Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Resolusi Gagal Bayar Asuransi lewat Skema Bridge Bank

Haris Pratama Loeis Konsultan Lembaga Management FEB UI
21/2/2023 05:00
Resolusi Gagal Bayar Asuransi lewat Skema Bridge Bank
(Ilustrasi)

RISIKO selalu berjalan beriringan dengan aktivitas bisnis lembaga keuangan. Kondisi tersebut menuntut regulator dan lembaga keuangan untuk terus mengembangkan metode dan pendekatan dalam mengelola risiko. Nyatanya, lembaga keuangan, khususnya bank, terus berada dalam posisi terdepan dalam hal pengelolaan risiko, termasuk risiko kredit, risiko pasar, risiko pendanaan, hingga risiko likuiditas.

Upaya perlindungan konsumen atas risiko tidak sepenuhnya timbul akibat inisiatif lembaga keuangan, tetapi juga intervensi pemerintah. Penerapan prinsip-prinsip Basel I, Basel II, dan Basel III mendorong praktik penerapan stress-testing aktivitas bisnis lembaga keuangan, dan memastikan ketersediaan equity-capital buffer dengan motif berjaga-jaga atas potensi kerugian.

 

Financial safety net

Dalam industri jasa keuangan terdapat prinsip bahwa profit is a reward for risk bearing. Seluruh aktivitas bisnis perbankan, asuransi, pembiayaan, ataupun jasa keuangan lain penuh dengan risiko yang umumnya tidak akan ditanggung oleh khalayak umum. Risiko-risiko tersebut akan terjustifikasi apabila terdapat ekspektasi atas imbal hasil yang akan diperoleh.

Bagi pelaku jasa keuangan, semakin besar risk appetite, maka semakin besar imbal hasil yang dapat diharapkan. Perilaku risk-seeking tersebut, apabila salah dalam pengelolaannya, berpotensi menimbulkan kerugian yang besar bagi lembaga keuangan dan nasabah.

Pembentukan lembaga financial safety net merupakan best practice untuk menengahi tarik-menarik kepentingan antara perilaku risk-seeking pelaku industri dan kebutuhan masyarakat atas rasa aman. Lembaga financial safety net memiliki peran preventif terhadap potensi kerugian dan peran reaktif terhadap realisasi kerugian. Karena itu, lembaga seperti ini sangat dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan.

Bagi lembaga keuangan yang menetapkan financial safety net, tentu akan memberikan jaminan tertentu atas hak nasabah. Jaminan itu akan meningkatkan kepercayaan nasabah dan calon nasabah. Selanjutnya, hal itu akan membantu proses customer acquisition dan customer retention lembaga keuangan tersebut.

Di Indonesia, lembaga financial safety net untuk lembaga perbankan sudah terbentuk melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS berperan menjamin simpanan nasabah penyimpan hingga nominal tertentu dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Namun, lembaga serupa LPS untuk asuransi belum ada. Diakui, selama ini kasus kegagalan perusahaan asuransi di Indonesia dapat terbilang minim. Industri asuransi belum pernah menemui kasus kebangkrutan dan rush massal seperti perbankan pada krisis moneter 1998.

Walaupun demikian, dalam beberapa tahun ke belakang mulai bermunculan berita tentang kasus asuransi gagal bayar di media. Sebut saja Wanaartha Life, Kresna Life, AJB Bumiputera 1912, hingga Jiwasraya. Meski tidak menimbulkan dampak sistemik, tetap ada nasabah asuransi-asuransi tersebut yang dirugikan.

Jiwasraya, yang notabene saat itu merupakan perusahaan pelat merah, tidak dapat mengelola tingkat solvabilitas perusahaan. Nilai risk based capital (RBC) Jiwasraya mencapai angka minus 800%, sedangkan ketentuan OJK mensyaratkan tingkat RBC minimum pada angka 120%.

 

Bridge bank

Tanpa institusi financial safety net bagi industri asuransi, kegagalan perusahaan asuransi perlu ditangani dengan metode lain. Berkaca pada pengalaman di Amerika Serikat, Jepang, Nigeria, dan beberapa negara lain, penanganan bank bermasalah tanpa institusi serupa LPS dapat dilakukan melalui mekanisme bridge bank.

Meminjam metode yang dikembangkan oleh perbankan, skema bridge bank dapat diadopsi atau menjadi inspirasi bagi resolusi kasus asuransi bermasalah. Skema bridge bank merupakan variasi dari metode purchase & assumption (P&A). Pada metode P&A, perusahaan asuransi yang sehat akan membeli (purchasing) sebagian atau seluruh aset perusahaan asuransi bermasalah, berikut menanggung (assuming) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Metode ini merupakan pilihan yang efisien, mengingat penutupan perusahaan asuransi bermasalah tidak perlu diikuti dengan pelunasan seluruh kewajiban kepada pemegang polis secara serentak. Seluruh rekening pemegang polis dipindahtangankan ke perusahaan asuransi lain dengan proses yang diharapkan seamless.

Bridge bank akan berperan sebagai pihak yang memimpin proses resolusi, berikut menjadi pihak yang mengambil alih aset dan kewajiban perusahaan asuransi bermasalah. Entitas bisnis bridge bank merupakan perusahaan asuransi baru dan temporer. Namun, tetap dirancang untuk menjalankan aktivitas perusahaan asuransi dari hulu ke hilir.

Perusahaan asuransi baru tersebut akan menjembatani celah (bridging the gap) waktu yang dibutuhkan untuk menelurkan dan mengimplementasikan resolusi yang memuaskan. Opsi ini sangat cocok digunakan apabila kegagalan terjadi tanpa pemberitahuan atau dapat diprediksi, misalnya akibat temuan kasus fraud atau akibat krisis likuiditas/solvabilitas.

Kendati hanya akan beroperasi secara temporer, bridge bank tetap perlu menjalankan rantai nilai aktivitas perusahaan asuransi secara menyeluruh. Dengan demikian, kerangka hukum negara perlu untuk dapat mengakomodasi aktivitas bridge bank, termasuk dalam hal pembentukan dan pengawakan dari entitas bisnis baru tersebut.

Peran yang dijalankan oleh bridge bank diharapkan dapat menyelamatkan enterprise value dari perusahaan asuransi lama, tanpa perlu memecah fokus kepada resolusi isu-isu yang diwariskan dari perusahaan asuransi lama. Bridge bank dapat fokus kepada pengelolaan aset dan kewajiban, berikut dengan mempersiapkan langkah lanjutan pascaresolusi kasus.

Mengingat tidak ada langkah likuidasi yang dilakukan, maka brand equity perusahaan asuransi lama dapat dipelihara. Hal ini juga akan sangat bermanfaat bagi pihak yang terafiliasi. Dalam kasus Jiwasraya, contohnya, yang perlu dijaga bukan hanya nama baik Jiwasraya, tetapi juga pemerintah RI, Kementerian BUMN, serta Indonesia Financial Group (IFG).

Eksekusi skema bridge bank membutuhkan dukungan likuiditas yang kuat dari pemerintah atau pihak diberikan mandat. Proses di bridge bank umumnya membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan biaya operasional yang besar.

Perlu dilakukan proyeksi cost & benefit yang matang sebelum memilih opsi bridge bank. Apabila nilai manfaat neto dari bridge bank lebih kecil daripada opsi likuidasi, akan lebih cepat dan efisien untuk segara melikuidasi aset dan melunasi kewajiban-kewajiban yang ada.

Dalam penanganan resolusi kasus gagal bayar perusahaan asuransi, IFG memanfaatkan skema bridge bank. Langkah itu mendapat pujian dari komunitas keuangan global karena dinilai sebagai strategi penyelesaian kasus yang revolusioner, monumental, serta belum pernah ditemukan di industri asuransi lainnya.

Masyarakat Indonesia tentu berharap agar IFG dapat menjalankan proses resolusi secara cepat dan tuntas. Dengan begitu, ke depan, pengalaman pemanfaatan skema bridge bank ini akan menjadi pelajaran dalam menyelamatkan perusahaan asuransi yang bermasalah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya