UNTUK kesekian kali, kebakaran hebat kembali terjadi di Depo Plumpang, Koja, Jakarta Utara. Setelah kejadian sama pada April 2002 dan Januari 2009, kini terulang lagi Jumat (3/3). Sedikitnya 18 orang meninggal dunia dan 60 lainnya terluka, seribuan warga terpaksa mengungsi, serta puluhan rumah dan kendaraan hangus terbakar.
Banyak yang menilai keberadaan Depo Plumpang sudah tidak layak karena berada di kawasan permukiman padat penduduk sehingga depo harus direlokasi ke lokasi yang aman jauh dari permukiman warga.
Tidak ada yang salah dengan letak depo bahan bakar minyak (BBM) di Plumpang yang berdiri sejak 1974. Pembangunan depo BBM di Plumpang yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok sudah sesuai dengan Rencana Induk Djakarta 1965-1985 yang kala itu di sekitar depo masih tanah kosong, tanah rawa, tidak ada permukiman. Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 pun keberadaan Depo Plumpang masih dipertahankan dan dilindungi sebagai fasilitas penting nasional.
Keberadaan depo berskala besar tentu memancing kedatangan para pekerja dan pendukung kebutuhan pekerja, seperti warung makan, tempat tinggal sementara/kos-kosan, warung/kios/pasar yang menjamur, perlahan, tapi pasti membentuk permukiman ilegal (dan legal) yang memadati ke arah depo dan sekitar, terutama pada periode 1985-1998 dan 2000-sekarang. Pelanggaran mulai terjadi ketika pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar depo terus dibiarkan Pemerintah DKI Jakarta. Ketika bencana kebakaran berulang, semua sadar ada yang salah dengan tata ruang Plumpang. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 143 Tahun 2016 tentang Manajemen Keselamatan dan Manajemen Keselamatan Kebakaran Lingkungan sudah mengatur, bangunan gedung dan perumahan, baik tertata/tidak, harus dilengkapi prasarana dan sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat.
Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Citata) DKI Jakarta perlu segera mengevaluasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2022 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030 (yang tengah direvisi) untuk memastikan keberadaan Depo Plumpang sebagai pusat pelayanan kota bidang energi dan sumber daya mineral (distribusi BBM nasional) yang harus ditata ulang.
Kedua, Dinas Citata DKI Jakarta bersama Pertamina memetakan kembali delineasi lahan milik Pertamina untuk memastikan lahan Depo Plumpang yang berdiri di atas lahan seluas 48,35 hektare dari total luas 151 hektare, serta sisa luas lahan 102,65 hektare bisa difungsikan sebagai daerah penyangga (buffer zone) ruang terbuka hijau, ruang terbuka biru (kanal pembatas), dan rusun. Cek legalitas kepemilikan lahan, apakah tanah negara, perusahaan, atau perseorangan. Konsolidasi lahan meliputi pengukuran ulang lahan, klarifikasi legalitas sertifikat dan negosiasi serta kesepakatan ganti untung.
Pertamina dan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) menyepakati jarak aman lebar daerah penyangga minimal, misal 500 meter atau lebih. Semakin lebar jarak aman, konsekuensinya akan semakin banyak permukiman warga yang harus direlokasi dan unit rusun yang harus dibangun cepat.
Ketiga, Dinas Citata DKI Jakarta harus gerak cepat menyiapkan rencana induk penataan ulang ruang kawasan Depo Plumpang. Depo Plumpang harus dikelilingi daerah penyangga, disertai peremajaan kawasan permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu. Aparat keamanan, sambil tetap melakukan investigasi kebakaran, harus segera menetapkan lokasi kebakaran sebagai zona merah dan melarang dengan tegas warga yang ingin kembali membangun rumahnya.
Sementara itu, kawasan Depo Plumpang ditata ulang, warga terdampak kebakaran yang berada di tempat pengungsian direlokasi/ditampung sementara ke Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat, atau Rusun Pasar Rumput Manggarai, Jakarta Selatan.
Keempat, Dinas Gulkarmat DKI Jakarta harus cepat menyusun rencana induk sistem proteksi kebakaran kawasan Depo Plumpang. Rencana induk memetakan kawasan rawan kebakaran; jumlah kebutuhan alat pencegah kebakaran; kebutuhan pompa hidran (beserta sumber airnya), hidran kering/mandiri/mobile; sistem koordinasi pencegahan kebakaran lintas sektoral; integrasi pencegahan dan antisipasi kebakaran antarsatuan kerja perangkat daerah.
Pencegahan kebakaran di permukiman padat harus berbasis masyarakat. Perilaku warga sadar mencegah kebakaran harus dibangun. Simulasi latihan antisipasi kebakaran rutin digelar. Kelompok sukarelawan pemadam kebakaran tingkat RT/RW/kelurahan dibentuk dan didukung dengan kelengkapan peralatan pemadam kebakaran.
Pemerintah hanya memiliki waktu emas 1-2 minggu untuk memberikan kepastian kepada masyarakat korban kebakaran. Jika gagal memanfaatkannya, bisa dipastikan warga kembali ke lokasi, membangun rumahnya, dan permukiman kembali memadat.