Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
MASYARAKAT kaget atas kenaikan harga minyak goreng sawit yang sangat signifikan. Pasalnya, negeri ini adalah produsen CPO (crude palm oil), bahan baku utama minyak goreng sawit (MGS), terbesar di dunia. Operasi pasar, penetapan harga eceran tertinggi (HET), dan program domestic market obligation (DMO) yang menjadi senjata pamungkas pemerintah ternyata belum berhasil menurunkan harga MGS. Bahkan, harga MGS curah yang selama ini terjangkau daya beli masyarakat ekonomi lemah melambung tinggi.
Gagalnya pengendalian harga MGS menjadi pertanda minyak goreng sudah menjadi bahan pangan yang sangat dibutuhkan rakyat. Terbuka kemungkinan, di masa datang minyak goreng ini bisa diposisikan sebagai komoditas politik. Seiring dengan itu, harus ada upaya berkelanjutan dari semua pihak untuk menstabilkan harga minyak goreng ke posisi normal. Seperti komoditas pangan strategis lainnya, yaitu beras, gula, jagung, kedelai, dan daging sapi, seharusnya minyak goreng patut mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah melalui Badan Pangan Nasional guna mencegah tujuan pihak-pihak tertentu yang hendak mengganggu stabilitas harga pangan nasional saat bulan suci Ramadan dan tahun politik 2024.
Bukan hendak mengecilkan upaya yang sudah dilakukan pemerintah. Berbagai kebijakan yang telah dilakukan patut kita apresiasi. Namun, fokus solusinya masih program jangka pendek, dan pada satu komoditas yakni kelapa sawit. Padahal sumber minyak goreng di Tanah Air masih bisa dikembangkan ke komoditas lain. Lantas, apa langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan bahan baku minyak goreng di masa datang?
Minyak nonsawit
Jauh sebelum mengenal kelapa sawit sebagai sumber bahan baku minyak goreng, masyarakat Indonesia sudah mengenal kelapa sebagai sumber minyak goreng. Umumnya minyak goreng, iya ‘minyak kelapa’. Ini tidak berlebihan, sebab kelapa sudah lama menjadi bagian hidup dan menghidupi rakyat. Kelapa lebih dari sekadar sumber minyak goreng. Hampir semua bagian tanaman kelapa memberikan manfaat bagi manusia. Kelapa pun dikenal sebagai pohon kehidupan.
Meski kelapa tumbuhan asli Indonesia, saat ini ada anggapan kelapa hanya bagian dari kejayaan perkebunan masa lalu. Sebab, ketika Indonesia krisis minyak goreng, yang dicari ialah minyak goreng sawit, seolah-olah kita sudah lupa pada kelapa. Padahal, kelapa sawit –berasal dari Afrika–baru masuk ke Indonesia sekitar 1848 dan ditanam pertama kali, berupa dua bibit, di Kebun Raya Bogor. Minyak sawit pun baru dikenal sekitar 1964 dan perkembangannya makin pesat sejak 1980-an.
Jika pada 1980 luas perkebunan kelapa sawit di RI baru 30.000 hektare (ha) dan arealnya pun terbatas hanya di Sumut dan Aceh dengan produksi 750.000 ton CPO, maka pada 1994 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat pesat menjadi 1,8 juta ha dengan produksi CPO sebesar 4,8 juta ton.
Dua belas tahun kemudian, yakni 2006, perkembangannya amat spektakuler. Luas perkebunan kelapa sawit di RI sudah mencapai 5,8 juta ha. Dengan areal seluas itu, RI mampu memproduksi CPO 16 juta ton. Ini menjadikan RI produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Selanjutnya, saat ini luas perkebunan kelapa sawit di RI mencapai 15 juta ha dengan produksi CPO mendekati 50 juta ton, terbesar di dunia.
Kelapa sawit pun sudah menjadi salah satu komoditas andalan RI dalam menambah devisa negara. Pada 2018 lalu, ekspor CPO mencapai 34 juta ton dengan nilai sekitar Rp270 triliun. Tujuan negara ekspor meliputi India, Uni Eropa, Tiongkok, Pakistan, Bangladesh, dll. Peningkatan produksi CPO diramalkan terus berlangsung sejalan dukungan teknologi yang kian maju dan tingginya permintaan masyarakat internasional terhadap CPO untuk kebutuhan industri biodiesel dan kimia lainnya.
Menata kembali
Di tengah kekhawatiran semakin tak terkendalinya harga minyak mentah (petro energy)– saat ini di tengah serangan Rusia ke Ukraina, harganya sudah di atas US$100 per barel–masyarakat dunia menyerukan agar potensi biodiesel berbahan baku minyak sawit segera dioptimalkan untuk mencegah krisis energi di masa datang.
Indonesia pun giat menggali energi alternatif murah, ramah lingkungan, berbasis lokal, dan bisa diperbarui. Langkah ini amat penting karena pada saatnya petro energy akan terancam habis. Sayangnya, strategi pengembangannya belum dirancang baik sebab pasar tidak ditata terlebih dahulu. Kini, telah terjadi rebutan komoditas minyak sawit oleh pelaku industri makanan dan produsen biodiesel. Kelangkaan pasokan CPO untuk bahan baku minyak goreng pun mulai terjadi dan diprediksi kian sulit diatasi.
Perebutan CPO untuk kebutuhan industri minyak goreng dan industri biodiesel kini telah menetaskan harga MGS melambung tinggi. Ini menunjukkan peran minyak sawit di masa datang akan semakin besar, sebab minyak nabati yang satu ini memiliki potensi luar biasa menjadi sumber energi alternatif untuk kepentingan industri biodisel dan kosmetika. Komoditas sawit memang bukan sekadar produk CPO dan minyak goreng, tetapi jauh lebih besar dari itu.
Langkah ke depan, pemerintah harus menata kembali kebijakan pengadaan bahan baku industri minyak goreng secara komprehensif sebelum masalah lebih besar muncul pada komoditas strategis ini. Kian mahalnya minyak goreng, akibat tingginya permintaan negara-negara maju terhadap CPO untuk kebutuhan industri biodiesel, harus diatasi dengan mendorong masyarakat kembali ke minyak kelapa dan nonsawit lainnya. Hal itu bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali pabrik minyak kelapa.
Sebagai salah satu negara yang memiliki areal tanaman kelapa terbesar di dunia--hampir di semua provinsi dapat dijumpai tanaman kelapa--seharusnya RI tidak mengalami kelangkaan pasokan bahan baku minyak goreng. Pemerintah harus memfasilitasi para petani kelapa di seluruh Tanah Air, baik berupa modal maupun penyuluhan teknologi. Masa kejayaan ‘bangsa nyiur melambai’ RI sebagai produsen minyak kelapa utama di dunia dapat diwujudkan kembali.
Sayangnya, sudah sejak lama kita meninggalkan kelapa karena cuan yang dijanjikan kelapa sawit sangat bermakna. Yang paling memprihatinkan, kita seperti dibius oleh isu negatif tentang kelapa. Minyak kelapa seakan dinobatkan tidak baik buat kesehatan. Ia komoditas yang bisa menaikkan tekanan darah dan meningkatkan kolesterol, juga sumber penyakit jantung. Tanpa memilah informasi itu, kita meninggalkan dan tidak mengurus kelapa. Masa depan minyak kelapa murni yang banyak manfaatnya bagi kesehatan seakan berada dalam lorong kegelapan.
Kelapa seakan menjadi komoditas yang terpinggirkan. Perkebunan kelapa mulai ditinggalkan. Orang lebih memilih berinvestasi di kelapa sawit yang memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga percepatan perluasan perkebunannya makin pesat. Sebaliknya, perkebunan kelapa malah banyak yang dibiarkan atau terkonversi menjadi kebun tanaman lain.
Kondisi itu makin memprihatinkan karena peremajaan perkebunan kelapa tidak dilakukan. Riset pengembangan komoditas kelapa di perguruan tinggi di Indonesia juga berkurang alias mati suri. Setidaknya sudah jarang melakukan riset mengenai penemuan bibit ‘baru’ unggul dan produk hilirnya untuk memberi nilai tambah kepada petani kelapa.
Revitalisasi perkebunan kelapa patut dilakukan. Masyarakat perdesaan dapat menanam kembali tanaman kelapa unggul guna memasok bahan baku minyak goreng. Dengan demikian, di masa datang harga kebutuhan pokok yang satu ini terjangkau oleh setiap warga.
Untuk itu, pemerintah perlu memastikan keberadaan sentra-sentra produsen kelapa dan melakukan sejumlah upaya strategis, seperti peremajaan perkebunan kelapa dan riset untuk menghasilkan bibit baru. Selain itu, satu hal yang tak kalah penting ialah pemerintah perlu memberikan berbagai insentif yang memungkinkan perkebunan dan industri kelapa di dalam negeri bergairah kembali.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved