Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Alarm Megathrust Selat Sunda-Banten, Siapkah Kita?

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BMKG), Chair of Inter-governmental Coordination Group on Indian Ocean Tsunami Early Warning and Mitigation System
25/1/2022 05:00
Alarm Megathrust Selat Sunda-Banten, Siapkah Kita?
(MI/Seno)

GUNCANGAN gempa bermagnitudo 6,6 di Provinsi Banten pada 14 Januari 2022 lalu memang bukan merupakan gempa megathrust. Karena, pusat gempanya berada di bawah zona megathrust, atau di bawah bidang kontak antarlempeng subduksi. Namun, letak pusat gempa tersebut berdekatan dengan zona megathrust. Maka, dikhawatirkan berpotensi menambah akumulasi tegangan ke dalam zona gap (zona yang selama beberapa ratus tahun tidak terjadi gempa) di megathrust itu. Ibarat ‘alarm’, gempa bumi M 6,6 patut diwaspadai sebagai tanda atau gejala meningkatnya potensi terjadinya gempa megathrust pada segmen perairan Selat Sunda-Banten.

Sebagaimana namanya, gempa megathrust berasal dari apa yang disebut zona megathrust, yaitu zona subduksi (tumbukan) antara Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Benua Eurasia. Disebut gempa megathrust jika gempa berpusat di bidang kontak antarlempeng yang bertumbukan tersebut dengan kedalaman kurang dari 50 kilometer, di mana subduksi lempeng masih landai dan belum menukik. Apabila sudah di bawah bidang kontak antarlempeng, slab tersebut akan menukik dan disebut zona benioff.

Seberapa besar kekuatannya? Disebut mega karena gempa jenis ini mampu memicu terjadinya deformasi/patahan batuan dengan ukuran sangat besar, dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mencapai kekuatan lebih dari magnitudo 9,0. Rekahan (rupture) yang terbentuk akibat gempa semacam ini bisa sangat panjang, mencapai ribuan kilometer dengan bidang pergeseran (slip) sangat luas.

Gempa megathrust dapat mengakibatkan tsunami dengan tinggi dan kekuatan gelombang yang besar, juga dapat memicu longsor bawah laut. Perkiraannya, zona subduksi di wilayah selatan Pulau Jawa dapat menyebabkan gelombang tsunami dengan perkiraan tinggi 12 hingga 29 meter.


13 segmen megathrust

Di Indonesia sendiri, menurut Pusat Studi Gempa Nasional- Pusgen (2017), sedikitnya terdapat 13 segmen megathrust, yaitu megathrust Aceh- Andaman, megathrust Nias-Simelue, megathrust Batu, megathrust Mentawai Siberut, megathrust Mentawai-Pagai, dan megathrust Enggano. Selanjutnya, ada megathrust Selat Sunda, megathrust West-Central Java, megathrust East Java, megathrust Sumba, megathrust North Sulawesi, megathrust Philippine, dan terakhir megathrust Papua.

Sementara itu, menurut Katalog Gempa Merusak BMKG (2020), Indonesia pernah diguncang gempa pada zona megathrust dengan magnitudo lebih dari 8,0 sebanyak lebih dari 20 kali. Terdahsyat ialah gempa Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004 silam, dengan magnitudo 9,2. Gempa yang diikuti tsunami ini mengakibatkan lebih dari 227.900 korban meninggal dunia, dengan 1,7 juta orang mengungsi di 14 negara Asia Selatan serta Afrika Timur. Pusat gempa berada pada jarak 248 km di selatan-tenggara Banda Aceh, Indonesia, pada kedalaman 30 km.

Lantas, seperti apa prospek gempa megathrust di wilayah perairan Selat Sunda? Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda memang sering terjadi tsunami. Tercatat tsunami Selat Sunda pernah terjadi pada 1722, 1852, dan 1958 disebabkan oleh gempa.

Berdasarkan hasil analisis BMKG menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 4 sumber potensi gempa bumi dan tsunami di area tersebut, yaitu zona megathrust berstatus rawan gempa bumi dan tsunami; zona sesar Mentawai, Semangko, dan Ujung Kulon berstatus rawan gempa bumi dan tsunami. Zona graben Selat Sunda berstatus rawan longsor dasar laut, dan Gunung Anak Krakatau, yang mana jika terjadi erupsi juga dapat memicu tsunami.

Tidak mainmain, berdasarkan pemodelan yang dilakukan BMKG, jika gempa terjadi di zona megathrust Selat Sunda, terdapat potensi kekuatan gempa hingga mencapai magnitudo 8,7. Besarnya gempa tersebut berpotensi membangkitkan tsunami maksimum hingga 20 meter di pantai selatan Banten.

Pertanyaan selanjutnya ialah, kapan gempa megathrust itu terjadi? Gempa bumi dan tsunami adalah peristiwa alam yang tidak dapat dihentikan. Bahkan, hingga saat ini belum ada satu pun negara dan teknologi yang bisa memprediksi kapan, di mana, dan berapa besar magnitudo gempa akan terjadi.

Namun, dengan kondisi ratusan tahun belum terjadi gempa besar di Selat Sunda, maka akumulasi energi tektonik yang tersimpan di zona megathrust tersebut semakin meningkat hingga sewaktu-waktu dapat terlepas dan memicu terjadinya gempa besar. Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan, menyiapkan skenario terburuk dengan melakukan berbagai langkah mitigasi.


Siapkah Jakarta?

Dalam waktu 5 tahun terakhir, sejak 2018 BMKG mencatat wilayah Jakarta telah diguncang gempa kuat yang berpusat di zona subduksi  selatan Selat Sunda-Banten, dengan magnitudo yang bervariasi,mulai dari 4,9 hingga 6,9. Gempa terakhir terjadi pada 14 Januari 2022, dengan kekuatan M 6,6 dan percepatan getaran tanah maksimum mencapai sebesar 0,0258 meter/detik2 di Jakarta.

Setiap terjadi gempa kuat, masyarakat Jakarta terlihat sangat panik, meskipun gempa yang terjadi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Selanjutnya, BMKG memperhitungkan apabila sewaktuwaktu terjadi gempa kuat mencapai magnitudo 8,7 yang bersumber di zona megathrust, karena kondisi tanah Jakarta yang merupakan tanah lunak dengan kedalaman puluhan hingga ratusan meter, maka dikhawatirkan tanah tersebut berpotensi mengalami amplifikasi (penguatan percepatan getaran tanah maksimum) akibat gempa, yang diestimasi dapat mencapai 1,2 meter/ detik2 di Jakarta. Ini artinya, besarnya percepatan getaran tanah maksimumnya dapat mencapai 46 kali dari getaran yang terekam pada tanggal 14 Januari 2022 yang lalu.

Nah, persoalannya ialah seberapa siap gedung-gedung bertingkat dan bangunan vital/ strategis seperti pusat pembangkit tenaga/energi, rumah sakit, perkantoran, pabrik, mal, sekolah-sekolah, hingga infrastruktur di Jakarta siap dengan Building Code atau konstruksi yang benar-benar tahan guncangan gempa kuat tersebut? Bahkan, struktur bangunan rumah hunian pun semestinya juga perlu disiapkan untuk memastikan ketahanan bangunan terhadap guncangan gempa guna menjamin keselamatan penghuninya.

Sepatutnya dilakukan audit/asesmen ketahanan bangunan terhadap guncangan gempa, terutama terhadap gempa megathrust, yang dilakukan baik secara mandiri maupun berkoordinasi dengan pemerintah daerah (Dinas PUPR). Ini penting, agar segera dipastikan apakah setiap bangunan sudah siap tetap aman dari guncangan gempa, atau masih harus diperkuat secara engineering (retrofitting). 

Tata ruang kota harus dijaga/diperketat dengan berbasis pada upaya mitigasi risiko bencana, misal dengan menerapkan sempadan lereng, sempadan sungai, ataupun sempadan pantai. Karena, pada zona-zona tersebut juga rawan mengalami penguatan guncangan, deformasi lahan, ataupun longsor lereng.

Sarana-prasarana evakuasi, titik kumpul, dan tempat perlindungan sementara ataupun selter harus disiapkan dan dipastikan aman. Langkah mitigasi lainnya ialah dengan terus-menerus melakukan aksi literasi, edukasi, dan advokasi secara berkelanjutan dan kolaboratif pentahelix.


Evakuasi mandiri

Masyarakat harus dilatih secara rutin untuk mampu melakukan evakuasi mandiri atau melakukan perlindungan diri secara cekatan dan tepat, dengan menjadikan gempa kuat di pantai sebagai alarm peringatan dini tsunami. Jangan dilupakan pula, penyiapan sistem  evakuasi/penyelamatan di Rumah Sakit dan untuk kelompok yang membutuhkan perhatian khusus, seperti warga lansia, anak-anak, orang sakit, maupun difabel.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub-Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota, Pasal 3 dan 4, seluruh langkah dan sistem mitigasi tersebut di atas menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun, tentunya dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak terkait secara kolaboratif. Bahkan masyarakat pun harus sadar akan tanggung jawabnya dalam upaya membangun ketangguhan secara mandiri, minimal di lingkungan rumah dan keluarga masing-masing, dengan terus dimotivasi, didukung, ataupun dibimbing oleh pemerintah daerah setempat melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Demikian juga, BMKG tetap terus memperkuat sistem monitoring, analisis, dan peringatan Dini, serta literasi dan edukasi publik secara kolaboratif dengan para pakar gempa dan tsunami, ataupun berbagai pihak pentahelix, terutama pemerintah daerah.

Akhirnya, adalah tugas kita semua untuk terus berusaha sekuat tenaga secara bergotong royong dalam meminimalkan kerugian dan korban jiwa. Karena, tidak ada yang benar-benar tahu kapan gempa megathrust itu bakal terjadi.Dengan tetap tenang tanpa panik, lebih baik saat ini juga kita harus bersiap. Bukankah demikian?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya