Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Momentum Optimalisasi Pembangunan Perdesaan

Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan. Alumnus Georgetown University, dan Lemhannas RI
13/7/2023 05:05
Momentum Optimalisasi Pembangunan Perdesaan
(Dok. Pribadi)

BADAN Legislasi (Baleg) menyetujui draf Revisi UU No 6/2014 tentang Desa. Ada dua poin penting yang diusulkan dalam draf itu, yakni usulan 20% dana desa berasal dari transfer daerah, dan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun untuk satu kali periode (Media Indonesia, 4/7).

Secara faktual, terlepas dari isu politik yang mendasari revisi UU No 6/2014 itu, sejatinya revisi diperlukan untuk memberi kewenangan pemerintah desa yang lebih besar guna mengelola desa agar masyarakatnya mandiri dan sejahtera. Hal ini mengingat pemberlakuan UU sebelumnya (tahun 2014) tampaknya belum memberikan hasil optimal. Itu termanifestasi, antara lain dari angka kemiskinan di perdesaan yang masih tinggi, bahkan lebih tinggi dari perkotaan. Hasil Susenas September 2022, misalnya, menunjukkan angka kemiskinan di perdesaan 12,36%, sedangkan di perkotaan 7,53%.

Pemberlakuan UU itu juga belum sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui pembangunan dari wilayah pinggiran dan desa. Maka dari itu, amat diharapkan pemerintah desa nantinya dengan kewenangan yang lebih besar dapat melakukan perencanaan pembangunan guna memberikan hasil optimal bagi masyarakat perdesaan.

 

Pentingnya data desa

Diyakini, pembangunan perdesaan akan berhasil optimal jika didukung kinerja yang baik. Salah satu faktor pendukung kinerja dimaksud ialah melakukan perencanaan pembangunan perdesaan berdasarkan data profil desa secara komprehensif. Dalam konteks itu, hadirnya Sensus Pertanian 2023 (ST-2023), diharapkan dapat menjadi modal untuk melakukan perencanaan pembangunan yang lebih akurat dan tepat sasaran.

Meski demikian, untuk lebih memperkaya data dan informasi tentang desa, tampaknya tidak cukup hanya mengandalkan data dari dari hasil ST 2023. Pemerintah desa, juga perlu memanfaatkan hasil Sensus Ekonomi (SE) tahun 2016. Patut diketahui, pendataan lapangan usaha pertanian tidak tercakup dalam pelaksanaan SE-2016.

Sensus pada lapangan usaha pertanian memang perlu dilakukan tersendiri. Sebab, kegiatan di sektor pertanian memiliki cakupan amat luas meliputi sejumlah subsektor, seperti subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan jasa pertanian.

Sejatinya, data hasil SE-2016 dan ST-2023 saling melengkapi. Adapun data utama hasil ST 2023 antara lain, mencakup status kepemilikan lahan beririgasi, penggunaan pupuk dan pestisida, lamanya bekerja di pertanian, dan jumlah anggota rumah tangga menurut jenis kelamin dan umur. Sementara itu, data penting yang dihasilkan dari SE-2016 antara lain mencakup status badan usaha, jumlah tenaga kerja, upah dan gaji pekerja, pendapatan dan pengeluaran perusahaan, usaha on line dan franchise, investasi, serta prospek dan kendala usaha.

 

Pembangunan desa

Secara faktual, perencanaan pada wilayah kecil setingkat desa akan lebih baik jika dibandingkan dengan perencanaan pada wilayah yang lebih besar, seperti kabupaten/kota dan provinsi. Hal ini mengingat karakteristik dan ekosistem antarperdesaan amat beragam.

Dengan mengombinasikan data hasil ST 2023 dan data hasil SE 2016, pemerintah desa dapat melakukan perencanaan pembangunan yang lebih luas, antara lain mencakup pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Secara faktual, pengembangan usaha pertanian, industri, perdagangan dan jasa akan memperluas kesempatan kerja dan memberikan insentif lebih besar bagi penduduk perdesaan.

Di AS, misalnya, pengembangan industri pertanian mampu menyerap 10,3% dari total tenaga kerja dan berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto, yang sekaligus mencerminkan industri dan kegiatan pertanian dapat meningkatkan insentif penduduk perdesaan. Hal sama juga diterapkan di Eropa yang mempertahankan ekonomi perdesaan tetap hidup dengan mengembangkan industri pertanian dan sektor terkait (European Comission, 2018).

Namun, pembangunan perdesaan diperkirakan belum optimal jika tidak melibatkan pelaku usaha, dunia usaha, dan penduduk lokal. Keterlibatan pelaku usaha, antara lain untuk merencanakan kegiatan ke depan. Dunia usaha untuk pendistribusian input kegiatan, dan penduduk lokal untuk penyediaan jasa dan tenaga kerja.

Selain lebih tepat sasaran, pembangunan setingkat desa juga akan lebih memudahkan dalam pemonitoran dan evaluasi kegiatan. Sementara itu, pada wilayah yang lebih luas setingkat kabupaten dan provinsi, kegiatan evaluasi kerap kurang optimal karena kelebihan dan kekurangan antarwilayah di bawahnya berpotensi saling meniadakan (cancel out).

Sejatinya, evaluasi terhadap program dan kegiatan memang perlu dilakukan secara intensif, terutama untuk pengembangan usaha yang berkaitan dengan usaha mikro kecil (UMK). Berdasarkan hasil SE-2016 ditemukan ada dua hal yang belum berjalan optimal, yaitu soal pembinaan dan pelatihan.

Adapun soal pembinaan tertuang dalam UU No 20/2008 tentang Kemitraan UMK dengan Usaha Menengah Besar (UMB). Hasil SE-2016 menunjukkan kemitraan UMK dan UMB tidak berjalan baik, yaitu hanya 7%.

Sementara itu, soal pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 31/2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Hasil SE-2016 menunjukkan bahwa pelaku usaha yang mengikuti pelatihan hanya 4%.

Maka dari itu, amat diharapkan revisi UU tentang desa tahun 2014 dapat menghasilkan poin-poin penting, terutama yang berkaitan dengan soal anggaran desa dan kewenangan pemerintah desa. Dengan cara itu, pembangunan perdesaan diyakini akan lebih optimal sehingga diharapkan penduduk perdesaan akan mandiri dan sejahtera serta tidak tertinggal dari perkotaan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya