Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
AGAMA memiliki peran sentral dalam sejarah peradaban dunia. Dapat dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia adalah sejarah agama itu sendiri. Mereka yang ditunjuk sebagai kepala suku, kemudian raja, kaisar, dan sebagainya, umumnya berasal dari orang-orang yang dianggap sakti. Kesaktian yang dimaksud berkaitan dengan keunggulan kekuatan fisik, pengetahuan, hingga kebijaksanaan/kearifan. Ini membuat para kepala suku, raja, dan kaisar dianggap sebagai titisan dewa-dewa atau perwujudan Tuhan di muka bumi.
Dalam perkembangan selanjutnya hadirlah para cerdik pandai yang membantu para kepala suku, raja, dan kaisar itu dalam memimpin rakyatnya. Lahirlah kepercayaan-kepercayaan, ritual, dan berbagai ramalan tentang masa yang akan datang. Sejarah mencatat adanya hubungan dekat yang bisa jadi bersifat protagonis maupun antagonis di antara para pemimpin politik dengan pemuka agama.
Pada umumnya, kelompok pemuka agama, nabi dan rasul, menjadi oposisi bagi raja-raja yang memerintah secara zalim. Tapi, ada pula raja-raja yang bijak dan adil yang didukung oleh para pemuka agama, nabi dan rasul, dalam kepemimpinannya. Agama (religion; religious authority) dan keyakinan/keimanan (faith) hadir sebagai salah satu moda untuk mengatur masyarakat sejak permulaan sejarah manusia.
Di Athena, pada zaman Yunani kuno, kaum Sofis yang merepresentasikan kalangan cerdik pandai memanfaatkan kelemahan sistem demokrasi demi keuntungan pribadi. Mereka menggunakan pengetahuan dan kepandaian untuk mengeruk keuntungan dan mempertahankan kekuasaan yang korup.
Hal yang sama juga terjadi di banyak negara lain sepanjang abad kuno (sebelum Masehi) hingga abad klasik dan pertengahan. Mulai dari Constantinus hingga Muawiyah, dan berlanjut sampai era Imperium Usmani dan kolonialisme Eropa, hampir semuanya menjadikan otoritas agama sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan dan berbagai tindakan politik penguasa. Meski demikian, peran sentral agama sebagai landasan etika dan moral jelas tidak pernah tergantikan.
Sejak era Yunani kuno hingga sekarang ini, para filsuf politik tetap mengedepankan faktor etika dalam pemikiran politik yang mereka tulis dan sampaikan. Namun, perkembangan zaman membuat lahirnya pertanyaan tentang relasi antara otoritas agama dan negara (church and state dalam konteks sosiopolitik Eropa).
MI/Seno
Integralistik vs sekularistik
Sampai abad ke-20, setidaknya terdapat dua paradigma dalam pembahasan mengenai relasi agama dan negara (religion-state relations; religion & state relationship). Keduanya ialah sekularisme dan integralisme agama-negara (paradigma sekularistik dan paradigma integralistik).
Dalam paradigma integralistik, wilayah agama (spiritual; ritus) menyatu dengan wilayah negara (publik; politik). Paradigma ini kerap dikritik karena mengizinkan adanya hegemoni satu kelompok keagamaan (umumnya bahkan satu denominasi, mazhab atau aliran tertentu) atas jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan publik kemudian dapat saja menguntungkan kelompok keagamaan tersebut, bahkan para tokohnya bisa memperkaya diri melalui jalan kekuasaan.
Paradigma sekularistik atau sekularisme kemudian lahir sebagai anitesis dari paradigma sebelumnya. Sayangnya, sebagian kalangan melihat dialektika antara paradigma sekularistik dan paradigma integralistik ini dengan perspektif hitam-putih.
Paradigma integralistik menempatkan agama benar-benar sebagai dasar negara, tanpa melalui upaya pemahaman mendalam maupun kontrak sosial. Sarjana muslim yang mendukung paradigma ini antara lain al-Mawardi dan Ibn Khaldun. Adapun di kalangan sarjana Kristen Katolik terdapat nama St Agustinus dari Hippo. Paradigma integralistik ini mendapat perlawanan dari para pemikir era pencerahan Eropa seperti Nietzsche, Marx, Rosseau, dan lain-lain. Paradigma ini dapat ditelusuri dari gagasan kebebasan berpikir Averoizian (Ibn Rusyd) di Andalusia, yang berkembang di Prancis pada penghujung abad pertengahan.
Paradigma sekularistik atau dikenal juga dengan istilah sekularisme merupakan pandangan yang memisahkan antara urusan agama dan urusan negara. Pandangan ini menafikan adanya peran agama dalam urusan publik. Agama dimasukkan ke dalam ruang privat, yang karenanya tidak boleh muncul di ruang publik. Salah satu manifestasi paling ekstrem dari sekularisme bisa dilihat dari kebijakan antijilbab dan antisimbol agama di beberapa negara.
Penggunaan jilbab ataupun turban Sikh dilarang di sekolah, rumah sakit, dan bangunan umum/publik lainnya. Pelarangan tersebut, dikatakan untuk menjaga ruang publik dari adanya intervensi agama. Kebijakan semacam itu tentu tidak berlaku di seluruh negara yang tegas menerapkan paradigma sekularisme. Beberapa negara sekuler seperti Turki (sejak kemenangan Partai AKP pada pemilu 2002), Belanda, Inggris dan Amerika Serikat telah memberikan ruang bagi pelaksanaan ritual dan ekspresi keberagamaan di ruang publik.
Namun, pemberian ruang ritual dan ekspresi keberagamaan tersebut belum bisa dikatakan sebagai perubahan paradigma dalam relasi agama-negara di negara-negara tersebut. Sekularisme sendiri memang bermula dari upaya meruntuhkan dominasi gereja, yang dalam catatan sejarah dikatakan mendukung praktik-praktik otoritarianisme, feodalisme, hingga perbudakan dan kapitalisme.
Pengaruh Revolusi Prancis jelas terlihat dalam perkembangan sekularisme di banyak negara di dunia. Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Revolusi Prancis dipicu oleh gaya hidup keluarga kerajaan, para bangsawan, dan tuan tanah yang terlampau mewah di tengah penderitaan rakyat Prancis. Sampai menjelang Revolusi Prancis, kalangan cerdik pandai yang merupakan pemuka agama justru membenarkan perilaku buruk penguasa dan para tuan tanah Prancis di masa itu. Gagasan sekularisme Eropa kemudian terlahir sebagai perlawanan terhadap agama. Bahkan dikatakan bertujuan meruntuhkan hegemoni agama atas negara dan masyarakat.
Berbeda dengan Eropa, di Amerika Serikat, sekularisme terlahir untuk melindungi kebebasan beragama dari pemaksaan kalangan penguasa. Konstitusi Amerika Serikat mengamanatkan pemerintah federal dan negara bagian untuk tidak melarang maupun memberi bantuan dan sokongan kepada gerakan keagamaan apa pun juga. Sementara kedua model sekularisme tersebut (model Eropa dan Amerika) tersebar ke seluruh dunia dan berkembang ke arah yang beragam rupa. Perlawanan terhadap sekularisme pun terjadi di beberapa negara, seperti Iran, Pakistan, dan bahkan di Indonesia.
Paradigma sekularistik dalam bentuk paling ekstrem dapat dikatakan bermula dari Revolusi Prancis dan perlawanan bangsa Eropa atas hegemoni gereja yang membenarkan praktik penindasan atas nama ajaran agama. Karl Marx kemudian sampai menempatkan agama sebagai alat penindas, berlawanan dengan Nietzshce yang menempatkan agama sebagai alat perlawanan kaum tertindas. Tesis Marx dan Nietzsche ini menggambarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Eropa abad ke-19 yang penuh dengan konflik sosial.
Penghapusan perbudakan juga belum sepenuhnya berlaku di seluruh penjuru, sedangkan feodalisme dan kapitalisme mencekik kaum buruh, tani, dan masyarakat miskin umumnya. Apa yang dilakukan para pemuka agama kemudian malah menyuruh para budak dan kelas pekerja untuk tetap taat dan patuh kepada tuan mereka. Budak, buruh, dan masyarakat miskin hanya diberi janji manis kehidupan akhirat untuk kepentingan para tuan tanah dan pemilik modal.
Para pemuka agama cenderung memilih untuk mengenyangkan perut mereka dengan melayani kepentingan kaum bangsawan, keluarga kerajaan, dan kelas pengusaha. Hal inilah yang memicu sekularisme di Eropa untuk dapat mencapai titik ekstrem seperti di Prancis, Turki, dan di berbagai negara Eropa lainnya.
Kendati demikian, sebagian dari perlawanan terhadap hegemoni para pemuka agama tersebut juga menggunakan doktrin dan dogma agama. Inilah yang membuat Nietzsche menyimpulkan bahwa agama adalah alat perlawanan. Pandangan yang berlawanan dengan Marx, yang meletakkan agama sebagai alat penindas. Namun, keduanya tetap merupakan pendukung paradigma sekularistik ini. Keduanya tetap ingin membebaskan negara dan masyarakat dari pengaruh agama dan para pemukanya yang buruk di mata mereka.
Paradigma simbiotik
Paruh pertama abad ke-20 diwarnai dua perang dunia, krisis ekonomi yang luar biasa parah, hingga wabah flu Spanyol yang mengglobal. Pertengahan abad yang lalu ditandai antara lain dengan berakhirnya Perang Dunia Kedua serta pesatnya gerakan kemerdekaan di Asia dan Afrika.
Konsep hak-hak asasi manusia dan kebebasan pun dikenalkan oleh negara-negara maju di tengah Perang Dingin (1948-1991) yang mewarnai hampir separuh sejarah abad ke-20. Bangsa-bangsa yang merdeka atau menjadi republik sepanjang paruh kedua abad ke-20 ialahIndonesia, Korea, India, Pakistan, Malaysia, Irak, Suriah, Mesir, Afrika Selatan, dan banyak lagi.
Sebagian dari mereka menegaskan diri menganut paradigma sekularistik ataupun integralistik dalam relasi agama-negara. Negara-negara seperti Pakistan, Iran, Malaysia, dan Arab Saudi secara tegas menetapkan diri sebagai negara berlandaskan ajaran agama Islam. Adapun bangsa-bangsa seperti Turki, bangsa-bangsa Eropa, Amerika (the Americas), Australia, Selandia Baru, dan lain-lain menegaskan prinsip sekularisme dalam sistem politik dan pemerintahannya.
Praktik sekularisme yang ekstrem, hingga menolak atau melarang keberadaan simbol agama di tempat umum ini bukan hanya mendapat kritik dari kalangan penganut paradigma integralistik. Di dalam kalangan sekuler sendiri, seperti di Turki, Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia, juga muncul kritik terhadap bentuk sekularisme semacam itu. Berangkat dari praktik sekularisme yang ekstrem, dan kontestasi di antara dua paradigma relasi agama-negara tersebut, maka muncullah paradigma simbiotik.
Soekarno, Hatta, dan kawan-kawan yang turut dalam pergerakan kemerdekaan telah berdialektika dan berdinamika secara serius sepanjang lebih dari dua dekade lamanya. Puncak dari dialektika dan dinamika pemikiran di antara mereka ialah lahirnya Pancasila dan teks Pembukaan UUD NRI 1945. Naskah yang merupakan hasil perubahan Piagam Jakarta tersebut mencantumkan cita-cita kemerdekaan dan rumusan akhir dasar negara Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia terdiri dari dua lapisan/bagian fundamental. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan landasan etika yang mengakomodasi nilai-nilai agama di dalamnya. Adapun keempat sila berikutnya ialah landasan politik yang melandasi sistem politik dan pemerintahan bangsa Indonesia.
Abdullahi Ahmed An-Na’im dan M A Muqtedar Khan merupakan dua tokoh inteligensia abad ke-21 yang menulis gagasan yang sejalan dengan paradigma simbiotik ini. Tokoh-tokoh kontemporer lainnya yang berasal dari Indonesia antara lain Ahmad Syafii Maarif, Nurcholish Madjid, dan Abdurrahman Wahid. Generasi berikutnya yang kemudian mengikuti pandangan mereka antara lain Haedar Nashir, Yudi Latif, Luthfi Assyaukani, dan Budhy Munawar-Rachman.
Penempatan etika agama sebagai landasan utama (soko guru) bagi kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan ciri khas paradigma simbiotik ini. Dalam paradigma simbiotik, nilai-nilai yang bersumber dari teks dan ajaran agama memiliki kedudukan fundamental dan vital bagi rumusan dasar filosofis negara.
Paradigma simbiotik mengakui peran sentral agama sepanjang sejarah peradaban manusia. Karenanya, agama diberi ruang untuk menjaga masyarakat, negara, dan pemerintahan dalam menjalankan fungsinya. Namun, paradigma simbiotik ini juga menjaga otoritas negara dari otoritarianisme yang memanfaatkan legitimasi agama demi pemenuhan hasrat politik kekuasaan.
Harus diakui bahwa isu kebebasan beragama baru mulai disadari setelah adanya rangkaian peristiwa sejarah kelam konflik dan peperangan bernuansa agama. Pada penghujung abad pertengahan hingga memasuki abad modern, lahirlah kesadaran baru dalam melihat relasi agama-negara.
Paradigma simbiotik dapat dikatakan menjadi satu paradigma yang mendasari landasan ideologis bangsa Indonesia hari ini. Pancasila, menurut Bung Hatta, bukan merupakan ideologi sekuler maupun teokratis. Paradigma simbiotik meniscayakan adanya pembagian ruang dan peran yang tegas, adil, dan fleksibel bagi agama di ruang publik. Bukan malah membiarkan potensi permusuhan dan kebencian terhadap agama yang berakibat pada hilangnya kebebasan beragama secara total.
Otoritas negara harus mendengar dan mempertimbangkan nilai-nilai agama dan suara dari otoritas agama dalam merumuskan kebijakan publik. Demikian pula otoritas agama diharuskan menjaga integrasi nasional dan kepentingan bersama (public interest; al-mashlahah al-‘ammah), sekaligus menyampaikan aspirasi pemeluknya kepada pemerintahan/rezim petahana.
Lahirnya Pancasila dapat disebut sebagai titik awal kemunculan paradigma simbiotik. Namun, menurut Gus Dur dan Syafii Maarif, paradigma simbiotik memiliki akar sejarah yang cukup panjang hingga era klasik di Nusantara. Budaya dan karakter penduduk Asia Tenggara diyakini selalu mampu melakukan sintesis dalam dialektika dan dinamika antargagasan yang lahir ataupun datang dari luar. Karena itu, Nusantara memiliki potensi kuat memberi ruang bagi sintesis pemikiran dan asimilasi kebudayaan untuk membentuk peradaban manusia yang unggul.
PAUS Leo XIV meminta gereja Katolik merespons perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence, AI) dalam pernyataan perdananya kepada Kolese Kardinal, 10 Mei 2025.
Persoalan di Manggarai, Jakarta Selatan, lebih tepat diatasi bila ada lowongan pekerjaan yang disiapkan bagi anak-anak muda di sana.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menyebut hasil dari survei tersebut memperlihatkan persepsi positif terkait hal itu.
Sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki pengalaman panjang mengelola keberagaman agama dan budaya.
INDONESIA akan menjadi tuan rumah International Partnership on Religion and Sustainable Development (PaRD) Leadership Meeting 2025 yang membahas peran agama dalam pembangunan global
Gua Maria adalah sebuah tempat yang dibangun khusus untuk kegiatan peziarahan dan keagamaan kepada Maria dan biasanya terletak di tempat yang jauh dari pusat kota.
Kepala BPIP Yudian Wahyudi mengungkapkan Magelang Kebangsaan Fun Run 2025 bukan sekadarperlombaan lari, tetapi Jadi Simbol Persatuan dan Semangat Pancasila
SEBANYAK tujuh pemuda-pemudi purna paskibraka terpilih dilantik dan dikukuhkan sebagai Pelaksana Duta Pancasila Paskibraka Indonesia (DPPI) Kota Yogyakarta untuk masa jabatan 2025–2029
Salah satu alasan di balik usulan penyempurnaan konstitusi, yakni terkait dengan pemantapan ideologi Pancasila.
MOMEN Mei-Juni penting untuk disegarkan kembali.
Reformasi KUHAP harus lepas dari warisan kolonial dan menjadikan Pancasila sebagai asas utama hukum acara pidana.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved