Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
BELAKANGAN ini kita sering mendengar, baik langsung maupun tidak, semakin banyak orang menunjukkan identitas, afiliasi, ataupun simpatinya pada Nahdlatul Ulama (NU). Baik itu orang dengan latar belakang Nahdliyin maupun para converso yang baru beralih rupa menjadi Nahdliyin. Apalagi dalam dunia politik. Tidak sedikit yang kini harus menjadi Nahdliyin.
Keadaan ini tidak kita temui pada masa lampau. Tiga hingga empat dasawarsa silam, menjadi Nahdliyin dianggap sebagai kampungan, sarungan, dan terbelakang. Meski ada sejumlah figur terkemuka yang menjadi ikon perubahan dalam kultur NU, Nahdliyin umumnya dianggap sebagai kaum yang dianggap miring. Secara politik terpinggirkan dan dengan cibiran kaum kota, mereka dituding sebagai kelompok yang kolot.
Transformasi terjadi dalam berbagai ruang. Kebanyakan orang melihatnya dari sisi keterlibatan politik. Nahdliyin bukan hanya peraup suara dalam pemilu, melainkan juga kini aktor yang diperhitungkan dalam setiap perebutan kekuasaan. Namun, sisi politik ini hanya sebagian. Apa yang dinamakan sebagai “panen sarjana” sudah benar-benar terjadi. Sarjana di sini maksudnya pendidikan tinggi hingga doktoral di berbagai bidang.
Di masa panen ini, kita mudah menemukan Nahdliyin dengan kealiman di bidang agama, ilmu sosial humaniora, sains, dan teknologi. Seberapa banyak jumlahnya, belum terhitung. Untuk urusan data dan arsip, memang administrasi NU masih belum rapi. Saya kira jumlahnya berlipat ganda, dan berpotensi sebagai penggerak untuk kebermanfaatan demografis. Belum lagi jika kita mau menambahkan jumlah inovator, aktivis, dan pengusaha yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat banyak.
Dulu, berpura-pura menjadi Nahdliyin saja sedikit yang mau melakukannya. Kini, kepura-puraan ini terang dilakukan berbagai pihak. Kaum nahdliyin, yang sebelumnya anonim atau sering menggunakan nama pena yang terkesan modernis atau identitas lainnya, kini berbulat tekad untuk mengakui ke-NU-an mereka. Kalimat, “Saya juga NU lho,” sudah sering kita jumpai, bahkan mungkin surplus.
Jam’iyyah sebagai republik
Ikatan kultural dan naiknya kelas sosial-ekonomi ini menjadi nilai tersendiri yang memikat banyak kalangan. Sejarawan dan sosiolog brilian, Ibnu Khaldun, menamakannya sebagai ashabiyyah, yakni kohesi sosial, spirit kebersamaan, dan daya dorong penggerak bagi organisme kultural tertentu. Di dalam tubuh NU, yang lebih besar cakupannya daripada di Gedung Kramat Raya Jakarta, ashabiyyah ini berubah bentuk dan bercampur baur, antara kekuatan sosial perdesaan, perkotaan, dan irisan tengah di antaranya.
Kekuatan ini memberikan efek dahsyat bagi pertumbuhan kesadaran baru dalam ruang publik kita, hingga kemampuan untuk menghimpun produsen dalam bidang tata negara atau statecraft, diringi dengan tumbuh kembangnya keinginan untuk mandiri di tengah jeratan kekuasaan kapital dari berbagai arah. Generasi pasca-Gus Dur, tercerahkan oleh kesadaran ini. Secara simbolis, inilah bentuk canggih dari apa yang dinamakan sebagai jam’iyyah.
Komunitas NU benar-benar menjadi republik besar di dalam keindonesiaan kita, yakni republik yang lekat dengan gerakan nilai kebudayaan tertentu yang tidak memisahkan antara keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai tridimensi yang berpotensi besar bisa menaikkan level ashabiyyah-nya di setiap jenjang: lokal hingga internasional. Bahasa Quranik menyebutnya sebagai ‘pohon menjulang tinggi dengan akar yang sangat kuat’.
Ditambah lagi, dengan metodologi beragama ahlussunnah waljama’ah, yang akarnya panjang di dalam sejarah Islam itu sendiri. Upaya untuk mewujudkannya sebagai etika sosial dan politik kontemporer bisa berperan besar, untuk menjadi tuntutan dalam mengatasi persoalan terkini, termasuk soal lingkungan hidup.
Meski di dalam tradisi Islam sangat kuat aspek keperwiraan, atau futuwwah dalam bahasa Arab atau javanmardi dalam budaya Persia yang bersifat kelelakian, semakin banyak muncul ide dan gerakan berbasis jalan tengah ini, yang mendorong keperwiraan feminin. Sudah banyak contoh yang bisa kita kemukakan, untuk menyebut Nahdliyin sebagai penggagas utama soal ini.
Karena identik sebagai sebuah republik kultural, perlu kita kembalikan makna publik di dalamnya, yaitu kaum Nahdliyin pada umumnya atau dalam bahasa politik kita sebut sebagai ‘rakyat’ itu sendiri. Sejauh mana transformasi terjadi untuk kemaslahatan publik, baik warga Nahdliyin maupun warga Indonesia umumnya? Sepanjang kiprahnya, NU dengan baik mengupayakan pendekatan antarbudaya baik dalam pemikiran maupun gerakan. Kini upaya itu mesti diperkuat di level terbawah, supaya kohesi sosialnya terus-menerus menjadi spirit keindonesiaan.
Tumbuhnya berbagai kampus dan rumah sakit berbasis NU menjadi era baru sebagai upaya perbaikan taraf kecerdasan, dan kesehatan publik untuk masyarakat kecil kebanyakan. Beberapa kaum profesional NU sudah berinisiatif untuk mengusung pemberdayaan ekonomi di era digital ini. Jika dimanfaatkan secara kolektif, baik melalui mekanisme muktamar resmi maupun tidak, ini bisa menjadi daya dorong tersendiri bagi tumbuhnya masyarakat baru di masa mendatang.
Ditambah lagi, para cerdik cendekia NU di luar negeri yang sangat mandiri dan sarat dengan pendekatan keilmuan terkini. Termasuk perapian data sebagai kekuataan era ini bisa mempercepat transformasi itu terwujud.
Dalam bahasa Jawa, tiyang NU bermakna sebagai ‘manusia NU’. Tiyang ini terkait erat dengan masyarakat kecil kebanyakan, yang tidak selalu mengaku sebagai NU baru, bahkan biasanya anonim, tapi memiliki spirit gerak tradisionalisme yang kuat, mewarisi tradisi ratusan tahun hingga menjadi identitas yang sulit berubah. Orientasi terkini dari NU, tidak bisa terpisahkan dari tiyang NU ini, sebagai bagian erat dari jam’iyyah.
Rekonstruksi kebudayaan
Selain itu, Nahdliyin sebagai tiyang bukan kumpulan subjek tak bermakna. Merekalah yang sesungguhnya menghidupi tradisionalisme. Sayangnya, upaya untuk mengetahui mereka secara mendalam, lalu memberdayakannya, masih luput dari perhatian kita pada umumnya. Para kiai atau nyai tertentu, memang sangat dekat dengan subjek terpinggirkan ini. Tapi, ini belum menjadi agregat dari kesepakatan bersama dalam level nasional untuk memetakan, mengetahui, dan memberdayakan mereka.
Gerakan kultural tertentu, seperti Gusdurian, menjadi contoh ideal bagaimana mendekatkan tiyang cilik ini, di dalam gerakan sosial mereka. Saya kira para pemikir dan penggerak Nahdliyin sudah memahami hal ini, tinggal diupayakan secara sistematis dalam tubuh NU di masa mendatang.
Salah satu hal terpenting yang perlu diwujudkan ialah membumikan nilai-nilai ke-NU-an sebagai panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Siapakah ‘diri’ nahdliyin itu? Apakah bentuk keluarga ideal dari nahdliyin itu? Bagaimana nilai-nilai utama kemaslahatan menjadi pendorong dalam kehidupan sehari-hari?
Manakala humor menjadi erat dalam kultur nahdliyin, terutama yang diajarkan turun-temurun di pesantren, nilai-nilai budaya lainnya bisa menjadi penguatan karakter yang berfungsi sebagai katalisator bagi perubahan sosial yang lebih besar. Tiyang NU, sebagai manusia dengan karakter kuat dan mampu menunjukkan siapa dirinya menjadi tujuan utamanya.
Berbagai gerakan sosial-keagamaan di dunia memiliki panduan praktis untuk membentuk karakter mereka. Demikian halnya dengan gerakan keagamaan lain. Saya kira, untuk masyarakat bawah, hal ini sangat diperlukan. Apalagi, tridimensi ukhuwah NU selamanya relevan dalam berbagai lini kehidupan.
Muhammad Iqbal, pendiri negara Pakistan, menulis soal rekonstruksi sebagai panduan terkini berdasarkan kitab etik yang ditulis Al-Ghazali mengenai ‘penghidupan kembali’. Sementara itu, kitab Al-Ghazali menjadi erat di dalam literatur dan kesadaran beragama Nahdliyin. Tetapi, upaya rekonstruksi kebudayaan yang bersumber darinya belum menjadi—meminjam bahasa filsafat Islam—al-harakah al-jawhariyyah atau gerak substansial.
Rekonstruksi kebudayaan ini sangat penting diupayakan, sebagai landasan mendasar bagi penguat daya spiritual dan intelektual yang mendorong warga. Sangat sulit sebuah upaya kemandirian dan perdamaian dunia terwujud, sebagaimana tecermin dalam penetapan tema Muktamar 2021 ini, tanpa terlebih dahulu memikirkan mengenai kedirian Nahdliyin secara kolektif dan sistematis.
Muktamar bukan semata-mata sebagai rutinitas berkala, melainkan juga sebagai upaya menilik khitah, tepatnya khitah filosofis, yang kemudian diturunkan sebagai panduan praktis, sebagaimana fungsi falsafah dan kalam di masa silam yang erat, sebagai cerminan dari kehidupan nyata. Seorang gus nyentrik dari Pondok Pesantren Cigaru Majenang, Cilacap, menulis status di medsosnya begini, ‘Menjelang 100 Tahun, Nahdlatul Ulama (NU) perlu membahas substansi, bukan melulu suksesi’. Saya mengamininya.
PKB undang tokoh kultural NU di Muktamar-6
PBNU berpandangan tanah yang telah dikelola oleh warga Pulau Rempang, Batam, selama bertahun-tahun, maka hukum pengambilalihan tanah itu oleh pemerintah adalah haram.
Pria yang akrab disapa Gus Yahya itu datang menemui Presiden Joko Widodo untuk melaporkan hasil Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Lampung pada 22-24 Desember lalu.
"Gus Yahya adalah simbol kekuatan kader muda NU. Ini menjadi bukti bahwa regenerasi berjalan dengan baik," kata Rumadi.
“Hasil ini bagi pemerintah sangat menggembirakan, sangat menyenangkan karena bagi pemerintah NU selama ini dianggap dan dinyatakan sebagai mitra pemerintah yang paling setia."
TERPILIHNYA Gus Yahya menjadi Ketum PBNU, mengingatkan Gubernur Ganjar pada sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved