Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Potensi Benturan Kepentingan dalam Pengelolaan Proyek Strategis Nasional

Hamdani Akademisi Departemen Akuntansi FEB Universitas Andalas Pakar Keuangan Negara dan Daerah
06/10/2023 05:00
Potensi Benturan Kepentingan dalam Pengelolaan Proyek Strategis Nasional
Ilustrasi MI(MI/Seno)

SETELAH peringatan sewindu proyek strategis nasional (PSN), polemik berkaitan keberadaan PSN ini belum juga berakhir. Kontroversi pengelolaan PSN ini menjadi perdebatan hangat ketika bakal capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan menyebut PSN berpotensi menjadi titipan kanan-kiri. Pernyataan tersebut mendapat tantangan dari Presiden Jokowi dan bakal capres Ganjar Pranowo yang meminta Anies membuktikannya secara konkret.

Sebetulnya pembuat kebijakan tidak perlu reaktif terhadap kritikan itu karena setiap kebijakan publik memiliki potensi kelemahan. Tudingan adanya potensi titipan jangan diartikan secara sempit, tetapi dimaknai sejauh mana pengelolaan PSN mencerminkan tata kelola yang baik. Indikasi titipan kanan-kiri pada PSN dapat dibuktikan ketika ditengarai adanya benturan kepentingan dalam penetapan proyek dimaksud. Kemudahan PSN ini bagaikan menggelar karpet merah kepada investor dirasakan ada beberapa kelemahan proses penetapan dan perencanaan proyek.

Pertanyaan kritis pengamat kebijakan publik, apakah ada benturan kepentingan dalam menentukan suatu kegiatan usaha masuk daftar PSN . Dari sisi regulasi keuangan negara, penugasan BUMN menangani PSN dengan kebutuhan pendanaan APBN melebihi dari kapasitas fiskal, akan berpotensi melanggar UU Keuangan Negara. Hal ini perlu disadari, manakala terjadi tunggakan kewajiban APBN untuk pendanaan PSN yang melampaui masa jabatan Presiden Jokowi.

 

Minim perencanaan dan partisipasi publik

Beberapa fakta yang menjadi indikasi benturan kepentingan tersebut ialah minimnya perencanaan dan partisipasi publik dalam pengelolaan PSN yang kita banggakan ini. Pertama, PSN terkesan belum sepenuhnya direncanakan melalui kajian, studi kelayakan, dan analisis investasi yang memadai. Alasannya, dalam Pasal 2 ayat 3 Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN, menyatakan daftar PSN yang tercantum dalam perpres dimaksud dapat diubah berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

Klausul ini tidak masuk akal karena KPPIP seyogianya melakukan kajian itu sebelum PSN masuk dalam lampiran perpres. Kelemahan ini terbukti dengan pengurangan beberapa proyek pada setiap kali perubahan Perpres atau Permenko Perekonomian tentang PSN.

Kedua, dasar hukum penetapan daftar proyek yang masuk PSN semula dengan peraturan presiden selanjutnya ditetapkan oleh Menko Perekonomian. Walaupun pelimpahan itu diatur dengan PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan PSN, kewenangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan keuangan negara tersebut tidak serta-merta dapat dilimpahkan kepada seorang menko. Alasannya, penetapan itu memiliki konsekuensi pembebanan APBN dan menimbulkan hak dan kewajiban keuangan negara antara lain penyediaan lahan, alokasi belanja APBN, dan pemanfaatan barang milik negara.

Ketiga, dalam kasus eksekusi PSN Kawasan Rempang Ecocity di lapangan ternyata mendahului penetapan PSN berdasarkan Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tertanggal 28 Agustus 2023. Nalar waras kita sulit membayangkan kronologis peristiwa konflik Rempang tanggal 7 September 2023 hanya berselang 10 hari sejak ditetapkannya sebagai PSN. Kenapa untuk proyek ini eksekusinya seperti dikebut dengan percepatan pembebasan lahan. Konflik kepentingan terlihat nyata dan kejadian ini mencerminkan salah kelola PSN yang tidak melibatkan partisipasi publik dan masyarakat tempatan.

Keempat, beberapa PSN tidak melalui proses perencanaan yang baik antara lain tidak masuk ke lampiran Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024, khususnya yang ditetapkan melalui Permenko Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021, Nomor 21 Tahun 2022, dan Nomor 7 Tahun 2023. Seyogianya, PSN yang dilaksanakan sudah masuk ke RPJMN sebagai jaminan kualitas perencanaan dan kelayakan proyek dimaksud.

Ada proyek PSN yang masuk ke RPJMN dipangkas, di sisi lain proyek yang tidak ada dalam RPJMN, tetapi masuk ke PSN. Di sisi lain ada proyek yang bertahun tahun tidak selesai dimasukkan ke PSN sebagai kendaraan untuk bisa melaju.

Kelima, terdapat 58 PSN yang telah ditetapkan pada RPJMN 2020-2024 ternyata belum dimulai pembangunannya. Evaluasi BPKP menenggarai kemungkinan mangkraknya beberapa proyek tersebut. Fakta ini menjadikan bukti PSN yang sudah direncanakan dalam RPJMN saja mengalami hambatan eksekusinya sampai tiga tahun lebih, apalagi yang perencanaannya tidak melalui RPJMN.

Kelima fakta tersebut berpotensi terjadi benturan kepentingan sebagai pintu masuk titipan kanan kiri dimaksud. Sementara, dalam daftar itu terdapat beberapa proyek yang karakteristiknya seharusnya dikelola secara bisnis murni karena aset proyek tersebut selamanya tidak menjadi aset negara dimasukkan PSN untuk mendapat kemudahan dan fasilitas negara.

 

Utang dahulu, beban APBN kemudian

Dalam daftar PSN seharusnya dicantumkan sumber pendanaan yang terdiri dari APBN, APBD, KPBU, BUMN, swasta, dan penugasan. Pendanaan penugasan BUMN ini diperoleh melalui penyertaan modal negara (PMN). Kurangnya transparansi terkait skema pendanaan menjadi sisi kelemahan perpes dan permenko perekonomian mengenai daftar PSN. Adapun pada lampiran RPJMN, data tentang PSN relatif lebih transparan antara lain memuat manfaat proyek, kebutuhan dana, dan skema pendanaan.

Pembangunan PSN melalui penugasan kepada BUMN ternyata belum sepenuhnya diikuti dengan skema pembiayaan yang jelas. Berdasarkan penetapan PSN, BUMN tersebut melaksanakan konstruksi proyek dimaksud tanpa terlebih dahulu memperoleh dukungan PMN. Faktanya, utang yang terpaksa ditanggung BUMN untuk mendanai penugasan PSN dimaksud jauh lebih besar daripada PMN yang diterima.

Kontroversi mengenai utang yang ditanggung BUMN mengemuka dalam RDP Komisi VI DPR RI dengan Wakil Menteri BUMN. Dalam RDP tersebut, pemerintah diminta untuk segera melunasi kewajibannya yang belum dibayar. Besaran piutang BUMN yang belum dilunasi pemerintah berpotensi tercatat sebagai utang pemerintah tersembunyi (hidden debt).

Persepsi publik adanya kejar tayang pembangunan infrastuktur pada periode kedua Presiden Jokowi sulit terhindari. Penugasan pemerintah tanpa memperhatikan kapasitas APBN, mendorong BUMN terlebih dahulu mengerjakan infrastruktur itu dengan berutang untuk selanjutnya ditagihkan kepada pemerintah.

Pendanaan APBN untuk membayar utang penugasan BUMN berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara karena pengeluaran pembiayaan APBN berupa pelunasan utang tidak dimaksudkan membayar utang BUMN.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya