Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
INVASI Rusia terhadap Ukraina telah mengubah dunia. Berbagai sanksi ketat yang diterapkan AS dan Uni Eropa atas Rusia justru memukul ekonomi seluruh dunia. Gejolak politik dan keresahan sosial kini muncul di mana-mana, termasuk di Indonesia. Memang Perang Rusia-Ukraina hanya memperburuk situasi ekonomi global setelah sebelumnya dihantam pandemi covid-19. AS dan UE membangun narasi bahwa Rusia harus disalahkan atas situasi memprihatinkan ini, tetapi tak semua negara menerima narasi itu.
Sementara itu, negara-negara Arab produsen minyak dan gas justru mendapat rezeki nomplok. Kenaikan harga minyak dan gas dunia secara signifikan, bukan saja telah meningkatkan pendapatan negara-negara Arab tersebut, tapi juga meningkatkan political leverage (pengungkit politik) mereka di panggung internasional. Kini, mereka lebih independen menghadapi persaingan strategis AS-NATO vis a vis Rusia-Tiongkok ketika ketergantungan UE dan AS pada energi mereka meningkat.
Dengan sendirinya, hegemoni Barat atas dunia terancam. Dalam KTT Organisasi kerja sama Shanghai di Samarkand, Uzbekistan, pada 15-16 September silam, Presiden Rusia Vladimir Putin terang-terangan menyatakan perang Ukraina bertujuan menciptakan tatanan dunia multipolar dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan Tiongkok ingin menjadi negara adidaya.
Namun, ambisi Rusia dan Tiongkok tak akan terpenuhi bila Rusia kalah perang. Tak heran, kendati militer Ukraina membuat kemajuan pesat di lapangan, Putin berkeras melanjutkan perang. Memang dalam konteks Perang Ukraina, Rusia berada di point of no return. Kekalahannya akan menyebabkan pamor Rusia sebagai pemain global merosot. Bahkan, ia akan menjadi negara ‘kerdil’ di hadapan NATO dan Tiongkok.
Dari perspektif NATO, Rusia harus dihancurkan bila Barat ingin menjaga hegemoninya. Terlebih, AS dan sekutunya akan lebih mudah menghambat perkembangan Tiongkok. Tak heran, Beijing memborong energi Rusia untuk menopang kemampuan perangnya.
Pasalnya, hasil perang akan menentukan nasib Tiongkok ke depan dalam konteks persaingan strategisnya dengan Barat. Bila Rusia kalah perang, rezim Putin akan runtuh dan Rusia akan menjadi negara demokratis pro-Barat yang lemah. Bila terjadi sebaliknya, kekuatan Tiongkok yang meningkat akan memunculkan masalah keamanan di Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik. Sangat mungkin Beijing akan merealisasikan ancamannya menduduki Taiwan melalui jalan militer.
Dus, perang Ukraina ialah zero sum game bagi Rusia-Tiongkok dan AS-NATO. Tak heran, Putin mengerahkan 300 ribu tentara cadangan. Pada saat bersamaan, Moskow menganeksasi empat wilayah Ukraina melalui referendum. Ini membawa konsekuensi berubahnya realitas perang di lapangan, dari agresi Rusia terhadap Ukraina menjadi agresi Ukraina-NATO terhadap Rusia. Hal itu memberi legitimasi kepada Putin untuk menggunakan senjata nuklir sesuai dengan doktrin militer Rusia.
Negara-negara Arab kaya energi tiba-tiba muncul sebagai kekuatan baru. Bersama Rusia, OPEC+ mendikte harga energi global. Alhasil, perubahan geopolitik pada tataran global menguatkan posisi Timur Tengah. Maka kita menyaksikan para pemimpin AS, Inggris, dan UE silih berganti mengunjungi kawasan panas itu -- untuk membujuk negara-negara Arab memompa lebih banyak minyak dan gas ke pasar global – tanpa hasil yang diharapkan.
Dalam konteks perubahan dunia, Indonesia butuh pemimpin pasca-Jokowi yang memahami keniscayaan politik dan ekonomi domestik, regional, dan internasional. Saat ini, politik luar negeri Indonesia cenderung pro-status quo, yang tidak lagi produktif. Pada tingkat regional, kendati harus menjaga hubungan baik dengan Beijing, Jakarta harus memperluas kerja sama strategis dengan negara-negara di kawasan dari Jepang hingga India, guna memperkuat bargaining power-nya vis a vis China yang makin asertif dan agresif di Laut China Timur dan Laut China Selatan, terutama klaimnya atas Laut Natuna Utara.
Pada saat bersamaan, Indonesia perlu memperkuat hubungannya dengan Timur Tengah. Dalam konteks melemahnya ekonomi Tiongkok dan resesi di AS dan Eropa -- kawasan tujuan ekspor Indonesia -- akses ekonomi Timur Tengah sangat instrumental untuk menahan laju kemerosotan ekonomi bangsa. Untuk itu, presiden baru haruslah figur yang memiliki ilmu dan praksis hubungan internasional, yakni kemampuan komunikasi menjadi syarat penting. Pada tataran global, ia harus punya track record dalam hal penegakan demokrasi, HAM, dan pluralisme, ketika nilai-nilai itu mulai tergerus di hadapan sistem otoritarian Tiongkok dan Rusia yang dilirik banyak negara berkembang.
Namun, semua itu tak akan mencapai hasil maksimal kalau di dalam negeri pertikaian di kalangan anak bangsa berlanjut. Untuk itu, presiden baru haruslah orang yang bisa diterima semua kubu ideologis, terutama nasionalis dan Islam. Dengan kata lain, dia figur yang lahir dari rahim Indonesia masa kini, yang memiliki kapasitas moral, intelektual, kinerja, dan leadership.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved