Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Waspadai Bencana Demografi

Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL IPB)
09/7/2021 06:00
Waspadai Bencana Demografi
Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL IPB)(DOK. MI)

PERTUMBUHAN penduduk menuntut ketersediaan bahan pangan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan untuk memastikan bonus tidak menjadi bencana.

Kini jumlah populasi di dunia naik drastis mencapai angkat 7,7 miliar manusia termasuk RI. Di Indonesia penduduk yang besar ini berusaha didekati dengan pendekatan adaptive dengan menyebut sebagai bonus demografi. Benarkah kondisi itu menjadi bonus dan memberikan manfaat positif dalam skala nasional dan global? Jawabnya mudah! Ya, ketika kita berhasil memanfaatkan pertumbuhan penduduk itu dengan baik. Namun, apabila kita tidak mampu memanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin bonus demografi yang dituliskan kemudian menjadi bencana demografi.

Indikasi

Tidak mudahnya mengelola SDM yang terus tumbuh akan sangat berisiko dan bisa menyebabkan potensi bencana di masa datang, baik itu kelaparan, peperangan, kesenjangan ekonomi, penyakit, bahkan tumpang-tindih ruang. Bonus demografi yang terus bertambah seharusnya menjadi kekuatan bukan kelemahan.

Era gagasan SDM unggul seperti saat ini seharusnya bukanlah starting, melainkan loncatan karena sebagian potensi itu sudah tergarap. Faktanya kita bisa lihat potensi diaspora milik bangsa yang tumbuh dan berkembang di luar negeri.

Tidak kurang dari 2,2 juta diaspora siap dikaryakan. Namun, belum jelas posisi atau lapangan dan akses yang disiapkan sehingga panggung kongres diaspora 10 Agustus 2019 lalu masih diisi dengan ceremony pencapaian personal, bukan kolektif. Bahkan, negara belum mampu mendesain kebutuhan ruang yang perlu diisi diaspora atau peta keunggulan diaspora dalam mesin pembangunan nasional. Kondisi ini menjadi petunjuk bahwa bonus demografi belum tergarap baik dan matang.

Penulis melihat setidaknya ada lima indikasi jika bonus demografi tidak dapat dikelola dengan baik bisa berpotensi bencana demografi.
Pertama maraknya impor SDM nondiaspora, kedua tidak mampu memandirikan pangan, ketiga gaya pendidikan yang masih asimetris, keempat gagal menjadikan sains sebagai alat pengambil keputusan, serta kelima kesenjangan sosial dan penyakit.

Indikasi pertama ialah impor SDM yang sekarang menjadi tren yang luar biasa dengan kedok globalisasi. Program impor dosen, profesor, rektor, dan yang baru-baru ini tenaga kerja asing impor menguat mengindikasikan kita gagal memanfaatkan SDM sendiri termasuk diaspora. Paling tidak, memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap SDM sendiri bahwa persaingan global bisa didorong dari aset bangsa sendiri.

Tidak hanya impor kaum intelektual, impor tenaga kerja kasar pun terjadi dalam berbagai sektor lapangan kerja. Data Kemenaker 2018 tercatat 95 ribu lebih tenaga kerja asing yang mencari makan di bangsa ini, di tengah maraknya pengangguran.

Kembali lagi, perdagangan bebas, investasi, dan skill menjadi kedok masuknya orang asing untuk mengisi lapangan pekerjaan di Tanah Air kita. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 40/2012 yang memberikan kesempatan kepada orang asing mengambil posisi 19 jenis pekerjaan di RI ialah sesuatu yang sulit diterima.

Kedua, gagalnya kita mendorong kemandirian pangan sebagai bentuk potensi risiko dari bonus demografi itu. Setidaknya dapat dilihat dari dua hal, yaitu maraknya impor pangan dan kedua tidak terkendalinya alih fungsi lahan produktif. Impor pangan saban tahun tidak pernah berubah seperti beras, bawang, gula, jagung, garam, dan daging. Kalau sektor pangan dikelola serius, petani dilindungi, pemerintah berpihak, sektor pangan akan menjadi lapangan pekerjaan menjanjikan bagi rakyat Indonesia. Seharusnya, pemerintah merancang industri pangan agar SDM kita memperoleh pekerjaan. Kekayaan sumber pangan ialah potensi pekerjaan yang luar biasa besarnya untuk dimanfaatkan.

Sektor itu, dari hulu sampai hilir, akan mampu menjadi pendapatan negara ini di masa mendatang. Dengan demikian, kita bisa pastikan bahwa pangan mampu menyelamatkan demografi terhadap bencana termasuk penyakit.

Ketiga ialah gaya pendidikan kita yang masih bersifat asimetris dan bergantung pada fi losofi asing. Fakta bahwa pendidikan kita asimetris ialah ketika pemerintah tidak mampu memberikan kepercayaan kepada kampus kita mengambil keputusan akan nasib bangsa. Akibatnya, kita masih menganggap bahwa satu kebijakan akan sahih jika sudah di-advise orang asing.

Program SDM unggul harus mampu menjadikan kampus-kampus kita sebagai saka guru pengembanqan ilmu, sains, dan kebijakan yang diperlukan pemerintah. Untuk itu, berikan kepercayaan kepada kampus untuk memberikan karya terbaik dalam membangun bangsa ini dengan segenap potensi SDM yang dihasilkan. Berikan dukungan kebijakan, kesempatan karya kampus menjadi dasar pengambilan keputusan nasional, agar kampus dan sumber daya terdidik memiliki ruang besar dalam bonus demografi. Jika tidak, yang akan terjadi ialah pengangguran terdidik yang akan terus meningkat.

Dalam kondisi wabah covid-19 saat ini, semua kemampuan kampus harusnya diakomodasi untuk mencari solusi berbasis bangsa kita secara saintifi k dan tidak sertamerta ekspor obat. Sudah setahun lebih pandemi covid-19, BRIN dan Kemenkes masih gagal menggali potensi obat dan vaksin dari bangsa sendiri.

Keempat yang menjadi indikasi potensi bencana dari bonus demografi ialah ketidakmampuan membangun industri sains nasional. Sumber daya hayati di gunung, daratan, dan lautan ialah sumber inspirasi dan realitas sain. Tidak sedikit karya ilmu yang dihasilkan dari sumber daya itu. Namun, tidak satu pun dari aset sain itu terkelola dan menjadi mainstreaming dunia. Bahkan, untuk konsep blue economy, green production, kita masih percaya dengan yang dihasilkan bangsa lain dibandingkan dengan sasi, tanah ulayat, dan sebagainya.

Tidak sedikit konsep kearifan lokal pada bangsa ini yang mampu mengimbangi ekploitasi sehingga potensi SDA tetap sustainable.

Kelima potensi kesenjangan yang makin membesar akibat terjadinya pemusatan ekonomi dan pendapatan. Kesenjangan sosial, perbedaan pendapatan, kemudahan akses pendidikan dan terhadap sumber daya dan prasarana makin kentara.

Ketika terjadi bencana seperti wabah covid-19 seperti saat ini, kelompok masyarakat rentan terdampak luas. Kesulitan pangan, keterbatasan akses kesehatan, dan ketidakmampuan literasi seharusnya tidak terjadi. Namun, faktanya, kita sulit menyiapkan semua hal itu untuk masyarakat. Gejala bonus demografi menjadi bencana demografi makin jelas terlihat saat wabah virus korona saat ini.

Tidak mau memutar mundur kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, tetapi setidaknya hari ini kita memetik pelajaran dari ajaran Bung Karno agar kita menjadi bangsa yang mandiri pangan, negara yang berdikari, dan bangkit dari sekadar menjadi jongos bangsa asing. Mari kita siapkan masyarakat dan bangsa sebaik mungkin untuk mencegah risiko bencana virus korona yang lebih luas karena bonus demografi dan bencana seperti dua sisi mata uang yang saling meniadakan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya