Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
DR Aminuddin Syam, SKM, M Kes, M Med Ed, menyatakan perlu ada politik kesehatan sebab kesehatan ialah politik. Ketum Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) periode 2022-2026 itu memberi empat alasan mengapa kesehatan ialah politik. Pertama, karena kesehatan sama seperti sumber daya atau komoditas lain di bawah sistem ekonomi neoliberalisme yang mana beberapa kelompok sosial memiliki lebih dari yang lain.
Kedua, karena determinan sosialnya mudah diterima dalam intervensi politik dan bergantung tindakan politik. Ketiga, karena hak terhadap standar kehidupan layak untuk kesehatan dan kesejahteraan menjadi aspek kewarganegaraan dan HAM. Keempat, karena kekuasaan dilaksanakan sebagai bagian sistem ekonomi, sosial, dan politik yang lebih luas.
Pernyataan mantan Dekan FKM Unhas di atas disampaikan saat menjadi narasumber webinar Literasi Sehat Indonesia, Gema Sadar Gizi, LP2PK, dan Bokornas LKMI, beberapa waktu lalu. Aminuddin Syam mengatakan parameter keperpihakan politik kesehatan dapat dilihat pada tiga aspek. Pertama, aspek penganggaran kesehatan (Pasal 171 UU No 36/2009 tentang Kesehatan). Kedua, penyediaan SDM kesehatan. Ketiga, penyediaan fasilitas, sarana, dan prasarana kesehatan.
Pasal 171 (3) UU yang sama dikatakan bahwa besaran anggaran kesehatan dimaksud pada ayat (1) dan (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 dari anggaran pelayanan kesehatan dalam APBN dan APBD. Pelayanan publik yang dimaksud pada ketentuan ini ialah pelayanan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatannya.
Dalam penerapannya, kata Aminuddin Syam, sebesar 96,4% anggaran kesehatan untuk pelayanan publik dengan pembagian untuk pelayanan kuratif-rehabilitatif 71,1% dan promotif-preventif 19,3%. Artinya, penganggaran kesehatan untuk pelayanan publik masih didominasi aspek kuratif-rehabilitatif. Sisanya, alokasi anggaran kesehatan nonpublik seperti tata kelola administrasi dan sistem kesehatan sebesar 3,6%.
Demikian halnya penyediaan SDM kesehatan juga masih didominasi untuk orang sakit. Menurut Sistem Informasi SDM Kesehatan (SI-SDMK) Sekretariat Dirjen Kesehatan Kemenkes RI 2022, penyediaan tenaga penunjang kesehatan (587.830) menempati urutan pertama. Disusul tenaga keperawatan (511.191), kebidanan (288.686), tenaga medis (173.707), kefarmasian (87.093), teknik biomedik (63.748). Lalu kesehatan masyarakat (40.315), tenaga gizi (27.91), dan kesehatan lingkungan (20.426). Tenaga yang diharapkan fokus memberi pelayanan promotif-preventif kepada masyarakat berada pada urutan ketujuh ke bawah.
Fasilitas kesehatan pun lebih banyak untuk orang sakit, seperti penyediaan prasarana kesehatan berwujud RS, puskesmas, ruang rawat inap, ruang tenaga kesehatan, ruang konsultasi, tindakan, dan ruang pendidikan untuk diskusi. Kondisinya berbeda jika dibandingkan dengan pemenuhan ruang konseling ibu dan anak di posyandu, ruang konseling gizi di puskesmas, pemerataan masyarakat penerima air bersih, penyediaan sarana olahraga bagi masyarakat yang boleh dikata belum optimal.
Hak fundamental
Menjelang tahun politik 2024, parameter kesehatan di atas belum menjadi tema diskusi serius oleh elite politik. Pun ketika para elite bertemu hendak membangun koalisi, wacana kesehatan juga sepi. Padahal, semua tahu kesehatan merupakan HAM, hak fundamental yang telah dimiliki manusia sejak lahir. Sehat juga merupakan pilar utama pembangunan SDM suatu bangsa, termasuk Indonesia.
Sebagai HAM dan pilar utama pembangunan SDM, kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelaksanaannya, pemerintah memang dapat melibatkan masyarakat dan swasta. Namun, tetap negara meletakkan tugas itu di pundak pemerintah pelaku utama.
Sebagai pelaku utama, pemerintah perlu mengetahui kebutuhan kesehatan masyarakat. Mereka yang sakit tentu kebutuhannya ingin mendapat petolongan segera agar lekas sembuh. Butuh pelayanan medis. Namun, kondisinya berbeda bagi masyarakat yang masih sehat (80%-85% populasi), pelayanan medis mungkin di urutan kesekian.
Kebutuhan kesehatan masyarakat yang sehat dapat dikatakan lebih kepada upaya agar tetap sehat dan tercegah untuk jatuh sakit. Karena itu, bila dikaji lebih jauh, tenaga kesehatan yang dibutuhkan pun berbeda. Bisa jadi yang dibutuhkan ialah SDM yang dapat berperan sebagai aktor pembedaya kesehatan. Seperti instruktur olahraga, tenaga promosi kesehatan, tenaga kesehatan lingkungan, gizi, bidan, tenaga pertanian, peternakan/perikanan, dan ekonomi keluarga. Sementara itu, dokter dan dokter spesialis dibutuhkan untuk konsultasi atau ketika menghadapai masalah kesehatan serius.
Secara umum, peran aktor pemberdaya di atas, antara lain; memberikan pencerahan dan konsultasi cara hidup sehat; memberi konsultasi lingkungan bersih dan sehat; mendampingi masyarakat berolahraga; lalu mendampingi masyarakat memperoleh bahan makanan serta menyusun jadi menu gizi seimbang; mendampingi masyarakat dalam meningkatkan pendapatan dan ekonomi keluarga; menolong serta mengantar ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Fasilitas penunjang yang dibutuhkan pun lebih kepada ruang terbuka untuk rolahraga, interaksi sosial, dan menghirup oksigen gratis. Ruang terbuka itu, seperti lapangan dan fasilitas olahraga, taman kota, dsbnya. Hal itu juga berarti apabila kesehatan masyarakat dapat dijaga dengan pola hidup sehat, gizi seimbang, dan olahraga teratur, tentu tidak semua membutuhkan perawatan RS dengan peralatan canggih dan berbiaya mahal.
Begitu pula program kesehatannya, mungkin lebih kepada promotif-preventif. Pengecekan kesehatan secara teratur, belajar menyusun menu gizi seimbang, Jum’at bersih atau Ahad bersih, penyediaan air bersih, dan olahraga massal yang teratur seperti senam kesegaran jasmani (SKJ), pada masa dr Abdul Gafur sebagai Menpora RI, yang sering muncul di layar TVRI dengan slogan Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.
Slogan yang kemudian menjadi Panji Olahraga itu sangat mudah diingat masyarakat. Ajakan berolahraga semacam ini merupakan salah satu bentuk nyata dari promosi kesehatan yang oleh Leavel and Clark ditempatkan pada urutan pertama dan utama dalam konsep five level of prevention.
Prinsipnya, mengajak dan mengimbau masyarakat Indonesia agar rutin berolahraga. Tujuannya supaya sehat bugar jiwa dan raganya. Karena itu, tak dapat dimungkiri bahwa slogan pada masa lampau itu telah menjadi mesin penggerak bagi masyarakat Indonesia untuk gemar berolahraga, baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Menyelami dan mendialogkan
Bagi elite politik, jika kita sependapat bahwa kesehatan itu politik dan HAM, semestinya tidak membiarkan jagat perpolitikan sepi dari wacana kesehatan. Tidak perlu menunggu datangnya pandemi atau makin maraknya penyakit berbiaya tinggi, seperti jantung, strok, gagal ginjal, kanker, DM, baru berdialog. Elite politik perlu meluangkan waktu untuk menyelami dan mendialogkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia.
Ada empat alasan mengapa elite politik tidak boleh kering wawasan dan wacana kesehatan. Pertama, karena kesehatan itu sendiri ialah politik. Kedua, perubahan sistem dan budaya kesehatan ke arah yang lebih baik membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik. Ketiga, karena elite politiklah yang akan menjadi anggota parlemen di lembaga legislatif dengan tiga fungsi (legislasi, penganggaran, dan pengawasan kepada pemerintahan). Keempat, karena elite politik yang akan berkoalisi membentuk pemerintahan dan menyusun agenda pembangunan bagi masyarakat Indonesia masa depan.
Masih ada waktu bagi para elite politik untuk menemukenali masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Tidak ada salahnya memulai saat ini juga. Itu karena pada waktunya nanti, masyarakatlah yang menjadi saksi, menilai dan menentukan, siapa yang peduli akan nasib dan masa depan mereka, dan siapa yang tidak. Wallahualam bissawab.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved