Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Islam Nusantara sebagai Jembatan Kebudayaan di Australia

Imam Malik Riduan Kandidat PhD di School of Social Sciences Western Sydney University, dosen ISIF Cirebon, dan Pengurus PCINU Australia-Selandia Baru
07/8/2021 05:00
Islam Nusantara sebagai Jembatan Kebudayaan di Australia
(Dok. Pribadi)

MODERNITAS dengan berbagai capaiannya acap kali menciptakan beragam tantangan dan ancaman. Bahkan, sosiolog modern, Anthony Giddens (2010), menggambarkan modernitas sebagai Juggernaut, kereta kematian yang terus mengancam untuk menggilas siapa pun yang berada di sekitarnya. Sayangnya, manusia tidak dapat menghindarinya, semakin ia dijauhi, kereta yang lebih mirip paser itu semakin tidak terkontrol dengan daya rusak jauh lebih menakutkan.

Dalam irama yang hampir senada dengan Giddens, Ulrich Beck menyebut manusia modern memasuki era hidup yang penuh risiko, risk society. Ancaman modernitas ini memasuki berbagai ranah dari etnik, bangsa, kawasan, hingga agama.

Rasa terancam itu secara alamiah akan memengaruhi seseorang saat merespons sesuatu, terutama hal yang asing di sekitarnya. Reaksi dari rasa terancam inilah yang kerap kali membuat seseorang membangun stigma, prejudice, dan memunculkan stereotip antarkelompok warga. Pengalaman di Australia menunjukkan adanya perasaan terancam yang dirasakan baik oleh diaspora muslim Indonesia maupun warga lain.

Tulisan ini akan menggambarkan respons muslim dan warga kulit putih nonmuslim terhadap inisiatif Islam Nusantara di Australia. Sebagai ilustrasi, saya juga akan menyajikan dua cerita perjumpaan. Pertama ialah pertemuan saya dengan seorang kulit putih keturunan Inggris, kemudian diikuti dengan cerita berikutnya mengenai pertemuan saya dengan muslim Australia keturunan Libanon.

Tidak ada pretensi untuk melakukan generalisasi melalui kisah perjumpaan, selain sekadar memberikan gambaran mengenai posisi diaspora Islam Nusantara di tengah multikulturalnya muslim di ‘Negeri Kanguru’.

 

 

Islam di Australia

“Saya sudah katakan kepada istri saya agar dia siap menerima tamu seperti apa pun penampilannya, mungkin ia datang dengan pakaian yang terlihat aneh, janggutnya panjang, dan berbicara sesuatu yang tidak terduga” demikian dikatakan Bill, seorang mantan pendeta Kristen keturunan Inggris kepada istrinya menjelang kunjungan saya ke rumahnya di pinggiran pantai di Sydney.

Bill menceritakan itu sambil tertawa kecil melihat penampilan saya yang tidak seperti bayangan di benaknya. Bill dan istrinya terkejut menyaksikan saya dengan rambut gondrong dan pakaian casual. Menurut mereka, saya tampil begitu wajar dan tidak seperti yang mereka bayangkan. Pasangan suami spiritualis dan guru itu ternyata menjadi bagian dari orang-orang yang termakan stigma muslim. Itu karena pengaruh media, sejak kasus 9/11 yang setahun kemudian disusul dengan bom Bali, muslim dan Islam selalu dilekatkan pada tindakan-tindakan kekerasan.

Kesan pertama pertemuan kami itu meyakinkan saya bahwa dalam persepsi sebagian orang kulit putih telah terbentuk sebuah stereotip beraroma negatif tentang Islam dan muslim. Stereotip adalah karakter yang dibentuk dalam pikiran seseorang dari proses generalisasi yang dibuat sendiri. Dalam hal ini, Bill dan istrinya mengantongi ciri-ciri seorang muslim yang didefinisikan dan dipercayainya.

Pengalaman-pengalaman dan referensi pribadinya telah membentuk karakter seorang muslim yang kemudian ditempelkan pada saya, sebelum kami bertemu. Bill ialah seorang mantan pendeta dan aktivis kemanusiaan yang memiliki cukup pengetahuan tentang Indonesia. Ketika konflik Ambon dan Poso antara akhir 1998 sampai awal 2002, dia termasuk orang yang bolak-balik Australia-Indonesia untuk kepentingan kemanusiaan.

Saya beruntung karena Bill ialah seorang yang tidak reaktif. Walaupun mungkin referensinya tentang Islam dan Muslim tidak cukup menggembirakan, dia tidak buru-buru mengambil sikap agresif dan bisa menerima saya dengan baik. Oleh karena itu, saya tidak mengalami diskriminasi seperti beberapa kasus yang pernah terjadi. Pedro Bordalo dalam tulisannya, The Quarterly Journal of Economics, menyebut bahwa stereotip memiliki kecenderungan menonjolkan perbedaan sehingga berujung pada belief distortions.

Melalui cerita pertama ini, saya ingin menunjukkan bahwa diaspora Islam Nusantara mendarat di Australia dengan menanggung beban stigma yang kurang menyenangkan. Persepsi masyarakat tentang Islam dan muslim yang telah menjadi ancaman, terutama ancaman keamanan, di Australia terjadi karena beberapa hal. Di antaranya adanya laporan hasil asesmen Australian National Security yang menunjukkan bahwa kelompok yang paling memungkinkan melakukan teror ialah ekstremis muslim dan ditemukannya ratusan muslim Australia yang bergabung atau tertarik untuk bergabung dengan ISIS (Rane, Halim, et al 2020).

Mahony dalam tulisannya, Diverging frames: A Comparison of Indonesian and Australian Press Portrayals of Terrorism and Islamic Groups in Indonesia, menjelaskan tidak lama setelah bom Bali, media-media Australia membuat framing bahwa muslim ialah teroris atau setidaknya mendukung terorisme.

 

 

Muslim Indonesia di Australia

Saat rehat setelah pengajian, seorang laki-laki tua, bersih dengan gamis putih dengan ramah menyapa. Orang tua itu ialah Abdel. Seorang imigran muslim asal Libanon yang menetap di Australia karena perang sipil di negaranya. Setelah basa-basi sejenak, lalu ia bertanya rencana saya setelah selesai masa studi. “Saya prihatin, minat orang-orang Indonesia terdidik untuk menetap di Australia sangat rendah, sementara orang-orang nonmuslim, seperti Vietnam, Tiongkok begitu bersemangat untuk menetap di Australia.”

Kalimat itu diutarakan Abdel saat mengetahui saya tidak berencana untuk menjadi warga negara Australia. Ia kemudian melanjutkan perbincangan dengan mengutarakan harapan-harapan agar lebih banyak lagi orang-orang muslim Indonesia yang tinggal di Australia demi wajah Islam yang lebih membanggakan. Menurutnya, Australia kini jauh lebih menjanjikan sebagai tempat untuk berdakwah, yakni negaranya liberal dan komunitas Islam berkembang di banyak tempat.

Saya menyaksikan apa yang dikatakan Abdel. Muslim di Australia hidup sejahtera dan mereka bebas beribadah dan menghimpun diri dalam jemaah-jemaah. Masjid dan Musala dapat dengan mudah disaksikan di kawasan tempat saya tinggal, di Sydney. Bahkan, sebagian universitas di Sydney juga menyediakan musala dengan fasilitas yang sangat layak.

Namun, Islam di Australia bukan tanpa tantangan. Prof Kevin Dunn dalam tulisannya berjudul Contemporary racism and Islamaphobia in Australia melaporkan adanya perlakuan rasial yang dialami muslim di Australia. Dunn menuliskan pada Juli 2003 pengadilan agraria di daerah New South Wales, telah mengabulkan proposal pendirian rumah ibadah komunitas Islam di daerah pinggiran barat laut yang sebelumnya ditolak otoritas Kota Baulkham Hills Shire. Penolakan pemerintah kota ini, menurut Dunn, ialah contoh adanya perlakukan rasial yang diterima warga muslim.

Seperti dikutip Dunn, Kobayashi dan Peak mendeskripsikan, rasialisasi sebagai proses pemaksaan diidentifikasi dan pemberian stereotip serta pemaksaan pada kondisi hidup tertentu, biasanya berbentuk 'segregasi sosial. Benar bahwa kesempatan untuk mengembangkan Islam di Australia telah terbuka. Namun, tantangannya juga tidak sederhana sehingga komunitas Islam harus terus berbenah dan memperbaiki citra diri.

 

 

Islam Nusantara, jembatan kebudayaan di Australia

Sensus penduduk Australia pada 2001 mencatat, ada 8.087 atau hampir 3% dari total muslim di Australia penduduk beragama Islam yang lahir di Indonesia. Komunitas muslim Indonesia di Australia biasanya berkelompok dalam jemaah-jemaah pengajian. Sebagian besar mereka berkumpul berdasarkan identitas etnisitas, misalnya, pengajian keluarga Minang, Bangka, atau Banjar, atau afiliasi organisasi kemasyarakatan di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Muttaqin dalam tulisannya berjudul Problems, Challenges and Prospects of Indonesian Muslim Community in Sydney for Promoting Tolerance menjelaskan, ada tiga persoalan yang menjangkiti orang-orang Islam asal Indonesia di Australia. Pertama ialah ambiguitas mereka dalam menentukan identitas diri, kemudian keengganan untuk berintegrasi, dan terakhir ialah khayalan untuk kembali ke Indonesia.

Terlepas dari tiga hambatan tersebut, seiring berjalannya waktu, warga NU di Australia telah menemukan peran strategis sebagai duta bagi Indonesia dan Islam Nusantara, advokat bagi konsolidasi antarumat Islam, dan jembatan kebudayaan yang menghubungkan Islam dengan tradisi-tradisi lain di Australia.

Peran-peran ini terlihat jelas dari penerimaan organisasi Islam besar, seperti Darul Fatwa di Sydney, partisipasi warga NU sebagai representasi Islam Indonesia pada perayaan festival Maulid Nabi, juga kepercayaan Kedutaan Besar Indonesia terhadap Nahdlatul Ulama. Tiga hal tersebut ialah gambaran dari milestone dari cita-cita besar Islam Nusantara yang pantas diapresiasi dan harus terus dijaga.

Pengurus NU cabang istimewa Australia dan Selandia Baru berusaha menanamkan fondasi kukuh bagi tersebarnya gagasan dan nilai-nilai Islam Nusantara yang moderat. Gagasan ini dikenal publik sebagai inisiatif Nahdlatul ulama. Namun, warga NU berusaha menjadikannya sebagai gerakan kebudayaan inklusif.

Sebagaimana yang ditulis Prof Schaefer dari Humboldt-Universitaet Berlin dalam paper-nya, Islam Nusantara-The Conceptual Vocabulary of Indonesian Diversity, Islam Nusantara memiliki makna jauh melampaui yang dicitrakan dalam bacaan kekinian, ia ialah ekstraksi dari praktik pluralitas dan cita-cita pluralisme yang berusia berabad-abad tumbuh berkembang di Nusantara.

Pola komunikasi terbuka serta sikap yang inklusif akan meminimalisasi barrier serta rasa terancam antarbudaya. Walaupun tren penerimaan terhadap gagasan Islam Nusantara dan daya jangkau para penggeraknya menunjukkan grafik yang eksponensial, harapan Abdel agar santri-santri Indonesia lebih banyak lagi yang tinggal di Australia tetap harus menjadi perhatian.

Modernitas dengan berbagai tantangan dan ancamannya, termasuk munculnya perasaan terancam terhadap liyan, membutuhkan peran agen untuk membangun jembatan antarbudaya. Jika Habermas menyebut modernitas sebagai proyek yang belum selesai, muslim Indonesia, termasuk NU di Australia, terus berupaya melanjutkan proyek ini, dengan membangun jembatan antarbudaya. Itu terutama menjalin komunikasi tanpa distorsi sehingga terjalin pemahaman dan pengertian antarbangsa dan budaya demi mewujudkan perdamaian dunia yang berkelanjutan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya