Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Menelaah Syarat Agar Jakarta tidak Banjir lagi

Eko Suprihatno Jurnalis Media Indonesia
11/11/2021 20:51
Menelaah Syarat Agar Jakarta tidak Banjir lagi
Jurnalis Media Indonesia Eko Suprihatno(MI/RM Zen)

Kemarin, hari ini, dan lusa, barangkali akan menjadi hari-hari yang mendebarkan bila kita menengok ke langit. Pasalnya, cuaca seperti kurang bersahabat karena langit siap memuntahkan hujan.

Seperti biasa, kalau sudah hujan berarti yang akan hadir di hadapan kita adalah banjir dan tanah longsor. Padahal, kalau kita menengok geografis negeri ini, cuma punya dua musim, kemarau dan hujan. Jadi bencana yang terjadi sebenarnya sudah ada di depan mata, kalau kemarau hadir kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan, sedangkan kalau musim hujan ya banjir dan tanah longsor.

Tapi, seperti biasa juga, kita baru teriak kalau semua sudah terjadi di depan mata. Memang sih, cara paling gampang adalah mengacungkan telunjuk untuk mencari siapa yang bisa dijadikan kambing hitam.

Yang menarik adalah kondisi di DKI Jakarta. Ibu Kota negara yang akan terus dilanda banjir, siapa pun yang jadi gubernur, Di daerah yang zaman dahulu dikenal sebagai Batavia ini tak akan bebas banjir. Jadi, enggak usah kampanye dengan menjanjikan banjir akan hilang dari Jakarta deh, 

Tapi tekad mengurangi banjir memang harus dilakukan seperti diucapkan Gubernur Anies Baswedan. Anies menjamin, banjir bisa surut dalam waktu enam jam apabila aliran sungai berada dalam kondisi normal.

Selain itu, Jakarta akan berkurang banjirnya kalau curah hujan enggak berada di atas 100 milimeter per hari. Alasannya, kapasitas drainase di Jakarta tidak bisa berada di atas 100 milimeter.

Syarat lain, kondisi aliran sungai tak melebihi permukaan bantaran sungai. Syarat yang tidak kalah penting, walau terdengar lucu, hujan sudah reda agar air bisa dipompa keluar wilayah.

Syarat-syarat yang mungkin bisa diadopsi wilayah lain di Indonesia, Walaupun mungkin ada yang tertawa melihat sejumlah syarat ala DKI Jakarta.

Terlebih Bung Anies pernah bicara pada Minggu, 31 Oktober 2021 bahwa banjir tak sekadar surut secara alami melalui gravitasi. Di situlah perlunya penyedotan harus dilakukan terus menerus.

Mungkin, Anies lupa pernah bilang hujan itu harus dikembalikan ke tanah bukan dibuang ke laut, karena melawan sunatullah.

Berkaca dari sejumlah fakta itulah, kita jangan menafikan kerja pihak lain, Kalau memang tak bisa membuat lebih baik, ya sebaiknya tak usah mencela. Enggak usah bikin sesuatu yang lain kalau sebetulnya caranya sama. 

Yang pasti dampak La nina memang bukan cuma melanda Indonesia. Hal ini menimpa banyak negara. La nina adalah fenomena alam di mana suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah turun hingga menjadi lebih dingin daripada biasanya. 

La nina terjadi secara berpola dan berlangsung dari 1998. Artinya, sangat mungkin hal ini akibat anomali cuaca gara-gara efek rumah kaca. Pemanasan global yang membuat suhu bumi meningkat, tak bisa dibantah.

Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, khusus periode 1 hingga 7 November 2021, sebanyak 32 kejadian banjir terjadi di Indonesia.

Dalam konteks ini, ucapan Anies menemukan muaranya, bahwa air hujan yang datang bisa dikendalikan. Katanya, hujan dan banjir itu fenomena yang kita hadapi cyclical, terus menerus. Tapi bisa dikendalikan.

Beda dengan gempa bumi yang sudah di luar kendali manusia, air hujan dan banjir bisa dikendalikan. Sepakat pak, bisa dikendalikan dengan aksi nyata dan bukan cerita.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik