Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Organisasi Profesi dan Perlindungan Guru

Cecep Darmawan Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI
15/8/2023 05:00
Organisasi Profesi dan Perlindungan Guru
Ilustrasi MI(MI/Seno)

DUNIA pendidikan kembali nestapa. Kasus kekerasan terhadap guru kembali terjadi. Kini viral seorang guru di Bengkulu yang diketapel oleh oknum orangtua siswa di sekolah, dan diduga hingga buta permanen. Kejadian ini bermula saat guru tersebut menegur siswanya yang tengah kedapatan merokok di lingkungan sekolah.

Fenomena kekerasan terhadap guru ini seolah menjadi preseden buruk yang kian berulang. Kasus kekerasan terhadap guru ini pun seperti menjadi fenomena gunung es yang bisa terjadi di berbagai daerah lain. Padahal berbagai regulasi telah mengatur pentingnya perlindungan bagi guru.

Secara konstitusional, guru sebagai warga negara pun telah mendapat jaminan atas perlindungannya. Amanat Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Begitu pun Pasal 40 ayat (1) UU Republik Indonesia No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) bahwa salah satu hak guru sebagai pendidik ialah memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan, secara khusus dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h UU Republik Indonesia No 14/2005 Tentang Guru dan Dosen (UUGD) disebutkan bahwa salah satu prinsip profesionalitas guru ialah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.

Kemudian, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c dan huruf g UUGD ditegaskan bahwa hak guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya di antaranya memperoleh perlindungan, rasa aman, dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.

Meski perlindungan guru telah dijamin dalam berbagai regulasi, seorang guru pun alangkah baiknya tetap berhati-hati dalam menjalankan tugas. Utamanya ketika hendak memberikan sanksi kepada peserta didik. Pasalnya, banyak kasus kekerasan terhadap guru bermula karena ketidakterimaan peserta didik maupun orangtuanya atas sanksi yang diberikan oleh guru.

Untuk itu, Pasal 14 ayat (1) huruf f UUGD memberikan rambu-rambu bahwa meskipun guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan dan ikut menentukan sanksi kepada peserta didik, hal itu harus dilaksanakan sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, tujuan baik dari sanksi yang diberikan oleh guru kepada peserta didik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik dan mendidik pula.

 

Belum optimal

Masih maraknya kasus kekerasan terhadap guru menjadi penanda bahwa perlindungan terhadap guru masih belum berjalan secara optimal. Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya perlindungan guru.

Pertama, belum memadainya regulasi perlindungan guru di tingkat peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota. Padahal regulasi di tingkat daerah ini penting demi memberikan perlindungan guru secara teknis dan komprehensif.

Sejauh ini, peraturan perundang-undangan teknis yang mengatur perlindungan guru secara terperinci ialah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Ke depan, semestinya peraturan menteri tersebut menjadi ketentuan umum sebagai rujukan bagi pemerintah daerah untuk membentuk regulasi terkait perlindungan guru. Apalagi, daerahlah yang semestinya memiliki kewenangan lebih dan memahami kondisi riil problematika guru guna memberikan perlindungan bagi mereka.

Kedua, belum bersinerginya berbagai elemen pendidikan dan pemangku kebijakan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi, masyarakat, dan pihak lainnya dalam upaya perlindungan guru. Padahal, dalam Pasal 39 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.

Bahkan, secara teknis Pasal 3 ayat (3) Permendikbud No 10/2017 mengatur bahwa dalam melaksanakan kewajiban perlindungan, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi, dan masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing wajib a) menyediakan sumber daya dan b) menyusun mekanisme pemberian perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sejauh ini sumber daya yang disediakan belum optimal dan mekanisme pemberian perlindungan terhadap guru masih belum jelas dan tegas.

Ketiga, belum optimalnya penegakan atau implementasi regulasi atau peraturan perundang-undangan (law enforcement) terkait perlindungan guru. Ketika terjadi kasus kekerasan terhadap guru, sering kali berbagai elemen di atas hanya bertindak sebagai pemadam kebakaran yang bertindak setelah peristiwa terjadi. Belum ada upaya preventif dan imperatif untuk membangun sekolah yang ramah dan aman bagi guru dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Bahkan secara kelembagaan, sudah saatnya perlu dibentuk komisi perlindungan guru (KPG) oleh pemerintah daerah guna memberikan pelayanan khusus terkait perlindungan guru. Hal ini demi mencegah dan menindak maraknya kasus-kasus kejahatan, kekerasan, ancaman, intimidasi, pelecehan, pemerasan, bullying, perlakuan diskriminatif, dan perlakuan tidak adil dari oknum-oknum tertentu terhadap para guru.

 

Peran organisasi profesi guru

Ketika terjadi kasus kekerasan terhadap guru, semestinya organisasi profesilah yang menjadi motor penggerak untuk memberikan perlindungan bagi para guru. Hal ini mengingat Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 huruf c UUGD yang mengatur bahwa salah satu fungsi dan kewenangan organisasi profesi ialah memberikan perlindungan profesi guru.

Adanya kasus kekerasan terhadap guru sangat melecehkan dan merendahkan harkat, martabat, dan kehormatan profesi guru. Oleh karena itu, organisasi profesi guru harus menjadi garda terdepan dalam melindungi guru dari berbagai tindakan yang mencederai atau melukai profesi guru.

Akan tetapi, problematika di lapangan masih terdapat guru yang belum mengikuti organisasi profesi guru. Padahal dalam Pasal 41 ayat (3) UUGD dinyatakan dengan tegas bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi. Akibatnya, upaya perlindungan oleh organisasi profesi guru belum berjalan optimal. Selain memang, apakah saat ini sudah ada organisasi profesi guru yang sesuai peraturan perundang-undangan dan diakui oleh pemerintah? Inilah PR ke depan, bagaimana pemerintah segera menerbitkan peraturan yang berkenaan dengan organisasi profesi guru.

Untuk itu, ke depan, selain perlunya pembenahan regulasi, para guru juga harus memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya menjadi anggota organisasi profesi demi memperkuat penegakan perlindungan profesi guru. Begitu pun sebaliknya, organisasi profesi guru pun diharapkan lebih proaktif untuk mengajak dan mengedukasi para guru agar bergabung menjadi anggotanya, tanpa menyalahi hak kebebasan berkumpul dan berserikat dari para guru.

Di samping itu, organisasi profesi guru dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan aduan jika ditemukan adanya oknum guru yang melakukan berbagai tindakan pelanggaran. Hindari main hakim sendiri yang dapat memperkeruh keadaan.

Organisasi profesi ini dapat menjadi jembatan dengan masyarakat, sekaligus mekanisme kontrol terhadap perilaku guru agar senantiasa selaras dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, berbagai upaya di atas diharapkan dapat memperkuat upaya perlindungan guru dengan organisasi profesi sebagai faktor penggerak utamanya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya