Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
HITUNG mundur menuju Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara telah dimulai. Hingga dua tahun ke depan, tepatnya Agustus 2024, merupakan transisi menuju berakhirnya status Jakarta sebagai Ibu Kota RI. Telah ramai menjadi perbincangan publik, bagaimana kira-kira wajah Jakarta setelah alih status tersebut.
Ada perasaan cemas dan risau memang bagi sebagian masyarakat, yang bisa jadi itu adalah wujud kecintaan warga atas Jakarta. Saya sendiri cukup optimistis posisi Jakarta tidak banyak berubah, Jakarta sebagai ikon nasional tetap tidak tergantikan. Jakarta akan tetap tumbuh sebagai kota yang inspiratif dan kaya gagasan.
Perjalanan sejarah yang panjang sebagai sebagai sebuah kota, kiranya bisa memberi inspirasi bagi pembentukan komunitas di IKN Nusantara nanti. Bila infrastruktur fisik, termasuk fasilitas pendukung bagi IKN Nusantara, kita sudah percaya pada tahapan pembangunannya. Namun masyarakat macam apa yang akan tumbuh di IKN nanti, untuk sementara ini belum bisa dibayangkan. Pada fase ini kiranya Jakarta bisa menginspirasi bagi IKN Nusantara.
Salah satu yang bisa dipelajari dari Jakarta adalah terkait nilai toleransi. Jakarta terbentuk sejak mula sebagai kota bandar dan dagang, sehingga komposisinya penduduknya beragam, baik terkait etnik dan keyakinan, sehingga Jakarta sejak lama dikenal sebagai kota yang toleran.
Dalam setiap perayaan hari besar keagamaan misalnya, selalu berjalan lancar dan damai, seperti saat memasuki bulan Ramadan, kemudian dilanjutan perayaan lebaran . Posisinya sebagai kosmopolitan, menjadikan ikatan primordial segenap warganya secara alamiah mencair.
Kemudian beberapa fasilitas publik yang tidak bisa dikembangkan di Jakarta secara optimal, karena sejumlah kendala, seperti jalur khusus sepeda, pedestrian, kawasan hijau, dan seterusnya, bisa direalisasikan kelak di IKN.
Perlu diciptakan ruang publik yang ramah lingkungan dan hijau. Ini sesuai target Indonesia menuju negara bebas emisi (net zero emissions) pada tahun 2060, dan bila memungkinkan lebih cepat lagi.
Tentu semuanya sudah masuk desain, terkait program elektrifikasi transportasi, untuk itu ekosistem harus disiapkan.
Pada beberapa titik strategis perlu didirikan SPKLU (stasiun pengisian kendaraan listrik umum), yang fungsinya mirip SPBU untuk BBM berbasis fosil, hanya ini untuk kendaraan listrik.
Sudah harus dipastikan sejak awal, IKN bakal didukung energi terbarukan (renewable energy). Mengingat tidak ada lagi PLTU (berbasis batubara), maka sebagai penggantinya adalah dengan memanfaatkan teknologi baterai kapasitas besar sebagai penyimpan energi (energy storage system), sehingga bisa mendukung kebutuhan listrik IKN dengan stabil.
Selain kesiapan soal infrastruktur dan ruang publik, perlu juga dipikirkan pada level yang lebih abstrak, salah satunya soal bagaimana mengubah persepsi terhadap kekuasaan.
Penghuni IKN diasumsikan sebagai komunitas sesuai aspirasi masyarakat madani (civil society), bagaimana hubungan antara pejabat dan staf begitu akrab dan lebih berwajah manusiawi. Tidak lagi kaku dan bersekat-sekat seperti yang kita pahami dan saksikan selama ini.
Salah satunya soal protokoler ketika pejabat (termasuk presiden) berkendara, tidak perlu lagi menggunakan konvoi kendaraan pengawal dengan sirene yang meraung-raung. Khusus untuk konvoi kendaraan rombongan presiden, tetap seuai dengan prosedur pengamanan yang ada selama ini, mengingat posisinya sebagai simbol negara. Hanya sebaiknya minus suara sirene, karena di IKN tidak ada lagi kemacetan seperti Jakarta.
Dan pada akhirnya, itu semua adalah ikhtiar bersama mengondisikan terciptanya masyarakat madani sepenuhnya.
Sebetulnya, Jakarta sudah pernah memiliki pengalaman melepas status sebagai ibu kota, meskipun hanya sementara, yaitu ketika pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta di masa perang kemerdekaan (1946 – 1949).
Uniknya, Perdana Menteri Sutan Sjahrir tetap berkantor di Jakarta di tengah kepungan tentara pendudukan. Tetap bertahannya Sjahrir di Jakarta, meskipun itu riskan bagi keselamatan jiwanya, menyiratkan simbol yang lain, bahwa di Jakarta selalu ada ruang untuk bersikap kritis terhadap kekuasaan.
Hubungan antara kota besar dengan politik adalah fenomena tersendiri, terlebih pada kota “sedemokratis” seperti Jakarta.
Mengingat kota (utamanya Jakarta) memiliki jejak yang panjang dalam pasang-surut sebuah rezim. Seperti tatanan Orde Baru di masa lalu dan munculnya gerakan reformasi Mei 1998, adalah contoh terbaik fenomena politik perkotaan, karena awalnya dibangun secara intensif oleh poros Jakarta – Bandung –Yogyakarta.
Bila kita perhatikan, hampir semua peristiwa politik yang monumental, selalu terjadi di kota besar, seperti (terutama) Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Salah satunya mungkin karena keberadaan perguruan tinggi ternama, yang memiliki tradisi berpikir secara independen, yang secara konsisten melahirkan akademisi dan aktivis mahasiswa yang tetap menjaga sikap kritisnya. Begitulah, Jakarta tetap memiliki posisi tipikal dalam politik, termasuk bila statusnya sebagai ibu kota RI sudah lepas.
Sekadar perbandingan, peran kampus dalam dinamika politik perkotaan, bisa kita lihat pada kota yang relatif kecil, yaitu Kota Salatiga. Kota yang sampai dekade 1970-an masih dikenal sebagai “kota pensiunan” kemudian berkembang menjadi kota yang dinamis, karena adanya kampus UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana).
Terlebih setelah kehadiran intelektual cum aktivis Arief Budiman, yang menjadi inspirasi bagi aktivis gerakan mahasiswa di Salatiga, bahkan secara nasional. Keberadaan UKSW juga menggerakan sektor perekonomian di Salatiga, seperti jasa kos-kosan dan bisnis kuliner.
Artinya Jakarta tetap berperan sebagai mata air gagasan yang terus mengalir. Selain kampus, keberadaan lembaga think tank seperti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), maupun yang swasta seperti CSIS, LP3ES, Komunitas Salihara, dan seterusnya, akan terus mewarnai perjalanan Jakarta.
Seperti revitalisasi pasar modern Sarinah misalnya, merupakan langkah cerdas anak bangsa untuk mengangkat kembali konsep Trisakti Bung Karno, utamanya pada poin kemandirian ekonomi.
Pelajaran terkini yang bisa kita ambil dari Jakarta adalah, bagaimana kolaborasi lintas sektoral terjadi saat mengatasi pandemi covid-19, ketika sejumlah lembaga, baik pemerintah maupun swasta secara bergelombang menyelenggarakan vaksinasi, baik dosis primer maupun dosis penguat (booster), guna mempercepat transisi menuju endemi. Jakarta juga bisa menjadi model yang baik, saat warganya sangat disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan.
Selaras dengan konsep kota sehat menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), soal perlunya pendekatan komprehensif untuk menciptakan sebuah wilayah dan masyarakat yang sehat dan sejahtera. Hal ini bukan hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur, melainkan juga pada aspek ekonomi, budaya, sosial dan kemanusiaan. Variabel yang semuanya tercakup dalam SDG’s (tujuan pembangunan berkelanjutan), sebagai kota yang bersih, sehat dan nyaman untuk dihuni warganya.
Pengalaman mengatasi pandemi juga memperlihatkan, kota yang sehat juga bertumpu pada kesadaran warga dan ikhtiar berkesinambungan guna meningkatkan berbagai tatanan kesehatan kota.
Selama masa pandemi, sistem kesehatan kota (Jakarta) diuji dengan beratnya beban penanganan pasien. Namun ada pelajaran yang bisa dipetik, bahwa sistem layanan kesehatan yang kuat dan responsif harus dibangun, termasuk perilaku hidup bersih dan sehat.
Pada akhirnya kita cukup optimistis bahwa Jakarta sebagai ikon nasional di bidang pendidikan, jasa, kebudayaan, perdagangan dan seterusnya akan tetap lestari.
Kalau kota yang lebih kecil saja (seperti Salatiga) bisa tetap aktual mengarungi zaman, terlebih lagi Jakarta, dia akan tetap tumbuh dan berkembang, terlepas dari apa statusnya kelak.
Puluhan petani yang tergabung dalam Forum Petani Kelapa Sawit (FPKS) se Kalimantan Timur melakukan aksi unjuk rasa.
Banyak pihak yang mengkhawatiran proyek pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru. Pasalnya proyek ini rentan menjadi lahan korupsi.
Hal tersebut terjadi karena Jakarta menjadi tempat padat penduduk yang penuh dengan polusi dan air yang tercemar.
Kualitas udara di wilayah Jakarta dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta berada pada level sedang.
Pengamat perkotaan Nirwono Joga berpendapat, banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan Jakarta agar totalitas menjadi kota bisnis baik secara regional maupun global
"Jadi gedung pemerintah di Jakarta dikomersialkan, disewakan jangka panjang dan uangnya dipakai untuk di sana," ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (23/1).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved