Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
PERDANA Menteri Imran Khan harus mengakhiri mandat sebelum waktunya. Pada 10 April lalu, Majelis Nasional melengserkan ikon kriket itu melalui mosi tidak percaya. Khan melengkapi catatan sejarah politik Pakistan di mana tidak ada perdana menterinya yang berhasil menyelesaikan masa jabatan lima tahun sejak merdeka dari Inggris pada 1947. Khan, juga mencatatkan diri sebagai PM Pakistan pertama yang dilengserkan melalui mosi tidak percaya, menyusul partai-partai koalisi membelot.
Ini cukup mengejutkan. Karena, dalam Pemilu 2018 Partai Tahreek-e Insaf (PTI) pimpinan Khan menang besar dengan meraih 117 dari 272 kursi parlemen, mengalahkan dua partai mapan: Partai Liga Muslim-Nawaz (PML-N) pimpinan Nawaz Sharif yang hanya meraih 63 kursi dan Partai Rakyat Pakistan (PPP) pimpinan Bilawal Bhutto Zardari dengan 43 kursi. Sisa 49 kursi terbagi ke dalam parpol-parpol kecil. Apa saja penyebab pemerintahan Khan kehilangan legitimasi? Kendati diduga kuat AS berperan besar dalam kejatuhan Khan, faktor lain harus juga dijadikan pertimbangan.
Ekonomi
Pemilu 2018 berlangsung di tengah keterpurukan ekonomi Pakistan. Dalam kampanye Khan menjanjikan reformasi, yang memprioritaskan ekonomi di tengah defisit perdagangan luar negeri yang cukup besar, cadangan devisa menyusut, dan nilai mata uangnya mengalami depresiasi. Ia juga memaparkan konsep ‘Pakistan Baru’ yang akan menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan dan membangun 5 juta rumah bagi orang miskin. Untuk itu, ia mengandalkan orang-orang kaya Pakistan di luar negeri, yang berjanji kepadanya akan menginvestasikan miliaran dolar AS di Pakistan. Sebagai pemimpin terpilih, tentu ia diharapkan memenuhi janji-janjinya itu yang tidak mudah untuk diwujudkan.
Ketika janji-janji itu masih berupa janji, ekonomi Pakistan dihantam pandemi covid-19. Meningkatnya harga-harga secara global telah berdampak pada banyak negara. Digabungkan dengan krisis politik, kenaikan harga-harga berakibat sangat buruk pada Pakistan, negara yang mengandalkan pinjaman luar negeri, di bawah batasan-batasan IMF, dan importir bahan-bahan pokok seperti bahan bakar.
Situasi diperparah tingginya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupee. Ketika harga bahan pokok dan bahan bakar minyak mengalami kenaikan di seluruh dunia, Khan malah menurunkannya untuk menahan laju inflasi. Akibatnya, defisit negara makin besar. Sebelum itu, kinerja ekonomi pemerintah memang payah, korupsi tetap merajalela, yang diperburuk oleh gangguan-gangguan yang datang dari kelompok-kelompok bersenjata.
Politik luar negeri
Dalam politik luar negeri, Khan berjanji membangun hubungan harmonis dengan semua tetangga Pakistan, terutama India dan Afghanistan. Terkait AS, Khan membangun hubungan yang antagonistik, terutama setelah Trump menangguhkan bantuan sebesar US$1,3 miliar, disebabkan tuduhan bahwa Pakistan melindungi Taliban yang berperang melawan pemerintahan Afghanistan dukungan AS.
Khan berpendapat, perang melawan terorisme yang diorkestrasi Washington sejak tragedi 11 September sesungguhnya adalah perang AS. Keterlibatan Pakistan dalam perang itu, yang meminta begitu banyak korban prajurit Pakistan, merupakan hal yang sia-sia. Naiknya Presiden Joe Biden menggantikan Trump tidak memperbaiki hubungan yang tegang dengan Pakistan karena Biden tak memulihkan bantuan tahunan itu. Bahkan, tak lagi relevan karena AS telah mundur dari Afghanistan.
Lalu, beberapa jam setelah Rusia menginvasi Ukraina, Khan melakukan pertemuan dengan Presiden Vladimir Putin di Moskow. Kendati secara formal Pakistan mengambil posisi netral dalam perang itu, sikap Khan condong pro-Rusia. Yang juga menggusarkan AS, Khan memuji-muji sistem Tiongkok yang dikatakan sistem yang efisien ketimbang sistem demokrasi yang dipromosikan AS.
Pada awal Februari, Khan salah satu dari segelintir pemimpin dunia yang menghadiri upacara Olimpiade Musim Dingin Beijing, ketika AS dan sekutu Barat memboikotnya terkait pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur di Tiongkok. Tiongkok memang sekutu tradisional Pakistan terkait permusuhan dengan India. Berbeda dengan pendahulunya, Khan sangat keras terhadap India, sahabat AS.
Lebih jauh, Khan memuji rezim Iran dengan mengatakan Pakistan patut meneladaninya. Selain musuh AS, Iran juga rival Arab Saudi, sekutu tradisional Pakistan. Di pihak lain, Khan tidak merespons tekanan internasional agar Pakistan mendesak Taliban memenuhi komitmennya menghormati HAM.
Bercerai dengan militer
Naiknya Khan ke tampuk kekuasaan tak lepas dari peran militer. Memang hasil Pemilu 2018 diprotes parpol-parpol oposisi yang menuduh militer berpihak kepada PTI. Jadi, sejak awal pemerintahannya, Khan yang belum berpengalaman sudah harus menghadapi banyak masalah. Pertama, menenangkan lawan-lawannya yang tidak mengakui hasil pemilu. Pemilu waktu itu memang lebih buruk ketimbang pemilu 2013, di mana Khan memprotes hasilnya. Misi pengamat Uni Eropa mengatakan pemilu tidak berjalan jujur dan ada kecurangan dalam proses penghitungan suara.
Asesmen UE menyatakan upaya sistematik mengalahkan partai penguasa (PML-N) melalui kasus-kasus korupsi, pelanggaran tatib pengadilan, dan dakwaan teroris terhadap para pemimpin dan kandidatnya. Nawaz Sharif memang ditangkap menjelang hari pencoblosan dengan tuduhan korupsi. Terkait peran militer, pengamat EU mengatakan personel keamanan kedapatan merekam dan mentransmisi hasil penghitungan suara.
Laporan itu konsisten dengan tuduhan-tuduhan parpol oposisi sebelum pemilu dan saat perhitungan suara. Militer dan ISI dituduh mengintimidasi wartawan, membungkam media-media arus utama, dan menyensor konten berita selama kampanye berlangsung. Dukungan militer kepada Khan berdasarkan asumsi ia, yang tampak lugu, dapat disetir terutama dalam kebijakan pertahanan dan luar negeri.
Pemerintahan PM Nawaz Sharif memang sering cekcok dengan militer terkait kebijakan luar negeri. Namun, terbukti Khan, seorang idealis dan bersih, ternyata tak dapat menyesuaikan diri dengan harapan militer, sementara sikapnya mudah berubah dan tak mudah ditebak. Gaya kepemimpinan Khan, seorang populis, tak disukai militer.
Militer, institusi yang dominan dalam politik Pakistan sejak 74 tahun lalu, juga melihat kebijakan-kebijakan Khan bertentangan dengan kepentingan Pakistan. Pertikaian dengan AS tidak disukai karena AS adalah mitra dagang utama Pakistan, juga demi mengimbangi India yang berhubungan erat dengan AS.
Sementara itu, pemerintahan pengganti Khan, yang sangat mungkin dipimpin Shehbaz Sharif sebagai pemimpin PML-N (menggantikan Nawaz Sharif), punya hubungan sangat mesra dengan militer dan menganggap AS sebagai kekuatan yang dibutuhkan Pakistan dalam menghadapi krisis ekonomi.
Shehbaz memimpin tawar-menawar oleh pihak oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Khan.
Peran AS
Khan menuduh kejatuhannya merupakan konspirasi AS. Setelah jatuh, Khan menemui kerumunan pendukungnya sambil melambaikan telegram yang dikatakan dari Washington, yang mendesak kekuatan politik domestik melengserkan dirinya. Tentu saja Gedung Putih membantah. Tapi bisa jadi militer Pakistan, yang kecewa kepada Khan, juga mendengar keluh kesah AS terhadap kebijakan tokoh ini.
Dalam politik Pakistan, hampir mustahil ada manuver politik besar tanpa persetujuan militer. Beberapa jam sebelum mosi tak percaya itu, Bajwa menemui Khan untuk menyatakan militer tak lagi bersamanya. Kesempatan tiga tahun yang diberikan militer dianggap disia-siakan Khan. Namun, belum tentu pengganti Khan akan lebih baik ketika Khan bertekad melakukan oposisi jalanan saat ekonomi Pakistan butuh stabilitas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved