Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
EDITORIAL Media Indonesia Senin (7/6), mengangkat judul Pilpres masih Jauh. Meskipun kontestasi masih 3 tahun lagi, ada gelagat para politikus dan pejabat publik yang tengah digadang-gadang maju dalam pemilihan presiden mulai memoles diri. Mereka mulai terlihat sibuk dalam sejumlah aktivitas elektoral, melakukan sowan ke sesama elite politik (ketua partai) berbalut safari atau misi persahabatan politik.
Demi terkesan populis, pertemuan tersebut dibaluti alasan normatif: membicarakan persoalan bangsa dan diklaim jauh dari agenda Pemilihan Presiden 2024. Meskipun sulit untuk menampik, ada aroma kontestasi pilpres yang mulai meruap dari kongko politik dimaksud. Buktinya di saat bersamaan, elite partai lainnya berbicara soal penjajakan koalisi, soal kecocokan ideologi, yang kemudian diamplifikasi oleh berbagai media lewat analisis dan penerawangan para pengamat politik, lengkap dengan bumbu-bumbu simulasi figur capres-cawapres.
Media sosial pun tak luput menjadi medan tempur para politikus untuk menyosialisasikan diri dan program, plus dengan penampilan dan kerja militan tim sukses, para relawan, yang terus mentransmisi perkembangan kerja politik jagoan politiknya. Di darat, wajah manis dan genit para ‘calon presiden’ itu terlihat di berbagai baliho di titik-titik strategis untuk mencuri lirikan rakyat.
Tak terbendung
Tampaknya, hasrat politik para politikus (di antaranya sebagai ketua partai, kepala daerah, menteri, dll) menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 sudah diubun-ubun dan tak terbendung. Sayangnya, semangat politik tersebut terlampau prematur dan niretis dalam konteks kesejatian politik.
Di tengah laju pandemi covid-19 yang belum berhenti, keadaan masyarakat yang terus dibekap keresahan ekonomi akibat pandemi, dunia pendidikan yang ikut terdampak pandemi, yang tentu saja sangat berpengaruh bagi masa depan mutu sumber daya manusia Indonesia dalam persaingan global, rakyat justru dipertontonkan atraksi dan akrobat panggung politisi yang haus simpati publik.
Menurut Kementerian Kesehatan sudah ada 15 kasus varian baru covid-19 yang teridentifikasi di wilayah DKI Jakarta hingga 6 Juni 2021. Gelombang mudik ikut menciptakan lonjakan klaster covid-19 nyaris di setiap kabupaten, yakni Jawa Barat menjadi wilayah klaster tertinggi, disusul Jawa Tengah.
Munculnya varian baru covid-19 ikut membebani upaya pemerintah daerah dan tenaga kesehatan dalam meredam pandemi global tersebut. Fakta di atas mengindikasikan masih lemahnya manajemen penanganan pandemi, khususnya oleh para elite pemimpin di daerah. Kita bisa saja berasumsi liar bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan lemahnya kemampuan responsivitas mereka dalam memahami situasi urgen dan kritis yang berdampak langsung kepada nasib rakyat.
Keadaan maskrokopis efek pandemik di berbagai daerah, mestinya, menjadi sumber penguatan penginderaan dan sensitivitas para elite politik, khususnya kepala daerah untuk bergerak membuat kebijakan dan aksi konkret untuk meredam eskalasi wabah secara lebih efektif.
Presiden Jokowi jauh-jauh hari sudah meminta kepala daerah untuk serius menangani pandemi. Ketika berkunjung ke Riau Mei 2021 lalu, Presiden Jokowi meminta perangkat daerah di Tanah Air untuk memantau indikator pengendalian pandemi sehingga bisa diambil langkah taktis untuk menekan penyebaran kasus covid-19 (Media Indonesia.com, 20/5).
Sebenarnya, desentralisasi membuat kepala daerah memiliki kemewahan untuk mengimplementasikan kekuasaan yang lebih optimal dan dekat dengan rakyat, terutama dalam konteks membuat kebijakan publik yang solutif (Arghiros, 2001 dan Bardhan, 2002). Sayangnya, ruang kemewahan tersebut belum efektif dikapitalisasi. Yang terjadi, konsentrasi kebijakan para elite terpecah oleh godaan politik elektoral jangka pendek, terjebak dalam ritual politik yang menggelincirkan mesin-mesin kekuasaan mereka ke dalam ruang-ruang pragmatis.
Motif politik
Bagaimanapun apa yang dikatakan Carolyn J Lynn, Carolyn J Heinrich, dan Laurence Hill (2000) bahwa semua tindakan pejabat publik yang dipertontonkan di muka publik tidak terlepas dari motif rasionalitas ekonomi, kian mendekati kenyataan di negeri kita saat ini. Dalam konteks politik misalnya, apa pun simbol dan justifikasi yang digunakan, perilaku elite selalu diikat oleh kepentingan politik.
Sulit dinafikan, maraknya saling kunjung dan salaman para elite politik belakangan ini lebih mencerminkan kebutuhan politik kuantitatif (dukungan elektoral) daripada politik kualitatif (dukungan moral publik) untuk menghasilkan keputusan politik yang prospektif bagi kemaslahatan bersama.
Meskipun ada elite yang kemudian mencoba membela diri bahwa mereka belum berpikir soal kontestasi politik 2024, gesture politiknya justru menunjukkan adanya spirit ingin menaikkan citra positif dan akumulasi elektoral untuk meraih kursi kekuasaan lima tahunan. Ini bisa dilihat, misalnya, pada friksi atau polemik di internal partai yang lebih berbasis pada faktor ‘siapa mendukung siapa’ ketimbang memperlihatkan diskursus ide-ide populis untuk menjawab persoalan rakyat.
Masalahnya, isyarat politik yang cenderung ambisius itu, hanya memicu gonjang-ganjing dan kegaduhan politik, menguras energi moral dan materiel tidak saja para elite, tetapi juga rakyat itu sendiri. Rakyat kemudian terseret dalam gelombang friksi yang diwarnai hoaks, saling mem-bully, intimidasi, dll). Terutama, di media sosial, mengalihkan pikirannya dari persoalan keseharian untuk masuk membicarakan agenda atau urusan yang –sejatinya--berbau elitis, yang tanpa disadari akan semakin menciptakan gap sosial yang lebar, antara elite dan rakyat, yang justru menjadi kontradiktif dengan hakikat politik elektoral, yang bertujuan mengintimkan relasi elite dan rakyat, dalam mewujudkan tatanan sosial yang beradab (Budiardjo, 2009).
Kita tentu sepakat, politik ujung-ujungnya ialah sarana untuk mencapai kekuasaan dan membentuk penadbiran. Namun, proses untuk mencapai kekuasaan itu, tidak serta-merta menegasikan etika dan fatsun berpolitik sebagai –meminjam Aristoteles-- bagian fundamental dari politik kesempurnaan hidup eudaimonia, yakni nilai-nilai kemanusiaan dan etika merupakan tujuan dasariah berpolitik.
Pilpres masih tiga tahun. Alangkah elok, dan elegan, bila politisi dan pejabat politik mengerem nafsu elektoralnya, untuk lebih memikirkan pergumulan sebagian besar rakyat yang tengah berusaha bertahan hidup di tengah nestapa pandemi. Kepedulian mereka, terhadap kesulitan rakyat dan kemampuan mereka mengeluarkan rakyat dari problemnya secara konkret, justru akan dihitung sebagai investasi politik yang menaikkan derajat kepemimpinannya di mata rakyat.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Framing dalam pemberitaan bisa menentukan siapa yang tampil sebagai korban dan siapa yang terlihat bersalah, meskipun bukti belum ada.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved