Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Grafiti Sebagai Simbol Perlawanan yang tidak Pudar

Gilang Gumilang, Dosen Fikom IISIP Jakarta  
30/8/2023 20:25
 Grafiti Sebagai Simbol Perlawanan yang tidak Pudar
Gilang Gumilang(Dok pribadi)

SEWAKTU masih di sekolah dasar (SD), saya pernah membaca sebuah buku berjudul- kalau tak salah- Perang Kota. Lupa persisnya, tapi masih ingat alurnya. 

Kisahnya kira-kira seperti ini; di masa Agresi Militer Belanda ke-2, maka segala daya upaya dilakukan rakyat Indonesia untuk berjibaku bersama TNI melawan agresor Belanda. Di awali Belanda yang menyerang Lapangan Udara Maguwo Yogyakarta, pagi hari, 19 Desember 1948; membunuh 128 prajurit TNI dari 150 prajurit yang menjaga Maguwo, maka selanjutnya Belanda masuk kota, menangkapi pemimpin Republik saat itu: Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan lainnya. 

Belanda, secara pongah menyatakan tidak terikat lagi dengan Perjanjian Renville- yang sejatinya, perjanjian ini sebetulnya merugikan Republik Indonesia karena wilayah kekuasaan RI hanya di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. 

Sang Jenderal Besar, Soedirman memilih untuk melakukan perang gerilya. Melawan. Meski sang jenderal dalam keadaan sakit parah, kerap ditandu, ia bergerak terus hingga 1.000 kilometer di area Jawa Tengah- Jawa Timur selama sembilan bulan. Hebatnya, berulangkali nyaris ditangkap namun selalu lolos. Ini sangat mengagumkan -jika tidak bisa dibilang ajaib. 

Kolonel AH Nasution yang saat itu menjadi Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun Pertahanan Rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1, yang mana salah satu isinya adalah pasukan-pasukan TNI melakukan wingate, atau menyusup di belakang garis pertahanan musuh, kemudian membentuk kantong-kantong gerilya sehingga Pulau Jawa menjadi medan gerilya yang luas. 

Sementara pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dan melakukan wingate di area Jawa Barat. Mereka harus melakukan long march Siliwangi yang sangat epik, naik turun gunung, menyeberang sungai dan ditembaki Belanda, banyak yang wafat. 

Tapi, di Jawa Barat, Siliwangi yang baru saja tiba malah harus bertempur dengan Darul Islam- Tentara Islam Indonesia (DI-TII) pimpinan Kartosoewirjo, yang kelak menjadi cikal bakal Negara Islam Indonesia (NII) yang bikin heboh saat ini, dan cikal bakal gerakan Islam radikal yang dipimpin Abu Bakar Baasyir dan Abdullah Sungkar. Ini fakta. 

Oh ya, terkait perjuangan epik long march Siliwangi, ada dalam salah satu tulisan pada buku Rasa Sayange karya Prof Dr Nugroho Notosoesanto, salah satu buku yang sangat saya sukai dan saya baca di SD. 

Bagaimana dengan rakyat? 

Pertahanan rakyat totaliter kemudian diimplikasikan dalam bentuk gerilya kota atau perang kota. Mereka tentu tidak punya senjata. Yang mereka punya hanyalah semangat dan cita-cita Indonesia lebih baik. 

Jadi, ketika TNI melakukan siasat bumi hangus. Rakyat melakukan grafiti- tulisan-tulisan di dinding/tembok bangunan, atau menempel selebaran. Biasanya yang tertulis Merdeka ataoe Mati; Freedom is the Glory of Any Nation; Indonesia for Indonesians; Merdeka!; Hands off Indonesia; Sekali Merdeka Tetap Merdeka; Djika Belanda Datang Ke Sini, Maka Hantjurlah Pabrik Ini; Siap-siap Boemi Hangus; dan masih banyak umpatan lainnya. 

Tujuannya ialah melemahkan mental pasukan agresor dan sebaliknya, menambah semangat berjuang sekaligus memastikan bahwa rakyat bersama TNI. Betapa hebatnya! 

Beberapa waktu lalu saya membaca grafiti bertuliskan Sambo Gak Jadi Mati di salah satu tempat belanja. Tak terasa mata saya berair. Kesadaran merambat naik dalam otak bahwa rakyat sedang menyerukan perjuangannya, menolak ketidakadilan versi mereka. Cita-cita mereka di 1948 dan 2023 ini sejatinya sama; ingin Indonesia lebih baik. 

Sialnya, jika dulu kita melawan penjajah yang mana para jenderal kita berjuang mati-matian, dalam kondisi sakit fisik luar biasa (paru-paru Jenderal Soedirman tinggal satu yang masih berfungsi), memberi semangat dalam kondisi kekurangan- bahkan tak bisa makan. Kini yang kita hadapi barangkali oknum jenderal dan oknum pejabat korup yang sakit- bukan fisik, tapi mental dan otaknya. 

Simbol perjuangan rakyat saat ini mungkin cuma grafiti saja. Mereka tak bisa lagi berbuat banyak dan hanya bisa berteriak di ruang hampa. Suka tidak suka kita dipaksa menerima kenyataan pahit, bahwa penjajahan dalam bentuknya yang lain ternyata masih ada.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya