Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
PENEGAKAN hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata, sebagai pedoman perilaku dalam lalu-lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dalam penanganan tindak pidana pemilu/pemilihan, kita dihadapkan dengan berbagai persoalan, baik karena konten aturannya yang tidak terlalu mendukung maupun karena faktor penegakan dan budaya hukum. Menurut Gustave Radbruch, ada tiga nilai hukum yang mesti dicapai dalam proses penegakan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan hukum.
Tantangan penegakan hukum pidana pemilu jelang Pemilu 2024 setidaknya dapat dilihat dari masing-masing komponen dalam sistem hukum, yang secara langsung berpengaruh terhadap penegakan hukum. Lawrence M Friedman menilai, berhasil atau tidaknya hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum.
Pertama, substansi hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Kedua, struktur hukum (legal structure) atau struktur sistem hukum. Friedman menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian yang tetap bertahan atau bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Keberadaan struktur hukum sangat penting, karena betapapun bagusnya norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak hukum yang baik, penegakan hukum dan keadilan hanya sia-sia.
Ketiga, budaya hukum (legal culture). Kultur hukum adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Ali, 2009).
Berangkat dari tiga indikator tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu. Hal itu terkait masalah profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu, kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu.
Pada taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum materil maupun hukum formil. Bahkan hukum formil yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana pemilu secara efektif.
Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak pidana pemilu; belum profesional dan masih terjadinya tolak-menolak yang berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu.
Sedangkan pada ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih berkecenderungan untuk mengakali aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, melainkan justru membangun sikap culas atas aturan yang ada (Santoso, 2017).
Berdasarkan tata kerja Sentra Gakkumdu, permasalahan yang selama ini menjadi beban Bawaslu yaitu terkait dengan beban pembuktian, sekurang-kurangnya dua alat bukti, maka banyak laporan yang tidak diproses karena alat bukti dan saksi-saksi tidak lengkap, karena keterbatasan wewenang Bawaslu. Jauh berbeda halnya jika dibandingkan dengan kewenangan KPK dalam pembuktian tipikor.
Terkait menghadirkan pelapor dan saksi misalnya, Bawaslu tidak memiliki kewenangan melakukan pemanggilan paksa terhadap pelapor, terlapor, dan saksi untuk dimintai keterangan. Terkait tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah dan menyita barang bukti. Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk menggeledah tempat dan/atau badan, dan tidak memiliki kewenangan untuk menyita alat bukti yang ada di tangan pelapor, terlapor atau saksi.
Dengan waktu penanganan tindak pidana pemilu yang amat singkat, birokrasi penanganan tindak pidana pemilu mesti didesain lebih sederhana. Keterlibatan polisi dan jaksa tidak lagi ditempatkan secara terpisah dari proses pengawasan pemilu yang dilakukan pengawas pemilu. Dalam konteks ini, polisi dan jaksa harus didesain berada dalam satu kesatuan lembaga pengawas pemilu dalam menegakkan hukum pidana pemilu.
Dalam konteks ini, mengubah desain kelembagaan pengawas pemilu dengan memasukkan unsur polisi dan jaksa secara ex-officio merupakan salah satu cara untuk memotong panjangnya rangkaian birokrasi penangan perkara tindak pidana pemilu. Dengan cara itu, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana pemilu akan berada di bawah satu komando. Sehingga penegakan hukum pidana pemilu dapat dituntaskan dalam waktu yang sangat singkat dan berjalan lebih baik.
Pembuktian tindak pidana pemilu.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mengatur secara khusus ikhwal pembuktian dalam perkara tindak pidana pemilu. Dalam arti, tidak terdapat ketentuan yang memberikan karakter tersendiri dalam pembuktian tindak pidana pemilu. Ketiadaan pengaturan pembuktian tindak pidana pemilu berkonsekuensi terhadap tunduknya rezim pembuktian tindak pidana pemilu pada sistem pembuktian dalam KUHAP.
Hal itu didasarkan pada ketentuan Pasal 481 ayat (1) yang menyatakan, pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembuktian tindak pidana pemilu/pemilihan sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam KUHAP.
Bawaslu dalam konteks Sentra Gakkumdu diberi kewenangan Terkait dengan beban pembuktian, yaitu tersedianya ruang pembuktikan yang lebih luas. (Belajar dari kewenangan KPK dalam pembuktian tipikor). Terkait menghadirkan pelapor dan saksi, Bawaslu dalam konteks Sentra Gakkumdu diberi kewenangan melakukan pemanggilan paksa terhadap pelapor, terlapor dan saksi untuk dimintai keterangan. Bawaslu diberi kewenangan untuk menggeledah dan menyita barang bukti. Bawaslu diberi kewenangan untuk menggeledah tempat dan/atau badan, dan tidak memiliki kewenangan untuk menyita alat bukti yang ada di tangan pelapor, terlapor atau saksi.
Dengan karakter khusus yang dimiliki tindak pidana pemilu, seperti singkatnya waktu penanganan, sesungguhnya membutuhkan adanya ketentuan terkait pembuktian yang lebih spesifik selain yang diatur dalam KUHAP. Jika hanya mengacu pada KUHAP, penanganan tindak pidana pemilu akan jauh dari efektif. Apalagi untuk tujuan mengawal integritas pemilu yang jujur dan adil.
Jika dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi, salah satu faktor yang mendukung efektifitas penanganan tindak pidana korupsi adalah tersedianya ruang pembuktikan lebih luas dibanding apa yang termuat dalam KUHAP.
Salah satunya, perluasan definisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi diatur sebagai berikut: alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari; alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas memberi kesempatan cukup luas bagi penyidik untuk membuktikan dugaan tindak pidana korupsi secara lebih mudah. Sebab, penyidik tidak saja terbatas pada cara memperoleh alat bukti yang diatur dalam KUHAP, melainkan lebih luas dari itu.
Jika hal yang sama diterapkan dalam penanganan tindak pidana pemilu, tentunya beban pembuktian tindak pidana pemilu akan jauh lebih mudah. Sebab, penyidik memiliki sumber bukti yang lebih luas dari sekadar ketentuan KUHAP yang dapat dikatakan sangat terbatas. Sehingga, sebuah dugaan tindak pidana pemilu tidak dengan mudah lolos karena alasan tidak cukup bukti untuk membawanya ke proses pengadilan (Soerodibroto, 1919).
Apalagi tindak pidana pemilu sangat mudah diselundupkan ke dalam berbagai aktifitas lainnya. Dengan berbagai cara, pelaku tindak pidana pemilu justru mudah untuk lepas dari jeratan hukum karena bukti-bukti terjadinya tindak pidana pemilu sangat sulit untuk ditemukan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, sistem penanganan tindak pidana pemilu masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi; penguatan kapasitas dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum seluruh pemangku kepentingan pemilu perlu dilakukan secara terus-menerus dan konsisten. Tanpa upaya serius itu, sistem penanganan tindak pidana pemilu akan selalu jalan di tempat dan tidak akan berhasil guna dalam menopang perwujudan keadilan Pemilu.
PAKAR hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berharap agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dapat mengakomodir kerugian korban tindak pidana.
Menurunnya skor indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan menjadi tanda bahwa sistem tata kelola dan ekosistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai anti korupsi.
Polri memburu seorang tersangka yang terlibat dalam kasus penipuan berbasis teknologi artificial intelligence (AI) menggunakan deepfake wajah Presiden Prabowo Subianto.
Jumlah tindak pidana sepanjang 2024 di Kalteng mengalami peningkatan sebesar 3,3% dibandingkan 2023, dari 4.420 kasus menjadi 4.568 kasus atau naik 148 kasus.
Total kasus tindak pidana pada 2024 sebanyak 10.702 kasus, sedangkan tindak kejahatan pada 2023 sebanyak 10.463 kasus.
Pakar hukum pidana Chairul Huda mengatakan bahwa judi daring belum memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved