DIREKTUR Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, dalam siaran pers (14/11/2021) menyebutkan bahwa penetapan upah minimum dimaksudkan sebagai perlindungan kepada pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun agar dibayar tidak terlalu rendah. Selain itu, menurut dia, penetapan upah minimum juga dapat menjadi salah satu instrumen penanggulangan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pernyataan senada pernah diungkap Direktur Jenderal Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Guy Ryder (2012) bahwa upah minimum merupakan suatu cara untuk menurunkan pekerja miskin sehingga upah minimum juga bisa dimaknai sebagai instrumen perlindungan sosial.
Soal daya beli
Adapun salah satu faktor untuk mengetahui kadar perlindungan sosial terhadap buruh ialah daya beli. Semakin tinggi daya beli, semakin tinggi pula kadar perlindungan sosial terhadap buruh. Umumnya, daya beli buruh dinilai semakin besar jika upah minimumnya semakin jauh di atas garis kemiskinan.
Setelah tidak mengalami kenaikan upah minimum pada 2021, upah minimum 2022 berdasarkan formula yang mengacu pada PP No 36/2021 diperkirakan rata-rata mengalami sedikit kenaikan, yakni 1,09% (Media Indonesia, 17/11/2021). Kenaikan upah sebesar itu jauh lebih rendah daripada kenaikan upah sebelum 2021 yang besarannya di kisaran 8%.
Kecilnya kenaikan upah minimum pada 2022 itu sekaligus merefleksikan rendahnya perlindungan terhadap buruh. Bahkan, upah yang diterima buruh secara riil berpotensi menurun mengingat angka inflasi lebih besar dari upah minimum. Di Jateng, misalnya, kenaikan upah minimum diperkirakan 0,78%, jauh di bawah angka inflasi 1,28%. Secara riil upah minimum di Jateng menurun 0,5% poin pada 2022, yang sekaligus menunjukkan penurunan daya beli.
Adapun besaran nominal upah minimum di Jateng diperkirakan Rp1.812.935 per bulan. Sementara garis kemiskinan pada Maret 2021 di provinsi itu sebesar Rp409.193 per kapita/bulan. Ini berarti pendapatan buruh secara individual jauh di atas garis kemiskinan atau terbilang sejahtera dengan daya beli atau perlindungan yang tinggi.
Namun, dalam konteks rumah tangga dengan anggota rumah tangga lainnya tidak bekerja, upah minimum sebesar itu hanya cukup untuk anggota rumah tangga 4 orang (suami yang bekerja dan istri serta 2 anak). Bagi anggota rumah tangga di atas lima orang, hampir dapat dipastikan upah yang diterima berada di bawah garis kemiskinan, atau keluarga itu tergolong miskin. Derajat kemiskinan bisa bertambah parah jika perusahaan tidak menaati pembayaran upah minimum dan tidak memberlakukan skala upah di perusahaan.
Ditengarai, contoh faktual Jateng itu bisa terjadi di daerah lain yang upah minimumnya jauh di bawah angka inflasi dan rata-rata anggota rumah tangganya cukup banyak. Kekurangmampuan buruh dalam memberikan perlindungan bagi keluarganya akan menurunkan kualitas hidup mereka, terutama pada anak-anak mereka untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Celakanya, ketidakmampuan buruh melindungi keluarganya kerap mendorong sebagian buruh mencari pekerjaan tambahan, yang justru kian menguras tenaga dan membahayakan kesehatannya. Selain itu, pekerjaan rangkap juga mengurangi kesempatan para pencari kerja sehingga tidak sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran.
Dengan masih hadirnya pekerja miskin yang upah minimumnya cukup rendah, hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa fungsi upah minimum belum bisa diharapkan secara optimal sebagai instrumen perlndungan sosial dan penurunan kemiskinan.
Perlindungan pemerintah
Namun, pemerintah tidak bisa memaksakan perusahaan untuk memberikan upah minimum tinggi agar buruh dan keluarganya terlindungi dari risiko miskin. Sebab, jika dipaksakan dan melewati batas kemampuan perusahaan untuk membayar upah minimum yang tinggi, hal itu akan menyebabkan kebangkrutan usaha yang akan meningkatkan gelombang pengangguran.
Akan tetapi, perlindungan terhadap perusahaan dari kebangkrutan sepatutnya tidak membiarkan kehidupan buruh dan keluarganya terpuruk. Pemerintah perlu hadir dan memberikan kompensasi dengan bantuan perlindungan sosial bagi buruh dan keluarganya, terutama bagi buruh miskin.
Namun, disayangkan, pemerintah tampaknya belum mampu mengalokasikan anggaran perlindungan sosial secara memadai. Menurut laporan Bank Dunia (2019), anggaran perlindungan sosial di Tanah Air rata-rata 2,8%, dan 0,84% di luar subsidi terhadap PDB. Angka 0,84% itu masih jauh di bawah anggaran perlindungan sosial negara-negara berpendapatan menengah ke bawah, yang rata-rata 1,5% dari PDB.
Padahal, kemajuan suatu negara antara lain dapat diwujudkan dengan anggaran perlindungan sosial yang besar. Bahkan, negara-negara yang telah mencapai kemajuan dapat mempertahankan anggaran perlindungan sosialnya yang besar. Swedia, misalnya, mengalokasikan anggaran perlindungan sosialnya hingga 27,7% terhadap PDB negara itu (Statistics Sweden 2021).
Sejatinya, anggaran perlindungan sosial yang besar amat diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas dan kualitas hidup bangsa. Semakin tinggi kapabilitas dan kualitas hidup bangsa, yang antara lain dapat dicapai melalui peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan, akan mempercepat pula kemajuan bangsa.
Maka dari itu, pemerintah sepatutnya tidak membiarkan buruh dan keluarganya yang kesusahan berjalan sendirian untuk meningkatkan kapabilitas dan kualitas hidup mereka. Pemerintah perlu berupaya keras untuk memberikan perlindungan sosial agar kehidupan buruh dan keluarganya yang kesusahan itu dapat bangkit, juga turut berkontribusi bagi kemajuan bangsa.