Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Mereduksi Keliru Tafsir Rupiah Digital

Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Direktur Riset SEEBI (The Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta Anggota Focus Group Bidang Fiskal dan Keuangan Negara PP-ISEI Pusat
16/12/2022 05:00
Mereduksi Keliru Tafsir Rupiah Digital
(MI/Seno)

SEKTOR finansial Indonesia memasuki babak baru setelah Bank Indonesia (BI) meluncurkan Proyek Garuda. Buku putih Proyek Garuda berisi desain tingkat tinggi (high level design) yang merumuskan navigasi pengembangan arsitektur rupiah digital (central bank digital currency/CBDC) pada masa depan.

Rencana penerbitan rupiah digital agaknya tidak terlepas dari maraknya penggunaan uang kripto (cryptocurrency) sebagai alat pembayaran virtual dalam beberapa tahun belakangan ini. Tanpa dasar penilaian yang kukuh, nilai uang kripto niscaya sangat fluktuatif sehingga merugikan penggunanya.

Belum kelar urusan uang kripto, aset finansial berproses menuju cryptoization. Aspek legal, risiko finansial, dan faktor keamanan atas fenomena cryptoization, yang mayoritas difasilitasi perusahaan teknologi informasi swasta, berpotensi kuat mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional.

Alhasil, Proyek Garuda digadang menjadi solusi konkret atas persoalan fundamental yang termaktub dalam cryptoization. Rupiah digital resmi diterbitkan BI dan menjadi kewajiban moneternya. Maka itu, rupiah digital diplot menjadi satu-satunya alat pembayaran virtual yang sah di Indonesia.

Dalam konteks itulah sangat masuk akal jika pengembangan awal rupiah digital difokuskan terlebih dahulu pada efisiensi sistem pembayaran. Pemilihan model wholesale CBDC menjadi justifikasinya. Akses wholesale CBDC relatif terbatas dan hanya ditujukan untuk melayani transaksi perbankan berskala besar.

Bank umum sudah pasti menjadi ‘nasabah’ bank sentral. Dengan demikian, sebagai ‘banknya bank’, manuver bank sentral lebih ringan dalam mengedarkan rupiah digital lewat bank umum tadi. Transaksi keuangan di pasar uang antarbank pun dengan sendirinya akan menggunakan rupiah digital.

Pada tahap berikutnya, BI akan memperluas cakupan Proyek Garuda untuk operasi moneter dan pasar uang serta integrasi wholesale CBDB dengan retail CBDB secara end to end. Penerbitan retail CBDC sangat krusial lantaran tidak hanya berimplikasi pada sistem pembayaran, tetapi juga sistem moneter.

Per definisi, sistem moneter ialah sehimpun kebijakan dan tindakan yang memengaruhi interaksi faktor moneter suatu negara. Tujuan sistem moneter ialah memelihara kestabilan nilai mata uang yang tecermin dari tingkat inflasi yang rendah dan nilai tukar terhadap mata uang asing yang stabil.

Rupiah digital memengaruhi interaksi faktor moneter dalam ranah sistem pembayaran. Adopsi teknologi kripto ke dalam CBDC memungkinkan mobilitas uang antarpelaku ekonomi lebih cepat. Perpindahan uang terjadi secara horizontal sehingga secara makro jumlah uang yang beredar sejatinya tidak berubah.

Mobilitas uang dalam kasus di atas sering disalahartikan sebagai velositas. Velositas dipahami sebagai kecepatan perputaran uang antarpelaku ekonomi akibat dari transaksi barang/jasa. Barang/jasa yang menjadi rujukan (underlying) ialah barang ekonomi yang mempunyai harga alih-alih barang bebas.

Keterkaitan antara uang dan barang/jasa dirangkum Fisher (1911) ke dalam satu persamaan, yakni uang dikali velositas sama besar dengan nilai dari barang/jasa yang ditransaksikan. Artinya, kebutuhan akan uang senantiasa akan berubah mengikuti nilai barang/jasa yang dipertukarkan.

Peningkatan kebutuhan uang untuk transaksi menuntut kebijakan moneter yang ekspansif. Dengan demikian, mobilitas uang secara vertikal terjadi dari bank sentral ke masyarakat. Sebaliknya, saat kebijakan moneter kontraktif, mobilitas uang secara vertikal berlaku dari masyarakat ke bank sentral.

Di satu titik ekstrem, kebijakan moneter ekspansif tanpa ada peningkatan transaksi barang/jasa memberi efek samping berupa kenaikan harga yang dikenal luas sebagai inflasi. Sebaliknya, kebijakan moneter yang kontraktif akan menghambat kegiatan ekonomi. Intinya, uang berkedudukan sebagai fasilitator transaksi.

Jika jumlah uang beredar tidak ditambah demi menghindari inflasi, transaksi barang/jasa masih bisa terjadi dengan penaikan velositasnya. Atas dasar alur logika itu, BI mengendurkan giro wajib minimum perbankan dan merelaksasi rasio intermediasi makroprudensial sebagai ikhtiar komplementernya.

Berangkat dari sini pula kebijakan moneter ikut berkontribusi pada sektor riil. Kuantitas dan velositas uang menjadi determinan penting dalam meningkatkan kegiatan ekonomi. Intinya, pembedaan area sistem moneter dan sistem pembayaran terletak pada dampaknya terhadap jumlah uang beredar.

 

Mengikuti perkembangan zaman

Oleh karenanya, BI perlu memberi penegasan apakah penerbitan rupiah digital akan menambah jumlah uang beredar. Hal itu juga perlu dilakukan saat BI mengedarkan uang fisik emisi baru. Penegasan itu diperlukan agar lagi-lagi tidak terjadi keliru tafsir penerbitan rupiah digital yang dianggap identik dengan penambahan jumlah uang beredar.

Kalaupun jumlah uang beredar naik, kebijakan moneter itu ditentukan kebutuhan masyarakat untuk bertransaksi secara digital. Rilis rupiah digital tanpa diikuti peningkatan aktivitas ekonomi digital justru kontraproduktif. Mengikuti Keynes (1936), kelebihan rupiah digital akan diarahkan untuk spekulasi.

Rupiah digital merupakan ‘sarana’ dari kebijakan moneter. Wahana kebijakan moneter dapat berubah mengikuti perkembangan zaman. Era digital menuntut perangkat uang dalam format digital pula. Tujuan akhir kebijakan moneter tetap sama, yakni stabilitas demi memperlancar aktivitas ekonomi.

Alhasil, uang tetaplah uang. Uang logam, kertas, atau digital itu, toh, hanya masalah bahan dasar. Artinya, mekanisme transmisi kebijakan moneter pada sektor riil tidak terikat material uang, tetapi kuantitasnya. Velositas uang terkait dengan transaksi barang/jasa alih-alih sistem pembayarannya.

Beberapa keliru tafsir di atas perlu direduksi sejak dini agar penerbitan rupiah digital nantinya bisa proporsional. Penafsiran rupiah digital yang berbeda akan memberikan implikasi strategi yang berbeda. Strategi turunan yang berbeda niscaya menawarkan efektivitas rupiah digital yang berlainan pula.

Mumpung penerbitan rupiah digital masih dalam tahap persiapan, literasi finansial dan edukasi digital perlu disiapkan sebagai salah satu pilar penting ekonomi digital. Bagaimanapun, rupiah digital merupakan representasi digital dari mata uang yang menjadi simbol kedaulatan negara (sovereign currency). Bukan begitu?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya