Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
HAWA perlombaan menjelang Pemilu 2024 sudah semakin mengental. Gelombang pasang gairah politik--atau paling kurang frekuensi pemberitaan media dan percakapan di media sosial--telah mengarah ke sana.
Saat tulisan ini disusun (9/8/2022), sejauh yang sudah terdata terdapat 42 partai yang mana 14 partai sudah mendaftar secara resmi sebagai calon peserta Pemilu 2024. Berdasar hasil pemeriksaan aplikasi Sipol, KPU menyatakan 10 partai sudah berdokumen lengkap. Ada partai lama, baik yang berhasil menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT), tidak, maupun partai-partai baru.
Seperti dalam liga sepak bola atau liga cabang olahraga lainnya, pemilu merupakan judul kompetisi. Partai-partai berusaha merebut posisi. Kemenangan atau keberhasilan riil diukur dengan jumlah kursi yang berhasil diraih. Partai pemenang merupakan partai dengan perolehan kursi terbanyak.
Kalau dalam sepak bola, terdapat istilah relegasi dan promosi. Klub-klub yang gagal bersaing yang mana mereka memperoleh poin rendah karena lebih banyak kalah atau seri, pada akhir musim akan mengalami relegasi dan turun kasta ke liga yang rendah. Sebaliknya, tim-tim yang berhasil menjadi pemenang di liga yang lebih rendah akan mendapatkan promosi ke liga dengan kasta yang lebih tinggi.
Relegasi partai-partai politik yang gagal menembus PT agak berbeda. Setelah gagal pada satu pemilu, mereka bisa ikut lagi dalam pemilu berikutnya. Mungkin berganti nama atau bisa juga tetap. Partai-partai baru bisa disebut sebagai tim promosi, yang meskipun sulit, tetap saja berpeluang untuk menembus PT.
Aset dan akses
Sebuah klub dalam liga sepak bola ialah sebuah korporasi. Kepentingan yang diperjuangkanmerupakan kepentingan korporasi: keuntungan yang menjamin keberlanjutan klub. Selain didukung pemodal besar, klub juga didukung fan setia maupun baru melalui berbagai cara. Tanpa pemodal dan fan, klub bisa dikatakan akan gagal.
Kedikenalan atau popularitas klub ialah tujuan antara di samping kemenangan. Bahkan, ada klub-klub yang pada dasarnya hanya berusaha untuk eksis--bertahan hidup dan tetap bisa berkompetisi di sebuah liga utama--dan menempatkan konsep juara sebagai utopia. Mereka menjadi klub-klub medioker, tetapi tetap memiliki fan fanatik dan pemodal juga.
Singkat kata, bagi sebuah klub sepak bola, popularitas dan kemenangan ialah cara memastikan aset dan akses. Aset, misalnya dalam makna modal, diandaikan akan kembali dan bertambah jika menang. Ketika akses, misalnya, untuk berkompetisi di liga lain atau kasta yang lebih tinggi, juga demikian.
Di atas kertas, partai-partai politik seyogianyamemperjuangkan kepentingan rakyat. Partai-partai politik bertarung dalam satu sistem politik untuk memperjuangkan gagasan-gagasan yang diandaikan bermanfaat bagi masyarakat banyak. Namun, dalam perkembangan saat ini, partai-partai politik dalam konteks politik Indonesia pada dasarnya berebut aset dan akses. Kurang lebih seperti dalam sebuah liga sepak bola. Partai yang lebih banyak memenangi kursi akan dapat aset dan akses yang lebih besar yang kalau dikelola dengan baik akan menjadikan mereka sebagai partai-partai yang terlembaga (institutionalized).
Bagaimana dengan kepentingan rakyat? Seperti dalam sepak bola, bagi para fan setia, sejauh klub idola mereka menjadi pemenang, mereka tak akan banyak cakap. Namun, dan ini agak berbeda dari kecintaan pada klub sepak bola, kelompok rakyat yang menjadi pemilih partai tertentu bisa jadi telah mendapat imbalan terlebih dahulu sehingga mereka mungkin sekali bersikap 'masa bodoh'.
Karena itu, di sini muncul persoalan kontrol sosial atas partai politik. Klub-klub sepak bola besar di Eropa, misalnya, memiliki mekanisme saluran aspirasi tersendiri bagi pendukung. Bahkan, di antara mereka menjual saham secara publik. Sementara itu, dalam politik Indonesia saat ini, kontrol sosial dilemahkan politik dagang suara. Sebagian rakyat memberikan suara mereka atas dasar imbalan tertentu dan itu sekaligus alat untuk ‘membungkam’ mereka.
Koalisi
Klub-klub sepak bola besar biasanya punya semacam sister clubs, yaitu klub sepak bola yang berafiliasi dengan mereka di negara lain. Namun, tidak boleh ada sister clubs yang bertanding di liga nasional yang sama. Karena itu, dalam satu liga nasional, satu klub betul-betul bertarung mandiri. Jika kongkalingkong dengan satu klub lain, akan dikenai sanksi melanggar fair-play. Dalam politik, yang saya lihat pada dasarnya juga demikian. Tentu saja ada istilah koalisi, mitra, dan sebagainya. Namun, itu merupakan ungkapan yang belum tentu secara bulat dimaknakan. Artinya, unsur take and give dan temporalitas sangat dominan.
Menjelang Pemilu 2024, karena akan berbarengan pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres), serta pemilihan kepala daerah (pilkada), sudah muncul ancar-ancar koalisi. Itu diniatkan seperti kata peribahasa 'sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui': membuat pemetaan, meraih suara maksimal dalam pileg, serta memenangi pilpres dan pilkada.
Strategi yang sah tentu saja. Bagaimana dengan keefektifan? Hasil pastinya tentu saat pengumuman Komite Pemilihan Umum (KPU) dan jika ada perkara dengan adanya pengumuman Mahkamah Konstitusi (MK).
Saat ini kita baru bisa bicara kemungkinan dan peta. Namun, saya tak mau masuk ke perdebatan partai apa berkoalisi dengan partai mana. Juga tidak masuk pada partai atau koalisi apa mencalonkan siapa. Masih terlalu jauh. Seperti dalam posisi pengamat sepak bola, saya lebih condong bicara soal strategi yang sifatnya dini (preliminary) atau antisipatif.
Berteman dalam kegelapan jauh lebih baik ketimbang jalan sendiri. Paling kurang bisa mengurangi rasa takut. Dalam politik saat ini, saya kira juga demikian. Ego sektoral baiknya disimpan rapat-rapat. Ini zaman kolaborasi, tidak lagi melulu kompetisi!
Institusionalisasi
Klub-klub besar seperti di Liga Inggris, Spanyol, Italia, atau Jerman jarang atau bisa diandaikan mustahil mengalami relegasi. Sejelek-jeleknya kondisi di Manchester United (MU), misalnya, mereka paling kurang bisa bertahan di jajaran klub papan tengah. Salah satu sebabnya, mereka sudah punya aset dan akses.
Partai-partai politik di Indonesia sebagian besar belum teruji. Mungkin sudah berdiri lama atau sudah bertahan dalam beberapa kali pemilu. Namun, itu bukan jaminan. Oleh karena itu, perlu apa yang disebut pelembagaan atau institusionalisasi yang mana partai-partai membenahi diri secara sistemis dan visioner.
Momentum Pemilu 2024 ialah salah satu jalan, misalnya, bagi solidifikasi struktur. Namun,solidifikasi tak berarti rigiditas, tetapi fleksibilitas. Itu karena konon hanya partai-partai yang lentur secara struktural yang mampu beradaptasi seiring perubahan zaman. Ini juga yang terjadi pada klub-klub sepak bola besar. Adaptabilitas merupakan kunci menuju Liga Pemilu 2024 dan pemilu-pemilu berikutnya!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved