Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
JAKARTA ialah salah satu kota besar di dunia yang menjadi teras bangsa Indonesia. Saat memasuki periode seperempat abad dalam abad ke-21, Kota Jakarta terus berbenah diri. Dalam kecamuk politik nasional silih berganti kepemimpinan kota dan kepemimpinan nasional, Jakarta terus dinamis. Kini bahkan, sebagai ibu kota sebentar lagi tidak diembannya kelak menyusul IKN baru Indonesia.
Revisi UU Jakarta, yakni UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus dikebut tahun ini sesuai amanah UU IKN. Revisi itu menjadi harapan pembenahan Kota Jakarta sebagai kota yang ideal bagi warganya. Tumpuan harapan tersebut bersamaan dengan tumpuan terwujudnya IKN Baru. Oleh karena itu, perlu dipikirkan substansi revisi yang berkualitas. Revisi tersebut terutama bersentuhan langsung dengan wajah baru birokrasi Jakarta.
Jebakan otonomi khusus
Kota Jakarta ke depan ialah Kota Compact, Liveble, and Global City. Mewujudkan kota ideal seperti itu membutuhkan kelembagaan pemerintah kota yang unggul. Saat ini rumusan revisi UU Jakarta tertumbuk utamanya mempertahankan kekhususan Jakarta.
Tidak terlalu sulit memastikan status khusus bagi Jakarta karena UU IKN dalam Pasal 41 telah menyebutkan nomenklatur tersebut dengan jelas, bahwa kelembagaan Kota Jakarta kelak tetap bersifat khusus. Dari sisi empiris juga faktanya Jakarta adalah kota setingkat provinsi, satu-satunya di Indonesia.
Dari sini dapat dipahami bahwa argumen kekhususan sebagai kota global dapat memicu kota-kota lainnya di Indonesia untuk menuntut kekhususan yang sama. Namun, pada alasan bahwa satu-satunya kota setingkat provinsi tidak ada lagi di Indonesia. Kota lain di Indonesia yang memiliki fungsi sebagai kota global sangat terbuka untuk Kota Surabaya, Makassar, Medan, Semarang, Bandung, dan lain-lain termasuk Denpasar.
Berhimpitan dengan kota selevel provinsi tersebut, fakta empiris lain Jakarta adalah kota ‘mega(lo)politan’ atau sering juga disebut sebagai megacity. Terdapat rumusan dalam draft UU Jakarta yang menyebutkan bahwa Jakarta memiliki fungsi sebagai kota ‘global’. Dari sisi ingin berfungsi sebagai kota ‘global’ sangat masuk akal. Namun, jika sebagai argumen kekhususan, akan menjadi preseden bagi kota lainnya untuk menuntut kekhususan.
Jakarta telah memenuhi derajat sebagai kota di atas ‘metropolitan’ menurut Bank Dunia (1995). Kota Jakarta yang eksisting ialah setingkat provinsi dan dari sisi skala perkotaan memiliki karakter multiaspek dan multipusat kegiatan ekonomi. Jakarta ialah kota ‘mega(lo)politan’. Karakter itu dibarengi dengan pola jejaring yang terbentuk bahkan melebihi garis batas administrasi provinsinya. Karakter metropolitan dari kota ini sudah terlampaui. Jumlah titik pusat kegiatan ekonomi Kota Jakarta melampaui sebuah metropolitan dengan jejaring eksternal yang sangat massif.
Kekhususan gaya baru
Dengan argumen kekhususan yang amat kuat, dalam rumusan draf UU Jakarta selanjutnya yang penting lagi adalah terkait isi kekhususan tersebut. Ada beberapa hal dalam mengisi kekhususan Jakarta agar tidak terjebak pada kekhususan yang ‘biasa-biasa’ saja. Pertama, terkait nomenklatur kekhususan Jakarta yang berbasis argumen. Jakarta yang berkarakter ‘mega(lo)politan’ layak diberi sebutan lembaganya sebagai ‘mega(lo)poltan Jakarta’, jangan ragu untuk hal ini. Jangan samakan dengan kekhususan provinsi lainnya. Jika masih disebut dengan nomenklatur ‘provinsi’, ini kekhususan biasa-biasa saja.
Pun sebutan wilayah di dalamnya yang terdiri atas kota administratif dapat diganti dengan istilah ‘metroolitan’ sesuai jenjang kawasan kota bahwa di bawah mega(lo)politan terdapat kota ‘metropolitan’, dan kabupaten administratif dapat diganti dengan istilah ‘munisipal’, akhirnya untuk kecamatan dan kelurahan juga dapat diganti.
Dalam menyebutkan unit-unit dalam tubuh pemda mega(lo)politan Jakarta dan pos-pos jabatan di dalamnya, bisa ditelisiik nama-nama di berbagai Kota di dunia dapat dilakukan pembaharuan. Sebutan ‘dinas’ seperti terjadi pada provinsi lainnya adalah sebutan yang usang. Sebutan jabatan kepala dinas, juga terasa usang. Ini perlu pembaharuan agar terwujud kekhususan gaya baru.
Kedua, bentuk dan susunan pemerintahan. Nampaknya karakter paradigma teritorial untuk Jakarta tidak terhindar dari karakter nasional. Namun, karena karakter urban untuk Kota Jakarta, dominasi teritorial menjadi perlu dikurangi jika tidak ingin terjebak pada kekhususan biasa-biasa saja. Pemerintah metroplitan di bawah pemerintah mega(lo)politan Jakarta menjadi penentu ke arah mana paradigma teritorial yang biasa selama ini digunakan diwujudkan di Jakarta seiring dengan keinginan kuat dipertahankannya otonomi satu tingkat. Paradigma perpaduan antar teritorial dan fungsional mungkin jadi pilihan, yakni ke arah dominan paradigma fungsional (Leemans, 1970), jika diinginkan kekhususan gaya baru.
Ihwal bentuk dan susunan pemerintahan ini, juga perlu terdapat terobosan kekhususan Jakarta agar tidak terjebak ‘biasa-biasa’ saja berupa dikenalkannya paradigma ‘korporatism’ karena watak market dan perkotaan membutuhkan kestabilan dalam tata kelola (Leach et al, 1997). Kepala Daerah dan DPRD adalah regulator yang harus dipisahkan dengan manajemen sehari-hari. Dapat dipikirkan adanya chief executif organiser (CEO) bagi Kota Jakarta ke depan. Pemilihan kepala daerah perlu diwacanakan jangan secara langsung dan CEO dipilih bersama antara DPRD dan kepala daerah.
Ketiga ialah kekuatan koordinasi horizontal dan vertikal. Ini pertanda bagi otonomi mega(lo)politan. Megalopolitan memiliki wewenang yang khusus seperti dirumuskan dalam draf yang telah disusun tim DPD RI baru-baru ini. Tetapi, tidak cukup Jakarta hanya memiliki wewenang yang bersifat khusus yang biasa terjadi di dalam otsus provinsi lainnya. Kekhususan Jakarta ditandai untuk kepentingan koordinasi horizontal dan vertikal yang lebih kuat.
Jakarta sebagai kota mega(lo)politan kelas dunia, agar terwujud kota yang compact, liveble and global, maka harus mampu menjadi motor penggerak bagi daerah sekitarnya untuk berkolaborasi dalam bidang-bidang pelayanan urban kelas dunia yang integrated, high class, and sophisticated. Untuk hal ini harus terdapat berbagai lembaga single-purpose agency yang merupakan kolaborasi horizontal dan vertikal sesuai bidangnya mengelola kawasan Jakarta dan sekitarnya secara terpadu. Jakarta ialah pemain utamanya dalam hal ini yang dituangkan dalam draf UU tersebut.
Keempat, perlu inisisasi rekayasa sosial. Rumusan UU Jakarta yang digagas menjadi dasar kelembagaan Kota Jakarta juga harus mampu menciptakan masyarakat yang cinta pelayanan publik kotanya. Di dalam rumusan UU perlu dicetuskan, bahwa anggota ASN dan pejabat pemda Jakarta harus menjadi contoh bagi wargnya, semisal menggunakan trasnportasi publik. Diwajibkan bagi ASN dan pejabat pemda Jakarta untuk menggunakan transportasi massal (publik) kotanya agar warga juga mencontoh.
Keempat hal di atas, mampu menciptakan Kekhususan Jakarta dengan birokrasi barunya yang tidak biasa-biasa saja. Dengan demikian, harapan Jakarta kelak menjadi kota global yang hebat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved