Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Menakar Nalar Permenaker Pencairan JHT 56 Tahun

Soelistijono, Jurnalis Media Indonesia
18/2/2022 22:51

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itulah yang dirasakan para buruh atau pekerja di Indonesia saat ini.

Belum hilang ingatan mereka terhadap pemberlakuan peraturan pemerintah terkait pengupahan yang dinilai tidak layak, kini para pekerja kembali dikejutkan dengan terbitnya Permenaker no 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.

Peraturan yang diteken Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah itu dinilai oleh perwakilan buruh cacat hukum dan semakin menjadikan buruh di Indonesia menderita. Benarkah?

Salah satu klausul Permenaker yang diterbitkan pada 4 Februari 2022 itu menyebutkan, manfaat dana JHT baru bisa diberikan pada saat peserta program JHT berusia 56 tahun.  Aturan ini sekaligus mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT yang diteken Presiden Joko Widodo.

Di aturan tahun 2015 itu, pekerja yang terkena PHK, mengundurkan diri, atau habis masa kontraknya bisa mencairkan dana JHT setelah resmi 1 bulan tidak bekerja lagi.

Dengan peraturan yang baru Permenaker no 2 tahun 2022, kini para pekerja harus menunggu berusia 56 tahun terlebih dahulu untuk bisa menarik uang mereka sendiri yang disimpan di program JHT yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, yang ditandai dengan banyaknya pekerja terkena PHK, Permenaker yang baru itu sontak menjadi sorotan publik dan tentu saja diprotes keras oleh para pekerja. Aksi turun ke jalan pun sudah mulai terjadi.

Para buruh dengan tegas menolak pemberlakuan Permenaker yang efektif akan diberlakukan  pada Mei 2022 itu hingga niatan untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.

Kenapa hal itu bisa terjadi, mari kita cermati.

Pekerja merasa dirugikan. Tentu. Mereka juga merasa diperlakukan tidak adil dengan ditiadakannya hak-haknya untuk memanfaatkan tabungan sosial mereka apalagi di tengah kondisi ekonomi yang sulit .

Fakta di lapangan, tidak sedikit pekerja di masa pandemi ini terkena PHK di usia muda. Jika Permenaker efektif diberlakukan, dana JHT mereka tidak bisa dicairkan segera. Di sisi lain, kebutuhan hidup harian saat mereka menganggur tidak bisa ditunda lagi.

Keresahan hati para pekerja tersebut dicoba diredam dengan program jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP. Program yang hendak di-launching pada 22 Februari tahun ini  menjanjikan pekerja yang terkena PHK akan mendapatkan kompensasi selama 6 bulan yang diberikan setiap bulan.

Pada 3 bulan pertama, pekerja yang di-PHK akan mendapatkan 45% uang tunai dari upah terakhir yang diperoleh. Selanjutnya di 3 bulan terkahir akan mendapatkan 15%, kompensasi itu diberikan dengan platform gaji tertinggi Rp5 juta.

Kemudahan berikutnya di JKP yakni akses informasi pasar kerja dan penyediaan data lowongan pekerjaan. Yang terakhir, pemerintah akan memberikan pelatihan kerja. Baik luring maupun daring.

Bantalan sosial bagi pekerja yang ter-PHK ini memang indah. Yang menjadi pertanyaan banyak pihak ialah. Apakah pelaksanaannya seindah di lapangan,

Di masa sulit ini. Apakah cukup waktu dalam 6 bulan dijamin mereka mendapatkan pekerjaan lagi,

Lalu, bagaimana dengan pekerja yang usianya sudah mencapai 30 sampai 40 tahun? Tentu peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan semakin sulit. Akan dikemanakan mereka?

Yang bisa menjawab sebenarnya ialah para pekerja yang di-PHK itu sendiri, bukan Kemenaker. Banyak di antara mereka yang mengatakan ingin membuka usaha kecil-kecilan untuk bertahan hidup.

Tidak mustahil .usaha mandiri mereka bisa menjadi tumpuan hidup yang lebih baik dibanding jika mereka masuk bekerja lagi di sektor formal. Tapi lagi-lagi, ini perlu modal.

Namun, modal yang sesungguhnya mudah didapat dari dana JHT yang sebelumnya bisa diambil manfaatnya paling lama sebulan setelah tidak bekerja lagi, kini harus ditunggu hingga usia mereka 56 tahun

Memang ada program sosial lain yang ditawarkan pemerintah kepada  pekerja yang di-PHK tersebut. Seperti bansos, permodalan UMKM, dan lainnya. Lagi-lagi di lapangan hal itu masih sulit diprediksi eksekusinya.

Kemenaker tentu juga tidak boleh cuci tangan dengan mengarahkan pekerja yang di-PHK ke program sosial lain. Karena filosofisnya, setiap kebijakan yang dibuat Kemenaker harus tidak menyulitkan pekerja ataupun pengusaha, 

Belum lagi, ada ratusan ribu pekerja yang saat ini harus kehilangan pekerjaan akibat turbulensi ekonomi karena covid-19. Cukupkah dana yang harus disediakan pemerintah untuk menanggung program bantalan JKP itu.

Di tengah kondisi defisit APBN, tentu program JKP ini akan memberatkan pemerintah dan apakah program JKP sudah diintegrasikan dengan baik dalam sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Ini harus dijelaskan oleh Kemenaker.

Segudang pertanyaan akan muncul jika Kemenaker tetap memaksakan pemberlakuan aturan yang baru itu. Ketidakpastian nasib pekerja yang di PHK bisa saja memunculkan gejolak di masyarakat,

Kemenaker mestinya berpikir lebih cerdas dan bijak. Tidak hanya berlindung di pusaran definisi. Bahwa program JHT khitahnya ditujukan  atau seharusnya diberikan saat para pekerja sudah memasuki masa pension dan tidak produktif lagi.

Lalu, kenapa Kemenaker tidak mengaktifkan saja program dana pensiun yang saat ini masih diselenggarakan oleh sebagian saja perusahaan atau pihak pemberi kerja. Jika ini digarap dengan serius, tentu peruntukannya lebih jelas. Pekerja akan mendapatkan dana rutin di saat sudah memasuki masa pensiun, katakanlah 56 tahun. Kita yakin tidak ada perdebatan lagi.

Jadi, jangan salahkan jika saat ini pekerja masih melihat Permenaker no.2 tahun 2022 tidak berpihak pada mereka. Hingga muncul rasa curiga, ada apa dengan pengelolaan dana JHT di bpjs ketenagakerjaan.

Sebagai pengampu masalah ketenagakerjaan, sejumlah kalangan memandang Kemenaker gagal menempatkan kepentingan pekerja yang sesungguhnya dan sebagai teman yang mendampingi pekerja dalam masa-masa sulit seperti saat ini.

Satu lagi, kenapa saat berproses membuat kebijakan tidak banyak melibatkan perwakilan pekerja.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengklaim, Permenaker nomor 2 tahun 2022 dibentuk atas dasar rekomendasi dan aspirasi berbagai stakeholder. Mereka mendorong pemerintah menetapkan kebijakan yang mengembalikan program JHT sesuai dengan fungsinya sebagaimana diamanatkan oleh uu nomor 40 tahun 2004 tentang sjsn.

Menurut ida, rekomendasi tersebut antara lain berdasarkan rapat dengar pendapat kemnaker dengan Komisi IX DPR pada 28 september 2021. Raker tersebut dihadiri oleh perwakilan institusi dari Dewan jaminan sosial nasional (DJSN), Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Akan tetapi, kondisi di lapangan menunjukkan aksi penolakan. Mulai dari penolakan secara online berupa petisi tolak JHT di usia 56 tahun yang diteken oleh hampir 300 ribu akun hingga 13 Februari. Adapun secara luring, aksi penolakan berlangsung berupa aksi buruh di beberapa lokasi juga uji materi terhadap peraturan tersebut.

Di sisi lain, anggota komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay menyebut aturan baru JHT tidak pernah disounding dengan pekerja dan dpr. Anggota fraksi pan ini mengatakan aturan tersebut kurang disosialisasikan sehingga memicu penolakan dari pekerja. Dia meyakini masih banyak publik, terutama buruh dan pekerja, yang tidak memahami JKP bakal menggantikan JHT. 

Dia menilai pemerintah kerap tak melibatkan kelompok pekerja dalam mengambil keputusan yang berkenaan dengan hajat hidup mereka. Pemerintah terkesan hanya mengluarkan keputusan sepihak menerbitkan aturan seputar pekerja.

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar meminta Menaker Ida Fauziyah melibatkan pimpinan buruh tiap kali ambil keputusan, termasuk mengenai polemik JHT. Menaker di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menilai, terjadi miskomunikasi antara pihak buruh dan menaker saat ini.

Bahwa, JHT sebagai turunan dari Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional nomor 40 tahun 2004, memang ditujukan untuk jaminan saat hari tua agar mendapatkan bantuan dana. “Wajar kalau menerimanya di masa tua. Karena kalau dicairkan masa kapan pun, tak terbatas, masa tuanya tidak ada bantuan. Oleh karena itu, namanya juga JHT ya dapatnya saat masuk hari tua,” ujarnya.

Adapun soal desakan agar Ida Fauziyah dicopot sebagai menaker, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu pun menyerahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Sedangkan Ketua DPR Puan Maharani meminta pemerintah meninjau kembali Permenaker nomor 2 tahun 2022. Regulasi tersebut dinilai memberatkan masyarakat. Puan menjelaskan banyak pekerja yang mengharapkan dana JHT keluar sebelum usia 56 tahun. Terlebih dalam kondisi pandemi covid-19, tak sedikit pekerja yang dirumahkan atau terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.

Mantan menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan (menko pmk) itu mengatakan para pekerja yang terdampak PHK bisa memanfaatkan program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Namun, besaran dana JKP tak besar dan prosesnya agak panjang.

Dalam membuat peraturan. Setidaknya mestinya memenuhi kaidah filosofis, substantif . Dan juga tidak kalah pentingnya aspek sosiologis. Cara berpikir dari pemerintah itu lah yang mungkin melatarbelakangi seorang pengacara senior Hotman Paris Hutapea juga menilai aturan baru itu tidak adil.

"Ibu menteri, dalam membuat peraturan harus dipikirkan nalar abstraksi hukum dan keadilan." itu kata Hotman dalam akun Instagram @hotmanparisofficial, Kamis, 17 Februari 2022. 
"Karena, demi abstraksi hukum manapun dan nalar hukum apapun, tidak ada alasan untuk menahan uang orang lain. " itu juga masih kata Hotman Paris.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya