Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Guncangan Garuda Indonesia

Hendro Puspito, Pengusaha, Mahasiswa Program Doktor Pengembangan SDM Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
20/11/2021 13:50
Guncangan Garuda Indonesia
Hendro Puspito,(Dok pribadi)

NASIB maskapai penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk di ujung tanduk. Bahkan menjadi isu liar maskapai ini bakal dipailitkan karena tumpukan utang terus menggurita. Dampak pandemi covid-19 semakin memperburuk kondisi keuangan manajemen. Transportasi udara menjadi lumpuh karena tak ada pemasukan kas perusahaan. 

Sewa pesawat tetap bayar meskipun tidak beroperasi. Gaji pegawai dan operasional perusahaan tidak bisa diefisiensi. Sungguh memprihatinkan kondisi ini, karena sangat berat bagi Garuda untuk menambah asupan modal. Berdasarkan data, Garuda Indonesia pada juni 2021 tercatat memiliki utang US$4,9 miliar atau setara Rp70 triliun. Angka terus meningkat setiap bulan sekitar Rp1 triliun karena terus menunda pembayaran kepada lessor (pihak leasing/pemasok).

Garuda sudah berdiri 72 tahun sebagai aset negara buah karya Presiden Soekarno. Sejarah membuktikan, ketika awal berdirinya Garuda pada 1949 penuh dengan perjuangan. Hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan pemerintah Hindia Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat, termasuk maskapai Koninklijke Lunctvaart Maatschappij (KLM) milik Belanda. Bahkan direktur utama Garuda adalah orang Belanda. Betapa sulitnya dalam merebut perusahaan maskapai ini. Perlu pengorbanan besar. Menjaga warisan ini tentu tidak mudah. Harus memiliki pemimpin yang jujur agar tidak hancur.

Maskapai domestik termahal

Bukan cerita baru ketika diungkapkan hanya segelintir orang yang mampu membeli tiket pesawat maskapai ini. Artinya pesawat ini begitu elite dengan asumsi harga tiket yang mahal. Fasilitas dan pelayanan tentu memuaskan mengingat ada harga tentu ada kualitas. Penerbangan umroh dan haji pun menggunakan Garuda sejak berdirinya perusahaan ini. Tidak ada kata sepi penumpang. Logikanya dengan harga tiket mahal, besarnya jumlah penumpang, seharusnya keuntungan juga besar. Tetapi realitanya berbeda. Timbul pertanyaan besar, apa yang salah dari sistem perusahaan maskapai pelat merah ini?

Beberapa waktu lalu terungkap gonjang ganjing dalam tubuh Garuda Indonesia. Beberapa kasus pun terungkap seperti penyelundupan motor Harley Davidson dan sepeda Brompton hingga korupsi pengadaan pesawat. Ramai lagi perihal sewa pesawat yang terlalu mahal. Ada indikasi pengeluaran uang perusahaan membengkak, ibarat besar pasak daripada tiang. Pandemi memukul telak bisnis penerbangan karena pemasukan sedikit, tetapi biaya sewa, pemeliharaan dan operasional jauh lebih besar. Bagaimana nasib perusahaan raksasa ini, dibubarkan atau dipertahankan? Tentunya perlu kajian yang lebih mendalam dampak positif dan negatifnya, jika akan di pailitkan.

Kompetisi 

Perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia dipegang Garuda Indonesia, disusul Lion Air Group. Perbedaan yang jelas nyata, dari segi harga tiket Lion Air Group rata-rata 50% lebih murah dibanding Garuda. Seperti yang diulas dalam buku 50 Great Bussiness Ideas From Indonesia (2009), pada tahun pertama Lion Air (2001) maskapai yang hanya mengangkut 181.840 penumpang. Angka tersebut jauh dengan Garuda yang mengangkut 4,40 juta penumpang di tahun yang sama. Lion Air perlu waktu 5 tahun untuk bersaing dengan Garuda. Terhitung pada 2006 Lion Air berhasil mengangkut 6,63 juta penumpang dan Garuda 6,95 juta. Beda tipis sekali. Ketika tahun itu total penumpang domestik sebesar 33,68 juta penumpang, artinya posisi Garuda 21% dan Lion Air 20%. 

Perkembangan dua perusahaan ini semakin baik. Pada akhir 2018 jumlah pesawat Garuda Indonesia Group sebanyak 203 unit dengan total 150 rute. Sementara itu, Lion Air Group memiliki 283 unit dengan total rute 180 rute. Lion Air Group meraup keuntungan Rp3 triliun sampai Rp4 triliun per bulan. Sedangkan Garuda mengalami kerugian Rp 2,45 triliun. Secara gamblang terlihat perbedaan signifikan dari perusahan pemerintah dan swasta. 

Teori ekonomi hanya berlaku di perusahaan swasta. Modal sekecil-kecilnya keuntungan sebesar-besarnya. Efisiensi pengeluaran dan ada rasa memiliki. Dalam dunia bisnis, kompetisi menjadi tantangan yang harus dihadapi. Sikap maju terus pantang mundur terlihat dari Lion Air Group. Terbukti dengan kinerja 5 tahun sudah bisa mengimbangi perusahaan raksasa seperti Garuda Indonesia. Sementara itu, perusahaan milik pemerintah cenderung menurun kinerjanya. Bahkan terus mengalami kerugian dan selalu diberikan dana suntikan dari pemerintah. Sifat manja akhirnya timbul, kurang mandiri tepatnya.

Kondisi SDM 

Lilitan hutang Garuda tidak terhindarkan, dan saat ini terus berjuang untuk bertahan dalam kondisi sulit. Pensiun dini pun ditawarkan bagi karyawan. Bahkan jika terus mengalami guncangan, bisa berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK). Saat ini dari total pesawat hanya 41 armada yang digunakan dengan tujuan efisiensi. Akan tetapi biaya sewa yang besar terus menghantui. Mengandalkan dari penerbangan, sulit untuk melunasi utang 70 triliun. Restrukturisasi direksi Garuda pun juga sudah dilakukan. 

Kondisi Garuda saat ini tidak lepas dari kesalahan manajemen terdahulu. Perusahaan yang berusia 72 tahun yang terus merugi tanpa keuntungan yang pasti. Tetapi para karyawan dan direksi hidup dengan kemewahan. Jika sudah bekerja di Garuda Indonesia, pasti wow. Masyarakat awam selalu melihat gaya hidup mewah bos-bos Garuda. Lalu kenapa perusahaan bisa rugi? Ini yang mendebarkan jantung. Pasti ada yang salah dalam tata kelola perusahaan, dan kenapa dibiarkan selama puluhan tahun? Rasa heran ini muncul. Bukan hanya Garuda saja yang terancam bangkrut, sebab ada sejumlah perusahaan BUMN lain pun diambang tsunami. Sangat menyedihkan. Tinggal menunggu bom waktu jika tidak segera ambil tindakan.

Upaya penyelamatan

Jika melihat kondisi Garuda sangat mengkhawatirkan hingga isu pailit, memang menyedihkan. Hanya saja harus kembali diingat bahwa Garuda merupakan perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia. Ketika musim haji dan umrah, dengan kapasitas penumpang yang begitu besar, tidak sembarangan maskapai domestik yang bisa menggantikan posisi Garuda. 

Menimbang sisi positif dan negatif jika dipailitkan dan diganti perusahaan baru. Positifnya dengan adanya struktur SDM yang baru, lebih fresh, mudah dikontrol, dan keuangan bisa dimonitor secara berkala. Mengurangi pemborosan, mencegah indikasi korupsi, dab rebranding juga menjadi unggulan ke depan. Semua itu perlu dilakukan untuk mengembalikan image Garuda yang selama ini terus merugi. Sisi negatifnya akan menimbulkan dugaan yang kurang baik. Pemerintah seakan-akan tidak memberikan bail out (bantuan penyelamatan) tetapi ada unsur kesengajaan dibiarkan pailit.

Kerugian atas Garuda tidak bisa dipandang sebelah mata. Kurangnya pengawasan internal dan eksternal menjadi pendorong kehancuran. Maka perlu adanya pengawasan serta audit untuk transparansi pengelolaan. Efisien SDM dengan mengoptimalkan kinerja, bisa menjadi referensi. Penurunan penyebaran covid-19 dan dibukanya transportasi udara, menjadi angin segar untuk asupan Garuda. Warisan sejarah ini perlu dipertahankan. Dalam kondisi apapun pasti ada cara untuk menyelamatkan. Siapa pun yang menjadi pemimpin Garuda Indonesia, semoga membawa dampak kebaikan bagi perekonomian bangsa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik