Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
KRISMUHA (Kristen Muhammadiyah), demikian kepanjangan istilah yang akhir-akhir ini diramaikan oleh para pembaca dan komentator buku Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009); dan Kristen Muhammadiyah: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan (2023), terbitan terakhir dari hasil penelitian yang sama.
Makna yang diperoleh
Berbagai ragam komentar memperkaya isi buku ini. Jika pemahaman buku ini atau tulisan lain didasarkan pada keterbatasan pengetahuan, akan sempit makna yang diperolehnya. Demikian sebaliknya, jika banyak ilmu pengetahuan yang dipakai untuk memahami sebuah karya tulisan, semakin luas makna yang diperolehnya.
Kekhawatiran sebagian orang yang berkesimpulan bahwa Krismuha ‘menjebol akidah Islam’ merupakan gambaran bentuk pemahaman yang pertama. Padahal, jika diteliti lebih dalam, justru nilai-nilai Islam yang didakwahkan oleh Muhammadiyah itulah yang tertanamkan dalam jiwa saudara-saudara kita umat kristiani yang belajar di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah.
Paling tidak, gambaran yang dikesankan sebagian orang tentang Islam sebagai agama intoleran, terpatahkan oleh pengalaman para siswa dan mahasiswa yang belajar di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah. Di sekolah dan kampus perguruan tinggi Muhammadiyah di kawasan penelitian buku ini dilakukan, terbentuk sikap saling menghargai antarsiswa dan mahasiswa yang berbeda adat, budaya, dan agama.
Krismuha berbeda dengan Muhakris. Yang disebut pertama, Muhammadiyah ‘mensifati’ atau berpengaruh terhadap umat kristiani. Artinya ada paham dan budaya Muhammadiyah yang bisa diterima umat kristiani. Adapun yang kedua, sebaliknya, Kristen mewarnai pemahaman dan budaya orang Muhammadiyah. Karena itu, Krismuha berbeda dengan Munu (Muhammadiyah Nahdlatul Ulama), yakni orang Muhammadiyah yang mempraktikkan (sebagian) tradisi dan budaya Nahdliyin; Musa (Muhammadiyah Salafi), orang Muhammadiyah yang berpenampilan Salafi; Mu-FPI (Muhammadiyah FPI), orang Muhammadiyah yang berperangai FPI.
Bisa juga dikatakan Muhammadiyah versi Nahdliyin, Muhammadiyah versi Salafi, dan Muhammadiyah versi FPI. Nahdliyin, Salafi, dan FPI memengaruhi cara berpikir, beribadah, dan berprilaku orang Muhammadiyah. Baik Krismuha maupun Muhakris serta varian lain: Munu, Musa, Mu-FPI sesungguhnya merupakan akibat dari pertemuan antara dua atau lebih kecenderungan budaya ke dalam diri orang Muhammadiyah.
Muhakris, dalam sejarah awal berdirinya Muhammadiyah, menggambarkan proses konvergensi itu. Memang benar bahwa di antara faktor yang membentuk ciri khas Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan ialah karena kebijakan politik saat itu yang melarang berdirinya gerakan politik. Faktor ini, mengakibatkan ‘keterlanjuran’ Muhammadiyah tetap sebagai gerakan sosial keagamaan sampai sekarang meskipun selalu saja ada sebagian warga anggota Muhammadiyah yang menginginkan gerakan ini berubah wajah menjadi gerakan politik.
Proses perubahan itu bisa dilihat dari ungkapan: ‘menjaga jarak yang sama dengan partai politik’, ‘menjaga kedekatan yang sama dengan partai politik’, dan terakhir muncul keinginan ‘mendirikan amal usaha politik’. Secara evolutif, ungkapan pertama dimaksudkan Muhammadiyah jauh dari politik praktis; ungkapan kedua ada keinginan sebagian orang Muhammadiyah untuk bisa aktif di partai politik. Sedangkan ungkapan ketiga, terdapat keinginan sebagian warga Muhammadiyah memperjelas hubungannya dengan politik praktis. Wacana yang terakhir ini, semula diharapkan dibahas dalam Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar pada 2015, tetapi ternyata kandas.
Tetapi juga benar, bahwa karakteristik Muhammadiyah sebagai gerakan pilantrofis yang fokus pada pemberdayaan sosial dan kemanusiaan, diperkaya oleh contoh yang ada pada umat kristiani dan program yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Interaksi budaya kristiani dan Barat yang dibawa oleh kolonial Belanda, terserap ke dalam diri Muhammadiyah yang melahirkan program Trisula awal pada bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial bagi kaum lemah, seperti rumah jompo dan panti asuhan. Muncul kemudian Trisula berikutnya: LAZISMU (Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Muhammadiyah), MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), dan pemberdayaan masyarakat (HY Thohari).
Tidak dahulu tidak juga sekarang, selalu saja ada sebagian orang bahkan warga Muhammadiyah sendiri yang mengkritisi fenomena konvergensi di atas, yang menganggap Muhammadiyah meniru dan mengambil budaya milik orang lain. Dalam kasus tanggapan terhadap buku Abdul Mu’ti ada tuduhan ‘Muhammadiyah dulu membentengi akidah, kini menjebol akidah dan bendungan akidahnya sudah mulai ada gejala jebol’.
Dulu, Muhammadiyah dituduh meniru perbuatan orang kafir. Karena itu, Muhammadiyah menjadi bagian dari mereka (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). Bantahan Muhammadiyah menegaskan bahwa riwayat hadis ini tidak sahih. Kalau toh tidak dhaif, yang dimaksud tasyabbah bi di sini bukan terkait dengan masalah akidah, tetapi terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan yang selalu berubah.
Perdebatan tentang sikap tiru-meniru ini mengakibatkan umat Muslim terpecah menjadi dua kelompok, dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda: kooperatif dan nonkooperatif. Muhammadiyah digolongkan sebagai kelompok kooperatif, sedang Sarekat Islam (SI) nonkooperatif. Sekitar tahun 1924 SI mengeluarkan disiplin partai, yang melarang anggota SI merangkap menjadi anggota gerakan lain. Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Fachroodin keluar dari SI dan memilih tetap di Muhammadiyah setelah sekian lama merangkap aktif di SI dan menjadi kontributor penting Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, dua organ SI yang terbit di Solo.
Selain alasan di atas, dasar Muhammadiyah menerima sebagian budaya Barat ialah karena al-ashl fi al-asy-ya’ al-ibahah hatta yadullu al-dalil ‘ala al-tahrim, (hukum asal dari segala sesuatu itu mubah, kecuali ada dalil yang melarangnya). Prinsip ini dipahami Muhammadiyah dengan ‘dari manapun datangnya sesuatu itu, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip Islam diperkenankan’. Jadi, apa yang dilakukan Muhammadiyah mengadopsi sistem pendidikan, kesehatan dan sosial dari Barat melalui pemerintah Kolonial Belanda dinilai tidak ada masalah. Sikap ini dikenal sebagai love hate orientation (orientasi cinta pada sebagian budaya yang dibawa Belanda, tetapi benci terhadap penjajahan Belanda yang eksploitatif).
Kesiapan Muhammadiyah mengadopsi elemen budaya asing waktu itu tidak sekedar meniru-niru atau imitasi, tetapi memiliki dasar alasan kuat yang dibenarkan secara normatif oleh agama. Posisi Muhammadiyah sangat kuat dalam menyerap unsur budaya baru, yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan kaum Muslimin. Infusi nilai dan unsur budaya luar ke dalam Muhammadiyah tidak hanya memperkaya gerakan ini dengan budaya baru. Tetapi, juga menggambarkan karakteristik modernitas Muhammadiyah yang terbuka, adaptif, menerima perubahan berdasarkan literasi (landasan normatif). Karenanya, Muhakris berbeda dengan Munu, Musa, dan Mu-FPI. Tiga varian yang disebut terakhir ini mendegradasi Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam. Berbagai varian yang disebutkan ini terus bergumul dalam memperebutkan pengaruhnya atas pandangan dan praktik ibadah Islam dalam Muhammadiyah.
Krismuha (Kristen-Muhammadiyah), yang menjadi tema utama tulisan ini, bisa diartikan orang Kristen ingin mengambil kembali nilai dan budaya Kristen Barat yang ada di Muhammadiyah. Dengan kasus yang sama, Muhammadiyah juga beralasan bahwa, selain landasan normatif seperti yang disebutkan di atas, budaya tertentu dan tradisi pendidikan yang dibawa oleh kolonialis Belanda sesungguhnya milik Islam. Karena itu Muhammadiyah berkewajiban mengambil kembali semua itu. Argumentasi ini juga yang disampaikan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’ At-Tahtawi (1801-1873) kepada para ulama Al-Azhar yang konservatif. Yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa umat muslim dilarang mengambil segala sesuatu yang berasal dari Barat karena Barat ialah kafir.
MI/Duta
Barat memanfaatkan temuan kaum muslim
Benarkah peradaban Barat, terutama ilmu pengetahuan modern, yang sekarang menguasai dunia ini tidak bisa dilepaskan proses pembentukannya dengan Islam? Dalam waktu yang cukup lama pertanyaan ini tidak ada yang menjawab, terutama di kalangan sarjana Barat. Namun, dalam perkembangannya banyak sarjana Barat mengakui atas klaim ini. Salah seorang guru besar di United States of America (USA), Ian Bremmer dalam The West Stole 1001 Inventions from Muslims mengatakan bahwa Barat telah memanfaatkan hasil temuan kaum muslim dari pasta gigi hingga rumah sakit. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana masyarakat Barat bisa hidup seperti sekarang ini jika tidak ada temuan kaum muslim di atas.
Dalam kesempatan Rihlah Peradaban ke Spanyol (2016, 2022), seorang Guru Besar di University of Sevilla, Fernandez (2016) mengatakan bahwa masyarakat Spanyol sekarang ini sangat diuntungkan dengan keberadaan Kekaisaran Islam Andalusia (711-1492). Budaya dan tradisi yang berkembang di masyarakat Spanyol saat ini, termasuk tata kota dan kebersihan, merupakan warisan dari sejarah masa lalu Andalusia.
Dapat dimengerti kenapa Ratu Ishabel bersumpah ‘Saya baru akan mandi setelah merebut kembali Kota Granada’. Semula nalar sulit menerima sumpah mandi ini apabila dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Spanyol sekarang ini. Namun, jika dihubungkan dengan kondisi sebelum Kekaisaran Andalusia berdiri, rupanya sumpah Ratu Ishabel ada korelasinya. Meskipun, jika diperbandingkan antara dunia Barat dengan dunia muslim sekarang, terjadi kebalikannya. Sekarang, kota-kota di Barat teratur dan bersih, sedang di dunia muslim sebaliknya.
Jadi, Krismuha (Kristen-Muhammadiyah) menerima kembali warisan budaya modern Barat-Krsiten melalui Muhammadiyah. Sebaliknya, Muhammadiyah memberikan warisan yang dimaksud melalui pendidikan yang diselenggarakannya. Dalam proses pendidikan ini, para siswa dan mahasiswa Kristen berbaur satu sama lain; memahami keanekaragaman di antara mereka; paham mengapa mereka berbeda; paham karena mereka lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga masing-masing.
Mungkin sebagian masih mengalami conflicting relationship di tengah-tengah kehidupan masyarakat adat yang berbeda suku dan keyakinan. Namun, pengalaman seperti ini tidak terjadi di Perguruan Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA). Pemahaman seperti inilah, yang menjadi dasar sikap toleran. Masing-masing membiarkan yang lain bertidak sesuai dengan keyakinannya, dengan tidak menyakiti yang lain, verbal maupun tindakan. Nyanyian Rohani gereja difasilitasi dalam paduan suara di PTMA; iman mereka terlindungi karena pelajaran agama yang diberikan di PTMA diampu oleh dosen seiman.
Banyak pengalaman lain yang positif untuk kerukunan hidup antarumat beragama yang diperolehnya. Kenyamanan hubungan yang terjalin antarsesama sangat dirasakan sehingga, bait ‘Al-Islam agamaku Muhammadiyah Gerakanku’ dilantunkan secara sadar dan bukan merupakan beban teologis bagi mereka saat menyanyikan Sang Surya.
Jadi, Krismuha tidak menjadikan Muhammadiyah terkontaminasi oleh tradisi non-Muhammadiyah, sebagaimana sementara orang mengkhawatirkannya. Namun, justru sebaliknya, Muhammadiyah menyadarkan semua yang belajar di PTMA akan berharganya nilai pluralitas dan toleransi antarsesama.
Tradisi pendidikan, yang menjadi tema penelitian Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah membentuk perilaku pluralis siswa dan mahasiswa non-Muhammadiyah, atau setidaknya Muhammadiyah tidak dikesankan sebagian orang sebagai eksklusif, sektarian, dan tidak toleran. Dari Muhammadiyah, pencerahan bersemi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved