel itu berbunyi, 'Sejumlah pemilik kendaraan memodifikasi kendaraan untuk lifestyle atau sekadar hobi.

Namun perlu diingat, mengubah bentuk atau tampilan kendaraan dari asli ke wajah baru bisa kena denda tilang hingga Rp24 juta'. Dalam laman itu, Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKB Budiyanto mengatakan pihaknya merasa perlu menyosialisasikan aturan tersebut lantaran banyak modifikasi kendaraan telah menyebabkan perubahan tipe secara tidak sah. "Hasil pemantauan di lapangan ditemukan bahwa masih banyak dijumpai kendaraan modifikasi baik motor maupun mobil yang menyebabkan perubahan

tipe secara tidak sah yang dapat digolongkan dalam tindak pidana pelanggaran," jelasnya. Sejatinya, wacana larangan modifikasi bukanlah hal yang baru. Aturan itu sudah terbit sejak 2009 silam yang tertuang dalam Pasal 277 juncto Pasal 316 ayat (2) UU No 22 Tahun 2009 dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda maksimal Rp24 juta. Budiyanto menambahkan, memodifikasi boleh dilakukan asalkan telah melalui uji tipe untuk memperoleh sertifikat dari Kementerian Perhubungan.

Sesuai dengan Pasal 131 huruf e dan Pasal 132 ayat (2) dan ayat 7 PP No 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan juncto Pasal 50 ayat (1) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bahwa kendaraan yang dimodifikasi sehingga menyebabkan perubahan tipe berupa dimensi, mesin dan kemampuan, daya angkut, wajib dilakukan uji tipe untuk memperoleh sertifikat.

Aturan itu meliputi aspek rancangan teknis, susunan, ukuran, material, kaca, pintu, engsel, dan bumper, sistem lampu dan alat pemantul cahaya, serta tempat pemasangan tanda nomor kendaraan bermotor. Adapun uji tipe yang diterbitkan Kemenhub, juga ada beberapa ketentuan, antara lain memodifikasi kendaraan bermotor hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari agen pemegang merek (APM) dan harus dilakukan di bengkel umum yang ditunjuk Kementerian Perindustrian.

Dalam menanggapi hal itu, sejumlah pelaku industri modifikasi kendaraan merasa keberatan, seperti diungkapkan Agus Sri Kontadi. Menurut dia, aturan itu telah memasung anak bangsa dalam berkreativitas. "Menurut saya, itu membunuh kreativitas otomotif di Indonesia. Saya kurang setuju," tegas modifikator andalan Shotokaw Motor kepada Media Indonesia, pekan lalu. Hal senada diungkapkan Willy Dreeskandar, pemilik bengkel modifikasi F-16 Motor.

"Sepertinya pembuat aturan itu hanya bikin repot, menutup pemasukan, dan kreativitas. Di kalangan pebengkel, pemodif, dan penggemar modif, aturan itu dirasa mendadak, sepihak, mengancam, dan menakutkan. Tidak ada dialog, sosialisasi, penjelasan, maksud, dan definisinya. Misalnya, poin-poin apa saja yang diatur, apa yang boleh atau yang tidak boleh," ujarnya.

"Idealnya harus diadakan temu muka, dialog, dan sosialisasi. Negara juga mesti arif, ada target step by step, jangka pendek dan panjang. Ada pendampingan, konseling, dan coaching. Jangan main ketok larang ini, nggak boleh itu, lalu main ancam denda Rp24 juta lagi."

Sisi positif
Sementara itu, sikap beragam ditunjukkan sejumlah anggota masyarakat. "Kalau tujuannya untuk meningkatkan faktor keselamatan di jalan raya, saya setuju sekali. Tapi kalau modifikasinya sampai harus di bengkel yang ditunjuk ATPM atau kementerian, bagi saya itu berlebihan," ungkap Jajang, salah seorang penggemar mobil modiifkasi.

Lain lagi dengan pendapat Bagus Purbawasesa, warga Tangerang Selatan. Menurutnya, banyak sekali mobil dan motor yang menggunakan lampu di luar standar pabrik. "Mereka biasanya asal saja mengganti lampu mereka tanpa menghiraukan dampaknya. Lampu standar pabrik biasanya diikuti lensa yang sesuai agar cahaya fokus ke jalan. Pandangan jadi lebih jelas sehingga pengendara lain tidak terganggu," imbuhnya.

"Kalau lampu aftermarket, apalagi yang kualitasnya abal-abal, sinarnya enggak fokus dan cenderung bias. Selain tidak memberikan manfaat bagi pengendara sama sekali, juga menyusahkan pengendara lain. Belum lagi dengan motor yang menggunakan lampu belakang warna putih. Sebaiknya dikandangkan saja. Kalau perlu, cabut SIM-nya," cetusnya.

Di sisi lain, Willy mencoba melihat sisi positif regulasi larangan modifikasi. Menurutnya, mungkin pemerintah ingin memaksa para modifikator di Indonesia untuk berakselerasi menjadi lebih baik. "Artinya, tidak sekadar memodif kendaraan, tetapi juga memperhatikan standar mutu dan standar keselamatan dan keamanannya. Dengan adanya pasar bebas nanti, pasar akan diserbu oleh para dedengkot modif negara tetangga yang kualitasnya bisa mengancam kelangsungan modifikator Tanah Air." (S-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik