Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KETIKA menjalankan pekerjaannya, tenaga medis sering berhadapan dengan kejadian tidak diharapkan atau KTD (adverse events). Saat diobati, misalnya, pasien tiba-tiba mengalami alergi, pemberatan penyakit, atau bahkan meninggal. Ironisnya, saat kejadian begini, sebagian langsung menuduh tenaga medis melakukan kesalahan. Bahkan, ada yang langsung melapor ke polisi.
Marak KTD
KTD adalah kejadian tidak diharapkan yang timbul saat penatalaksanaan medis. KTD ini sangat marak. Jangankan di negara-negara berkembang, di negara-negara maju saja ini banyak terjadi. Di AS, setiap tahun 250 ribu pasien meninggal terkait dengan KTD. Makanya, KTD di AS dilabeli sebagai pembunuh nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker.
Mengapa KTD marak? Penyebabnya ialah kompleksitas dunia medis. Faktor yang terlibat dalam dunia medis sangat beragam dan dinamis. Perjalanan penyakit dan pengobatan dipengaruhi banyak faktor yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Ini membuka banyak ruang bagi terjadinya unpredictable events. Pasien A, misalnya, sembuh dengan obat X, sedangkan pasien B penyakitnya justru memberat dengan obat itu.
Sejumlah kondisi melatarbelakangi kompleksitas ini. Pertama, objek dunia medis ialah orang sakit yang kondisi kesehatannya tidak stabil. Gradasi ketidakstabilannya bervariasi. Ada yang hanya memiliki ketidakstabilan ringan, seperti sakit tenggorokan atau nyeri lutut. Namun, ada pula yang datang dengan kondisi sudah ‘setengah mati’, mereka ke RS sudah dalam keadaan koma, perdarahan hebat, atau luka berat sekujur badan. Semakin tidak stabil pasien, semakin complicated penanganannya. Pemberian obat-obatan atau tindakan pada pasien tidak stabil mesti superhati-hati. Bila tidak, alih-alih memperbaiki kondisi, tindakan justru bisa memicu terjadinya KTD.
Kedua, diagnosis penyakit sangat banyak. Keluhan penyakit jumlahnya ratusan, tetapi diagnosis penyakit bisa ribuan. Dalam International Classification of Diseases 9 (ICD-9) yang dibuat WHO tercatat lebih 15 ribu kode penyakit. Satu keluhan pasien dapat mengarahkan kepada banyak diagnosis. Orang mengeluh sakit kepala penyebabnya bisa tension headache, migrain, gigi berlubang, atau bahkan tumor kepala. Untuk menegakkan diagnosis dan pengobatan tepat, tenaga medis membutuhkan pemeriksaan penunjang. Sayangnya, pemeriksaan penunjang tidak selamanya tersedia. Akhirnya, banyak diagnosis ditegakkan tanpa dukungan pemerikaan penunjang. Ruang untuk kesalahan diagnosis pun terbuka lebar.
Ketiga, keterlibatan multisistem. Pelayanan medik merupakan jaringan kompleks yang melibatkan banyak elemen. Dokter memang ialah ujung tombak, tetapi di belakangnya banyak elemen penunjang seperti perawat, farmasi, dan laboratorium. Kompleksitas jaringan memutlakkan komunikasi dan kerja sama maksimal. Setiap elemen harus sinkron dan solid. Bila tidak, mudah terjadi kekeliruan yang berujung pada KTD. Interaksi berbagai elemen ini membutuhkan integrasi solid dan konsisten. Sayangnya, tenaga medis adalah manusia biasa, yang kadang-kadang tidak mampu mempertahankan secara integrasi ini secara konstan yang ujung-ujungnya memicu KTD.
Keempat, dunia medis berkembang sangat pesat, baik ilmunya maupun alat-alatnya. Hampir setiap hari ada perkembangan baru dunia medis. Guideline dan standar operasional tindakan juga berubah secara reguler. Hal yang dipraktikkan beberapa saat tahun mungkin sudah outdated saat ini. Tenaga medis harus terus updated, agar dapat memilih alat dan pengobatan tepat. Bila tidak, dapat timbul kekeliruan diagnosis dan pengobatan yang berujung pada timbulnya KTD.
Kelima, tenaga medis ialah manusia biasa. Mereka juga bisa mengalami overloaded dan kecapekan. Mereka punya keluarga dan berhadapan dengan berbagai persoalan hidup, sebagaimana manusia biasa lainnya. Tidak selamanya mereka bisa dalam kondisi fit dan stabil saat bekerja. Bila mereka capek atau terbebani persoalan hidup, konsentrasi mereka bisa menurun dan memudahkan terjadinya kekeliruan tindakan.
KTD = kesalahan medis?
Sebagian masyarakat mengidentikkan KTD dengan kelalaian medis atau malapraktik. Makanya, setiap setiap timbul KTD, sekecil apa pun, tenaga medis mudah disalahkan dan bahkan dituntut. Faktanya, KTD dan kelalaian medis ialah dua konsep dan fenomena berbeda. Institute of Medicine menyebut kelalaian medis sebagai deviasi penatalaksanaan atau pelayanan. Penyebabnya bisa kegagalan melakukan tindakan yang tepat atau justru melakukan tindakan yang tidak tepat. Bentuk kelalaian medis bisa sederhana, seperti seorang perawat yang lupa mencuci tangan, tetapi bisa juga berat, seperti seorang ahli bedah yang salah operasi dan menyebabkan pasien meninggal.
Tidak semua KTD disebabkan kelalaian medis, sebagian besar justru disebabkan risiko medis. Konsep kelalaian medis dan risiko medis sangat berbeda, meski keduanya dapat merugikan pasien. Risiko medis tidak dapat dipersalahkan dalam hukum sementara kelalaian medis dapat. Alasannya, pada risiko medis kejadian KTD timbul akibat adanya faktor internal pasien. Ada pasien yang karena faktor keturunan sangat mudah mengalami alergi, pasien ini bahkan mengalami alergi saat diberikan obat antialergi.
Penentuan apakah sebuah KTD termasuk risiko medis atau kelalaian medis didasarkan pada dilakukan atau tidaknya standar prosedur medis saat kasus terjadi. Misalnya, seorang pasien yang disuntik penghilang nyeri diclofenac tiba-tiba mengalami syok anafilaksis dan meninggal. Apakah ini termasuk risiko medis atau kesalahan medis? Pada kasus ini, tindakan dianggap risiko medis bila saat memberikan suntikan tenaga medis bekerja sesuai standar prosedur, misalnya, memiliki alasan valid bahwa suntikan diclofenac memang harus diberikan, sebelum menyuntik tenaga medis menanyakan riwayat alergi pasien, serta suntikan diberikan dengan tepat sesuai standar.
Saat pasien mengalami komplikasi, dokter juga langsung melakukan tindakan penyelamatan standar, termasuk pemberian injeksi adrenalin. Bila semua tindakan ini dilakukan, meninggalnya pasien bukan karena kelalaian medis, melainkan karena risiko medis. Namun, bila ada satu elemen di atas tidak terpenuhi, kondisi tersebut mungkin dapat dikategorikan sebagai kelalaian medis.
Sanksi kelalaian medis
Ketika tenaga medis diduga melakukan kelalaian, terdapat lembaga khusus yang berwenang menyelisik dan menentukan benar atau tidaknya terjadi kelalaian. Untuk dokter, lembaga berwenang itu ialah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Lembaga ini seharusnya menjadi focal point awal, bila ada kecurigaan kelalaian medis. Laporan ke MKDKI akan diselisik dan kemudian disimpulkan apakah kasus yang terjadi terkait dengan kelalaian medis atau risiko medis.
Kalau ternyata yang terjadi ialah kelalaian medis, tidak semuanya harus diselesaikan lewat pengadilan. UU Kesehatan Nomor 36/2009 Pasal 6 mengisyaratkan bahwa pada sengketa medis penyelesaian yang perlu dikedepankan ialah negosiasi dan mediasi. Bila negosiasi dan mediasi gagal, barulah ditempuh jalur berikutnya.
Bila terbukti melakukan kelalaian, tingkat kelalaian mesti digradasi. Tergantung berat ringannya kelalaian, sanksi bisa berupa sangsi administrasi, perdata, dan pidana. Bila kelalaian berat, ada potensi sanksi pidana. Bila ringan, bisa sangsi administratif. Penentuan sangsi mana yang akan dijatuhkan sangat bergantung pada rekomendasi MKDKI dan keputusan pengadilan. Intinya, kompleksitas dunia medis menyebabkan tidak semua KTD mesti berakhir pada penuntutan tenaga medis, apalagi tuntutan pidana. Bila semua kelalaian medis penyelesaiannya hukum pidana, yakinlah tidak akan banyak lagi orang yang mau bekerja di bidang medis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved