Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
KEPUTUSAN Mochamad 'Iwan Bule' Iriawan untuk tidak mencalonkan diri lagi dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 16 Februari 2023 wajib disambut baik dan bijak. Baik karena itu menunjukkan karakter beliau sebagai seorang kesatria. Bijak karena beliau berpandangan ke depan tentang penyegaran bagi sepak bola Indonesia.
Bursa calon sejauh ini sudah mendapatkan dua nama sebagai calon ketua; Erick Thohir dan La Nyalla Mattalitti. Lalu, ada satu nama lagi, Ratu Tisha Destria, yang mendaftar sebagai calon wakil ketua umum. Ketiganya bukan orang baru dalam kancah sepak bola.
Erick yang saat ini menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah malang melintang dalam dunia sepak bola internasional ataupun nasional. Sementara itu, La Nyalla, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pernah menjabat Ketua Umum PSSI 2015-2016. Ratu Tisha ialah perempuan pertama yang menjadi Sekjen PSSI dan Wakil Presiden ASEAN Football Federation (AFF).
Singkat kata, dari segi figur, kita tidak perlu meragukan latar belakang dan kapasitas para calon. Mereka ialah orang-orang yang sudah paham sepak bola dan memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi sepak bola.
Komitmen
Hal pertama yang menjadi catatan saya ialah soal komitmen, janji jiwa untuk benar-benar berbuat, memperbaiki kondisi persepakbolaan Tanah Air. Tragedi Kanjuruhan dan baru-baru ini kegagalan di Piala AFF ialah dua preseden yang harus dipertimbangkan siapa pun yang terpilih bahwa keduanya tidak akan terulang lagi.
Dua preseden itu pada dasarnya berhulu pada dua hal; soliditas dan efektivitas struktur PSSI dan pembinaan. Tragedi Kanjuruhan tidak akan terjadi jika struktur PSSI berkomitmen untuk bekerja sebagai tim yang kohesif, menjalankan standar-operasional dan prosedur, serta berorientasi pada kinerja. Tragedi itu tidak akan terjadi jika terdapat komitmen yang kuat untuk berkoordinasi dan berpegang pada safety and quality assurances sebagai tujuan kerja.
Sementara itu, terkait dengan kegagalan dalam Piala AFF sebagai pencinta sepak bola yang kini lebih banyak mengikuti perkembangan hanya melalui media massa, saya melihat betapa komitmen kita untuk pembinaan berkala dan terus-menerus perlu diperkuat. Kualitas tidak bisa dikejar dengan jalan pintas. Setahu saya, negara mana pun dunia, termasuk ASEAN, yang berhasil membangun sepak bola mereka berkomitmen menjalankan pembinaan dengan berbagai cara.
Kompetisi dan pembinaan
Kompetisi harus dilihat sebagai bagian dari pembinaan. Dalam olahraga kompetisi, desire dan capacity, kecakapan bermain berjalan seiring. Saya sebut desire karena motivasi intrinsik atau hasrat dari dalam diri pemain semestinya harus lebih dominan. Menjadi juara atau berbagai bentuk sukses pribadi pemain bukan hanya soal mengejar hadiah, penghargaan, atau yang berpotensi paling merusak; popularitas. It is something, but it is not everything.
Jauh lebih prinsipiel ialah keberhasilan mengolah pikiran dan hati sehingga para pemain memilih menjadi 'orang', menjadikan sepak bola sebagai pilihan nurani. Pembinaan yang hebat ialah yang berhasil meng-uwongke mereka, yang kalau mengikuti Sun Tzu dalam strategi perang, membuat mereka merasa mulia dan bersedia berjuang mati-matian sampai titik darah penghabisan.
Sementara itu, terkait dengan capacity atau skills pada dasarnya lebih mudah dilatih. Selama berkecimpung dalam sepak bola dan kemudian mengamati para pemain kita, saya melihat bahwa para pemain kita cukup memiliki aspek ini. Dalam kompetisi demi kompetisi, setiap pemain, jika memiliki jiwa pembelajar, akan bisa dengan mudah menajamkan kecakapan individu mereka.
Pertanyaan yang harus diajukan kemudian ialah, "Apakah mereka belajar menjelang dan dalam setiap kompetisi yang diikuti?" Pada titik ini saya sampai pada poin kedua terkait kompetisi itu, yaitu bagaimana rangkaian kompetisi yang diselenggarakan memberi ruang atau bahkan 'memaksa' para pemain untuk untuk belajar.
Dalam hal ini setiap kompetisi harus memiliki quality assurances atau jaminan kualitas. Kompetisi tidak boleh sekadar adanya rangkaian pertandingan, klub-klub yang berlaga, sponsor, penonton, dan kemudian penyerahan hadiah. Setiap tingkat kompetisi harus berdasarkan standar tertentu yang disusun berdasarkan proses benchmarking—belajar dari ragam best-practices kompetisi di negara maju sepak bola dan menyusun standar yang kontekstual dan kompetitif.
Beberapa kecenderungan di kita, terkait dengan benchmarking ialah standardisasi administratif dan minim kajian mendalam. Saat ini, misalnya, sepak bola telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dengan keterlibatan sains dan dunia akademik sudah tak bisa disepelekan. Kompetisi antarklub di Eropa, misalnya, dikembangkan dengan memanfaatkan ragam sumber informasi dan diolah menggunakan metode statistik yang canggih.
Supaya para pemain memiliki ruang untuk belajar atau mengembangkan diri, sebagai contoh, jeda dan persiapan klub menjelang satu kompetisi wajib diatur. Dalam masa persiapan tersebut, klub-klub diwajibkan melakukan pembinaan sehingga mencapai standar-standar yang dihasilkan dalam proses benchmarking oleh PSSI.
Kompetisi yang harus diikuti setiap klub harus dibatasi jumlahnya sebab perbaikan kualitas pemain tidak bisa dikatakan berbanding lurus dengan jumlah kompetisi yang diikuti. Justru perkembangan mereka akan pesat jika pembinaan dan kompetisi berjalan simultan.
Eksternalitas
Maksud saya dengan eksternalitas ialah segala hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan kemajuan sepak bola, tetapi memiliki dampak yang signifikan; mengganggu atau sebaliknya berpengaruh positif.
Kepentingan politik praktis (political expediency), misalnya, wajib dipastikan supaya tidak mengganggu atau bahkan merusak independensi PSSI. Sebagaimana halnya para pemain, para pengurus sepak bola harus memiliki desire yang juga murni, yang akan menjadi filter supaya tidak salah langkah.
Demikian pula dengan apa dan siapa saja yang termasuk dalam 'mafia' sepak bola sebab itu ialah parasit, polusi, dan bahkan virus kanker dalam tubuh PSSI dan persepakbolaan Tanah Air. Pengaturan skor dan wasit serta modus operandi lain supaya pelaku mendapat keuntungan ekonomi atau sekadar demi kesenangan psikis, akan terus menggembosi PSSI. Dengan begitu, kemajuan sepak bola kita akan tetap menjadi isapan jempol semata.
Siapa pun yang terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, akan memikul beban berat. Mungkin karena harus berhadapan dengan kekuasaan, berhadapan dengan mafia sepak bola, dan/atau karena harus melakukan benchmarking, yakni klub-klub dan penyelenggara kompetisi merasa mendapat beban lebih berat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved