Sabtu 03 Juni 2023, 05:00 WIB

Pancasila dan Moderasi Beragama

Agus Moh Najib Direktur Sosialisasi dan Komunikasi, BPIP RI | Opini
Pancasila dan Moderasi Beragama

Dok. Pribadi

 

KASUS intoleransi dalam beragama masih terus terjadi di Indonesia, baik dalam bentuk fisik seperti perusakan rumah ibadah maupun dalam bentuk pemikiran dan pernyataan yang bersifat diskriminatif terhadap agama lain.

Untuk menyebutkan sebagian tindakan intolerasi beragama yang masih sering muncul dalam masyarakat ialah mempersulit pendirian rumah ibadah, penyebaran agama dengan cara-cara yang merusak persatuan dalam masyarakat, serta pergaulan yang ekslusif hanya dalam kelompok agamanya dan tidak mau bergaul dengan kelompok agama lain.

Pandangan dan tindakan intoleransi itu terutama didasari oleh paham dan tafsir keagamaan yang sempit dan tentu saja ini bertentangan dengan maksud dan nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila pertama tidak saja mengandung nilai kebebasan dalam memilih agama dan jaminan untuk menjalankan ajaran agama bagi pemeluknya masing-masing, tetapi juga toleran terhadap pemeluk agama lain, bahkan secara sosial kemasyarakatan para pemeluk agama harus bergaul, bekerja sama, dan bergotong royong satu sama lain sebagai satu saudara sebangsa dan se-Tanah Air.

Dengan kata lain, cara beragama di Indonesia ialah cara beragama yang moderat, toleran, dan inklusif, dan sebaliknya bukan cara beragama yang radikal, intoleran, dan eksklusif. Pengertian sila pertama Pancasila yang mengandung nilai-nilai moderasi beragama itu setidaknya didukung dua argumen di bawah ini, yaitu secara historis melalui keteladanan para pendiri bangsa ketika merumuskan Pancasila, dan secara filosofis melalui pemaknaan Pancasila dengan relasi antarsilanya.

MI/Duta

 

Moderasi dan toleransi

Dalam catatan sejarah, terdapat tidak kurang dari 40 orang yang berpidato di sidang BPUPK pertama 29 Mei-1 Juni 1945, dengan agenda merumuskan dasar negara bagi Indonesia merdeka. Dalam sidang tersebut, sebagaimana kesaksian Mohammad Hatta dalam buku Uraian Pancasila (1975), satu-satunya orang yang mengusulkan dasar negara ialah hanya Soekarno, yaitu mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara, yang beliau sampaikan pada pidato 1 Juni 1945.

Pidato Soekarno tersebut kemudian dibukukan menjadi Lahirnja Pantja Sila: Bung Karno Menggembleng Dasar-Dasar Negara (1947). Sidang BPUPK pertama itu menyepakati pidato Soekarno menjadi acuan dalam perumusan dasar negara dan membentuk Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang untuk merumuskannya lebih lanjut.

Panitia Delapan yang dibentuk tersebut, kemudian diubah menjadi Panitia Sembilan oleh Soekarno sebagai ketua Panitia Kecil, dalam rangka untuk mengakomodasi kelompok Islam. Panitia Delapan yang terdiri dari 6 kelompok nasionalis dan 2 orang dari kelompok Islam, kemudian diubah menjadi Panitia Sembilan yang komposisinya lebih berimbang, yaitu terdiri dari 1 ketua dan 8 anggota, 4 anggota dari kelompok nasionalis dan 4 anggota dari kelompok Islam.

Hal ini karena sebagaimana diketahui, dalam sidang BPUPK yang pertama terjadi perdebatan yang tajam antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Tawaran Pancasila Bung Karno, menurut Mohammad Hatta, dapat meredakan perdebatan yang panas tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti masuknya beberapa orang dari kelompok Islam untuk menjadi anggota Panitia Sembilan.

Panitia Sembilan, sebagaimana diketahui, merumuskan draf Pembukaan bagi UUD NRI pada 22 Juni 1945, yang di dalamnya memuat Pancasila sebagai dasar negara. Draf tersebut, kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Hasil rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta hampir sama dengan Pancasila saat ini, dengan adanya perbedaan redaksi pada sila pertama, yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Redaksi sila pertama itu, kemudian diubah pada sidang PPKI 18 Agustus 1945 menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Perubahan sila pertama tersebut diusulkan Mohammad Hatta setelah mendapatkan informasi bahwa Indonesia bagian Timur tidak akan bergabung dengan Negara Republik Indonesia, apabila sila pertamanya tidak berubah. Atas dasar itu, sidang PPKI kemudian menyepakati redaksi Pancasila sebagaimana saat ini.

Dalam rentang waktu kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 melalui pidato Soekarno, kemudian pembahasan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, dan sampai penetapannya pada 18 Agustus 1945 di sidang PPKI, Pancasila dibahas secara dinamis dan mengalami perubahan urutan sila dan perubahan redaksional yang signifikan. Walaupun secara substansial memiliki nilai-nilai yang tidak berubah, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial, sebagaimana gagasan awal dari pidato Soekarno 1 Juni 1945.

Apabila dicermati, redaksi Pancasila awal yang ditawarkan Soekarno tersebut, kemudian mendapatkan nuansa Islam yang kental dengan tetap memiliki substansi nilai kebangsaan yang kuat.

Dari uraian di atas, terlihat dengan jelas keteladanan para pendiri bangsa untuk mengutamakan kepentingan dan persatuan bangsa Indonesia yang lebih besar dari pada kepentingan satu kelompok tertentu.

Di satu sisi, khususnya Bung Karno sebagai ketua Panitia Kecil memberi keteladanan untuk mengakomodasi kelompok yang berbeda pandangan, dalam hal ini kelompok Islam, dalam perumusan Pancasila sehingga kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Di sisi lain, kelompok Islam dengan lapang dada bersedia mencoret tujuh kata pada sila pertama demi persatuan dan keutuhan NKRI. Keteladan para pendiri bangsa dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa itu, tentu saja dilandasi pemikiran yang moderat dan toleran, baik dalam masalah kenegaraan maupun dalam masalah keagamaan.

 

Nilai moderasi beragama dalam sila pertama

Soekarno dalam buku Pancasila Dasar Negara: Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno (2017) menyatakan bahwa antara satu sila Pancasila dan sila lainnya memiliki hubungan yang erat dan saling terkait. Dengan kata lain, tiap-tiap sila tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, misalnya, di samping tidak bisa dilepaskan dari sila-sila lainnya, terutama sila kedua dan sila ketiga, juga dalam waktu yang sama menjiwai sila-sila yang lainnya. Sila pertama, dengan demikian, harus dipahami sebagai nilai-nilai religiositas yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan sila kedua, dan juga memelihara nilai-nilai persatuan bangsa sesuai dengan sila ketiga.

Dari sila pertama ini, dapat dipahami bahwa negara menjamin semua warga negara untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Namun demikian, dalam menjalankan ajaran agamanya tersebut, pemeluk agama di Indonesia harus juga menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga agama yang dianut harus bersifat moderat dan toleran.

Dengan demikian, tidak dapat dibenarkan apabila ada seseorang atau sekelompok orang, misalnya, yang mengatasnamakan ajaran agama tertentu untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Atas dasar itu, Indonesia dengan sila pertamanya ini sesunggunya menolak kecenderungan radikalisame agama, ekstremisme, apalagi tindakan terorisme.

Di samping itu, ajaran agama di Indonesia, sebagaimana prinsip-prinsip semua agama, harus menjunjung tinggi nilai persatuan, kesatuan, dan kerukunan dalam masyarakat. Bahkan, lebih dari itu, ajaran agama dapat mendorong para pemeluknya untuk lebih meningkatkan rasa cintanya terhadap Tanah Air. Dengan demikian, pelaksanaan ajaran agama apa pun di Indonesia tidak boleh mengurangi apalagi membahayakan dan merusak persatuan dan persaudaraan sebagai satu bangsa (ukhuwwah wathaniyyah).

Atas dasar itu, KH Hasyim Asy’ari menyatakan kecintaan terhadap Tanah Air merupakan bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman). Artinya, corak, model, dan praktik keberagamaan yang ada di Indonesia harus selaras dengan kecintaan terhadap Tanah Air serta upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Pengertian sila pertama itu, dan juga keteladanan yang dicontohkan oleh para pendiri bangsa di atas perlu menjadi dasar bagi praktik beragama masyarakat dan bangsa Indonesia.

Pelaksanaan nilai-nilai religius yang moderat dan toleran dari sila pertama ini diharapkan dapat menjadi dasar dan titik tolak bagi bangsa Indonesia untuk dapat meningkatkan implementasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam sila lainnya. Termasuk, dalam proses berdemokrasi politik yang berpegang pada keluhuran moral dan bertujuan mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang merata.

Apabila hal tersebut dapat terimplementasi dengan baik, akan dapat membawa Indonesia sebagai negara yang dicita-citakan para pendiri bangsa, yaitu tidak saja menjadi negara maju yang adil dan Makmur, tetapi juga turut berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Baca Juga

Dok pribadi

Anggaran Pendidikan 20% untuk Siapa?

👤Santorry, Politeknik Keuangan Negara STAN 🕔Jumat 29 September 2023, 15:20 WIB
PADA awalnya penulis sekadar berselancar tentang anggaran pendidikan. Nyatanya begitu banyak tanggapan dan informasi yang mengulas tentang...
Dok. Pribadi

Pancasila, Tantangan dan Diplomasi Global

👤Achmad Ubaedillah Duta Besar RI di Brunei Darussalam dan Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fokky Fuad Wasitaatmadja Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia 🕔Jumat 29 September 2023, 05:15 WIB
GLOBALISASI digital di hampir semua aspek kehidupan berakibat pada perubahan tatanan dan nilai...
MI/Duta

Pengujian Batas Usia Capres-Cawapres

👤Atang Irawan Ahli hukum tata negara 🕔Jumat 29 September 2023, 05:00 WIB
PERHELATAN politik lima tahunan merupakan simplikasi demokratisasi dalam sebuah negara, atau lebih dikenal sebagai instrumen formil...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

MI TV

Selengkapnya

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya