CUCIAN menggunung, piring dan gelas kotor berserakan, rumah bak kapal pecah tak terurus. Sebagian dari kita umumnya mungkin pernah mengalami hal seperti itu, terutama pada musim libur Lebaran. Anggota keluarga terpaksa bergotong royong mengambil alih tugas yang biasa dikerjakan para pekerja rumah tangga tersebut. Mereka yang koceknya cukup tebal mungkin bisa merekrut tenaga tambahan lewat yayasan atau yang sering disebut pembantu infal.
Namun, coba bayangkan seandainya 'pasukan cadangan' itu ternyata juga tidak tersedia atau bahkan tidak bersedia bekerja pada hari itu. Jangankan absen sepekan, sehari saja tidak ada para bedinde itu, kehidupan rumah tangga di kota-kota besar kiranya bakal kerepotan. Sang nyonya majikan yang sehari-hari bekerja di kantor, misalnya, mungkin akan mengambil cuti untuk mengerjakan urusan yang selama ini dianggap tetek bengek itu. Namun, sampai kapan?
Begitulah pentingnya kehadiran dan peran PRT di negeri ini. Namun, ironisnya, profesi mereka seolah tidak dihargai. Buktinya tidak ada regulasi yang melindungi mereka. Standar upah yang tidak jelas, begitu juga dengan durasi dan deskripsi tugas. Seorang PRT kadang mengurus segalanya, dari mencuci dan menyetrika, memasak, membersihkan rumah, berbelanja ke pasar, menyuapi anak majikan, hingga mencuci kendaraan. Itu tidak jarang mereka lakukan dari pagi hingga malam, tanpa jaminan kesehatan pula.
Karena pekerjaan tersebut dilakukan di dalam rumah tangga dan dianggap sebagai pekerjaan informal, tidak ada peraturan yang mengaturnya dan akibatnya juga sering tidak diperhatikan. Padahal, PRT merupakan sebuah kategori pekerjaan yang sangat membutuhkan perlindungan hukum dan sosial karena mereka sangat rentan mengalami eksploitasi ataupun pelecehan, baik saat bekerja maupun dalam proses rekrutmen.
Dikutip dari tayangan Hotroom Metro TV yang ditayangkan pada 12 November 2022, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat 1.635 kasus multikekerasan terhadap PRT yang berakibat fatal selama 2017-2022. Selain itu, terdapat 2.021 kasus kekerasan fisik dan psikis, serta 1.609 kasus kekerasan ekonomi. Data itu didapatkan LSM tersebut berdasarkan laporan yang masuk sehingga kemungkinan ada lebih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Oleh karena itu, menurut mereka, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah menjadi kebutuhan mendesak untuk segera disahkan. Semakin ditunda, kata Lita Anggraini, Koordinator Jala PRT, hal itu berarti menunda para PRT untuk terlindungi dari kekerasan dan kemiskinan yang berkelanjutan. Di Indonesia, berdasarkan data yang diungkapkan Jala PRT, ada sekira 4 juta-5 juta pekerja rumah tangga. Mayoritas ialah perempuan yang berasal dari warga miskin dan penopang perekonomian.
Sebagian fraksi di parlemen sebenarnya telah memberi dukungan terhadap pengesahan Undang-Undang Perlindungan PRT itu. Pemerintah bahkan telah membentuk gugus tugas pada Agustus 2022. Presiden Jokowi pun telah meminta agar aturan tersebut segera disahkan. Akan tetapi, hingga hari ini, RUU tersebut belum juga dibawa ke rapat paripurna. Mau menunggu sampai kapan? Ingat, lo, para pekerja rumah tangga itu ialah wong cilik yang sudah sepatutnya mendapat perlindungan dari negara.