Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mengarungi Jejak Merajut Asa 75 Tahun Persahabatan Indonesia Tiongkok

Budy Sugandi Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat GP Ansor, Pengurus Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan alumnus PhD Southwest University Tiongkok
23/5/2025 05:00

SEHARI setelah pemakaman korban tragedi berdarah G-30-S alias Gestok (Gerakan Satu Oktober), sebuah istilah yang dipakai sendiri oleh Presiden Sukarno, Presiden Pertama Republik Indonesia itu melontarkan statement menarik dan sekaligus memperuncing situasi dalam sidang kabinet di Istana Bogor pada 6 Oktober 1965. Statement itu berbunyi:

“Musuh terbesar bagi nekolim (neokolonialisme dan imperialisme): RRT (Republik Rakyat Tiongkok) di utara. Indonesia di Asia Tenggara. Indonesia dan Sukarno is the greatest and dangerous spot in Southeast Asia maka taktik mereka: pisahkan Tiongkok dan Indonesia yang sekarang ini benar-benar menjadi kenyataan.”

Pernyataan di atas dikutip Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat (2018), yang mencerminkan bukan hanya betapa eratnya hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok di era 1960-an di bawah Demokrasi Terpimpin, melainkan juga betapa bahayanya kedekatan hubungan Jakarta-Beijing bagi nekolim.

Dengan latar belakang itu pula, kecurigaan bahwa G-30-S/Gestok sesungguhnya didalangi kelompok nekolim dengan para aktornya ialah orang-orang Indonesia sendiri yang bisa diadu domba untuk menghabisi kekuasaan Sukarno yang dianggap merintangi berjalannya proyek-proyek nekolim di Indonesia.

Jadi, secara geopolitik hubungan Indonesia-Tiongkok di era Sukarno terjalin begitu erat karena memiliki misi yang sama: membendung dan melawan neokolonialisme dan imperialisme Barat di Asia. Baik Tiongkok maupun Indonesia sama-sama memiliki pengalaman pernah dijajah negara-negara Barat (baik secara langsung maupun melalui pengaruh dan tekanan politik dan ekonomi).

Meski sudah sama-sama sebagai negara yang merdeka, keduanya sadar bahwa kolonialisme dan imperialisme belum berakhir, tetapi hanya berganti pola dan strategi. Kenyataan itu pula yang ditegaskan Sukarno dalam pidatonya di forum PBB pada 30 September 1960: Imperialism is not yet dead! Kerja sama dan bahu-membahu melawan kekuatan nekolim ini benar-benar merekatkan kemitraan bilateral Indonesia-Tiongkok di bawah Sukarno.

 

75 TAHUN HUBUNGAN DIPLOMATIK INDONESIA DAN TIONGKOK

Potret historis tersebut, seperti juga jejak-jejak sejarah yang lain, harus ditempatkan sebagai landasan prinsipiel untuk menumbuhkan kesadaran kritis di masa depan, yaitu khususnya ketika kita merayakan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok. Artinya, menuju 75 tahun hubungan kedua negara, relasi, tensi, dan kontroversi menyertainya dengan beragam fakta dan kebijakan-kebijakan politik.

Persahabatan Indonesia-Tiongkok untuk membendung dominasi neokolonialisme Barat ini pernah direvitalisasi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keinginannya membangun poros Indonesia-Tiongkok-India. Seperti ditulis mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi, bahwa pada Mei 2001, telah digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 yang dihadiri belasan kepala negara dan kepala pemerintahan beserta sejumlah menteri mereka.

Hari ini, dengan kesadaran pada landasan historisitas kelabu pada masa lalu, kita harus mempunyai proyeksi ke depan demi membangun dan memperkuat bangsa dan negara. Satu di antara potensi yang dapat dibangun dan dikembangkan secara serius ialah relasi dan keterhubungan dengan Tiongkok yang sudah menjadi raksasa kemajuan dunia. Momentum 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Tiongkok bisa menjadi turning point bagi kita untuk mempererat dan memperkuat relasi dan kerja sama demi membangun Indonesia sebagai kekuatan baru di Asia.

Spirit Indonesia-Tiongkok untuk membangkitkan kedigdayaan Asia masih menyala hingga saat ini ketika Presiden Prabowo Subianto melakukan kunjungan ke Tiongkok dalam kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Sejarah mencatat bahwa negara Tiongkok menjadi pilihan kunjungan kenegaraan pertama Presiden Prabowo.

Seperti dilansir Kemenkomdigi (9/11/2024), Presiden Prabowo melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xi Jinping, di Great Hall of the People, Beijing, RRT, pada 9 November 2024. Salah satu hal penting yang disampaikan dalam pertemuan itu ialah Indonesia berkomitmen meningkatkan hubungan bilateral dengan Tiongkok demi menciptakan kesejahteraan dan stabilitas di kawasan Asia.

Prabowo yakin bahwa hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok akan melahirkan stabilitas politik dan ekonomi di Asia. Menariknya, hasil survei The State of Southeast Asia 2025 menunjukkan bahwa jika harus memilih antara Tiongkok dan AS, 72,2% responden Indonesia lebih memilih Tiongkok karena faktor ekonomi, perdagangan, dan kritik terhadap kebijakan luar negeri AS (ISEAS-Yusof Ishak Institute).

Langkah Indonesia-Tiongkok untuk mengimbangi dominasi politik Barat baik di tingkat regional maupun global semakin menemukan relevansi dan signifikansinya ketika keduanya secara resmi menjadi anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, South Africa). Indonesia resmi bergabung dengan BRICS pada 6 Januari 2025.

Jeffrey Sachs (dalam Basuki Sepriyadi, 2025) menjelaskan BRICS menjadi simbol kekuatan ekonomi baru yang menjadi penyeimbang dominasi negara-negara Barat dalam tatanan ekonomi dunia. Dalam Deklarasi Kazan, tepatnya di poin 6, para anggota BRICS menegaskan tentang 'munculnya pusat-pusat kekuatan baru, pengambilan keputusan kebijakan dan pertumbuhan ekonomi, yang dapat membuka jalan bagi tatanan dunia multipolar yang lebih setara, adil, demokratis dan seimbang' (Kazan Declaration, 23/10/2024).

Meski demikian, hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok itu tidak hanya terbatas di bidang politik dan ekonomi, tetapi juga telah lama merambah ke ranah sosial dan kebudayaan. Secara sosiologis, orang-orang Tionghoa Indonesia telah lama melebur menjadi warga pribumi, paling tidak di era Sunan Ampel, sehingga makin asing dengan budaya asal mereka. Hubungan diplomatik Indonesia-Tionghoa yang sekarang sudah mendekati satu abad ini makin perlu ditingkatkan, apalagi Tiongkok kini muncul menjadi kekuatan ekonomi baru dunia.

 

REAKTUALISASI POROS JAKARTA-BEIJING

Di tengah ketegangan geopolitik global yang makin terasa, serta dominasi narasi ekonomi Barat yang terus menunjukkan inkonsistensi dan ambiguitas mereka, sudah saatnya kita menengok kembali visi besar yang pernah dirumuskan dua pemimpin bangsa Indonesia, Sukarno dan Abdurrahman Wahid. Sukarno pernah membangun gagasan tentang kebangkitan Asia sebagai kekuatan baru dunia melalui solidaritas Asia Utara dan Tenggara. Abdurrahman Wahid kemudian dalam bentuk gagasan Poros Jakarta-Beijing-New Delhi, sebuah kerangka strategis yang memandang Tiongkok, India, dan Indonesia sebagai tiang utama masa depan Asia.

Gagasan itu tidak berdiri di atas ruang kosong. Secara demografis, ketiga negara itu termasuk dalam empat besar penduduk terbanyak dunia, Tiongkok dan India di posisi pertama dan kedua, disusul Amerika Serikat dan Indonesia.

Jika berbicara ekonomi berdasarkan produk domestik bruto (PDB) versi purchasing power parity (PPP), Tiongkok menduduki peringkat pertama dunia, Amerika Serikat kedua, India ketiga, dan Indonesia berada di peringkat ketujuh. Itu artinya, jika ketiganya bersatu dalam satu kerangka kerja sama yang konkret, dunia akan menyaksikan bangkitnya kekuatan baru yang mampu menandingi dominasi blok ekonomi tradisional global.

Namun, kerja sama strategis itu di dalam negeri bukan tanpa hambatan, berbagai praduga oleh sejumlah persepsi lama, terutama stigma ideologis terhadap Tiongkok sebagai negara komunis dengan narasi yang dibuat negatif dan kebencian rasial yang sengaja dihembuskan. Hal semacam itu masih hidup dalam sebagian khalayak di Indonesia, warisan dari konflik ideologis era Perang Dingin dan trauma politik 1965.

Padahal dalam praktiknya, Tiongkok hari ini ialah kekuatan kapitalis negara (state capitalism) yang sangat pragmatis dan telah menjadi mitra dagang utama Indonesia selama bertahun-tahun dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, narasi-narasi usang semacam itu sebaiknya segera disingkirkan karena justru menghambat peluang besar yang bisa dimanfaatkan bersama oleh kedua negara.

Lebih dari sekadar kerja sama ekonomi, Poros Jakarta-Beijing bersama-sama dengan BRICS tentunya sebetulnya bisa menjadi titik awal pembentukan arsitektur baru dunia yang lebih multipolar, adil, dan berimbang. Dunia sedang jenuh dengan dominasi tunggal dan dikotomi lama antara 'Barat' dan 'Timur'.

Dunia membutuhkan kekuatan baru yang bisa membawa pendekatan berbeda yang inklusif, tidak hegemonik, dan berbasis pada nilai-nilai kebersamaan global (kalimatun sawa’). Asia memiliki semua itu, kita memiliki sejarah peradaban yang kaya, jumlah penduduk yang banyak, kekuatan pasar yang luas, dan keragaman budaya yang menjadikan bangsa Asia menjadi pemimpin di negeri sendiri.

Membangun poros itu tentu bukan hal mudah. Butuh keberanian politik, berani menjadi sasaran tembak, memiliki visi jangka panjang, dan kemampuan mengelola perbedaan untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Namun, kabar baiknya dalam sejarahnya, Indonesia telah terbukti mampu menjadi jembatan peradaban, rumah dialog, dan kekuatan moral dalam percaturan dunia.

Sudah waktunya kita melangkah lebih berani, menghidupkan kembali gagasan besar ini, dan benar-benar menjadi bagian dari kekuatan global. Salah satunya dengan memperkukuh Poros Jakarta-Beijing di momentum 75 tahun hubungan diplomatik kedua negara.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya