Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Ancaman Megatren Stunting

Perigrinus H Sebong Dosen FK Unika Soegijapranata, pegiat kesehatan global
05/5/2023 05:00
Ancaman Megatren Stunting
(MI/Seno)

PERTUMBUHAN jumlah penduduk di perkotaan saat ini tumbuh sekitar tiga kali lipat lebih cepat jika dibandingkan dengan penduduk di desa. Pada 2025, diperkirakan lebih dari 80% penduduk di negara berkembang akan menetap di kota. Ironisnya, masalah kesehatan 'superprioritas' seperti stunting juga terus meningkat terutama di perkotaan. Lantas, apakah target Indonesia untuk menurunkan stunting, atau tengkes, menjadi 14% pada 2024 masih relevan?

 

Megatren

Fenomena stunting di beberapa wilayah perkotaan Indonesia baru-baru ini merupakan bukti betapa susahnya menjamin paket manfaat intervensi penurunan tengkes benar-benar tepat sasaran. Di balik peristiwa ini, ada silent emergency yang mesti segera dicari solusinya. Pertama, saat ini migrasi penduduk dari desa ke kota sejalan dengan pergeseran gizi buruk dari desa ke kota telah menjadi megatren. Sekitar 62% kasus stunting tinggal di perkotaan seperti Jawa.

Bertambahnya prevalensi stunting di perkotaan diduga buntut dari meningkatnya kaum urban sehingga menyumbang jumlah penduduk miskin sebanyak 0,16 juta orang. Sementara itu, penduduk miskin di perdesaan hanya sebesar 0,04 juta orang.

Tidak hanya itu, laju urbanisasi yang sulit dibendung mempersulit penduduk miskin mencukupi kebutuhan gizi harian akibat terdampak oleh harga bahan makanan mahal. Misalnya saja, pada 2021 terdapat 69,1% penduduk Indonesia yang tidak mampu membeli pangan bergizi dan terpaksa mengonsumsi makanan yang tidak higienis. Selain itu, penduduk kurang mampu di perkotaan memiliki akses yang rendah untuk utilisasi pelayanan kesehatan esensial, terutama bagi anak-anak pengidap tuberkulosis (Tb), yang juga akibat gizi kurang.

Kedua, strategi percepatan penurunan stunting sepertinya tajam di atas (pusat), tetapi tumpul ke bawah (daerah). Proses deliver paket manfaat program kesehatan sering macet di tengah jalan. Itu tersirat dari keluhan kesenjangan kinerja intervensi stunting antardaerah.

Di atas kertas, ada kemauan politik yang sangat besar dari daerah-daerah untuk memberantas stunting. Namun, dalam praktiknya sering tidak sadar bahwa sulit mengeksekusi program yang benar-benar memenuhi kebutuhan spesifik daerah. Padahal, kucuran dana yang digelontorkan untuk penanggulangan stunting mencapai Rp30,63 triliun untuk 231 kegiatan pada 2021 dan naik 11,5% menjadi sebesar Rp34,15 triliun pada 2022. Jumlah kegiatan intervensi spesifik pun diperbanyak menjadi 87 kegiatan, sedangkan intervensi sensitif dikurangi menjadi 48 kegiatan dan kegiatan pendukung 57 kegiatan.

Dari situ terlihat, bahwa input berupa suntikan dana yang besar tidak serta-merta menjamin aliran paket manfaat stunting sampai ke kantong-kantong tengkes, terutama di perkotaan. Pada tatanan input dalam siklus manajemen program, anggaran yang fantastis memang menunjukkan pemerintah Indonesia serius memberantas stunting. Namun, dalam banyak kasus, masih terdapat praktik tidak cermat selama scale up intervensi.

Menurut penulis, fase implementasi (proses) dan luaran (output) program menjadi aspek yang krusial. Kualitas proses implementasi intervensi merosot, bisa jadi, disebabkan daerah tidak mampu mengidentifikasi faktor kontekstual mana yang dapat dimodifikasi untuk memperkecil hambatan di lapangan. Sementara itu, dari sisi luaran, pemerintah daerah sulit mereplikasi keberhasilan intervensi stunting dari daerah lain dengan cara yang praktis di daerah mereka.

Dari sekian banyak alasan, hemat penulis penyebab pentingnya ialah tidak tersedia pedoman best practice yang up to date. Karena itu, mereka masih menggunakan model intervensi klasik yang cenderung berorientasi sosial-psikologis, dengan tujuan utama membentuk habit atau pola hidup. Padahal, untuk membentuk habit hidup sehat butuh waktu bertahun-tahun. Itu juga tidak bisa lepas dari konteks seperti transisi epidemiologi, yang semakin dinamis di dalam pusaran megatren.

 

Mempertajam intervensi

Harus diakui bahwa ranah eksekusi intervensi kesehatan memang menantang, terutama untuk program bersifat cross cutting seperti stunting. Percepatan penurunan stunting bukan hanya prosedur teknis belaka yang terlepas dari konteksnya. Harus ada langkah konkret di tingkat daerah untuk mencocokkan antara strategi, prosedur intervensi, kebutuhan infrastruktur, keterampilan petugas, dan sumber daya yang tersedia sesuai dengan kebutuhan wilayah masing-masing.

Penulis setuju bahwa intervensi stunting harus multisektor ialah harga mati! Oleh sebab itu, lima pilar percepatan penurunan stunting nasional seyogianya ialah paket komplet yang mesti diselaraskan dengan konteks lokal/daerah. Pertimbangan konteks menjadi penting karena dua poin. Pertama, membantu pemilihan skenario deliver intervensi yang paling sesuai dengan kemampuan dan sumber daya lokal yang tersedia. Kedua, pemahaman konteks secara holistis membuka peluang yang lebih lebar untuk hasil atau luaran intervensi stunting yang signifikan setelah dilaksanakan.

Dengan demikian, fenomena stunting di perkotaan mendesak semua pihak untuk kembali mempertajam sisi-sisi intervensi yang masih tumpul di daerah. Pemerintah pusat dan daerah harus lebih strategis dalam merespons berbagai tantangan dan peluang penurunan kinerja intervensi stunting, yang ditimbulkan urbanisasi yang begitu cepat.

Hal itu dapat dilakukan dengan melihat kembali dan menyusun skenario implementasi intervensi bermotif kedaerahan (local genuine) untuk penurunan stunting. Dengan demikian, tekad mulia penurunan prevalensi stunting menjadi 14% pada 2024 masih bisa dikejar. Kita tunggu upaya konkret membenahi kinerja penurunan stunting di perkotaan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya