Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEJARAH Hari Perempuan Internasional merupakan perjalanan panjang yang tidak terlepas dari perjuangan kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan perempuan di berbagai belahan dunia telah dimulai sebelum abad ke-20. Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott, sebagai contohnya, menuntut diakuinya hak-hak sipil, sosial, dan politik bagi perempuan di tahun 1848.
RA Kartini di Indonesia memperjuangkan hak bagi anak-anak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan memainkan peranan yang lebih luas daripada hanya peran domestik. Baru tahun 1975, pada saat Tahun Perempuan Internasional, PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Momentum perayaan tahunan ini merupakan hari bagi perempuan di seluruh dunia untuk merayakan pencapaian perempuan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik.
Empat puluh lima tahun sejak Hari Perempuan Internasional ditetapkan, banyak perubahan terjadi, termasuk afirmasi bahwa bukan hanya pemenuhan hak perempuan yang dianggap penting, tetapi juga hak anak perempuan.
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, Mesir, pada 1994 mencatat sejarah penting, ketika komunitas global menyatakan dengan tegas bahwa pemenuhan hak perempuan dan anak perempuan merupakan kunci utama pembangunan berkelanjutan. Bahkan, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan No 5 secara khusus menyangkut Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan bagi Perempuan dan Anak Perempuan.
Namun, dalam skala global maupun nasional, kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam sektor pendidikan, politik, maupun kepemimpinan masih sangat rendah. Menurut the World Economic Forum, akan butuh 100 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender di sebagian besar negara di dunia.
Di Indonesia sendiri, banyak faktor mengapa masih terjadi ketidaksetaraan berbasis gender, antara lain masih melekat kuatnya budaya patriarki di masyarakat, terutama di akar rumput. Salah satunya karena ada pemikiran di sebagian kalangan bahwa anak perempuan harus segera dinikahkan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) memperkirakan, 132 juta anak perempuan putus sekolah karena berbagai tantangan seperti kemiskinan dan perkawinan anak.
Dalam bidang pendidikan, masih ada pendapat bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena hanya berujung di dapur. Stereotip ini harus diubah. Perempuan harus mendapatkan kesempatan pendidikan setinggi mungkin untuk dapat berperan aktif dalam pembangunan dan mendidik generasi penerus masa depan.
Data Plan International menyebutkan, 1 dari 5 remaja perempuan putus sekolah, terutama di tingkat sekolah menengah. Di jenjang perguruan tinggi, catatannya lebih miris lagi. Menurut BPS RI (Susenas, 2018), hanya 32,53% perempuan Indonesia di atas usia 15 tahun ke atas yang tamat SMA atau jenjang lebih tinggi.
Bahkan, ketika perempuan dapat bersekolah tinggi, di beberapa sektor seperti di bidang teknologi, perempuan mengalami berbagai hambatan untuk bisa berpartisipasi. Dengan begitu, kesempatan untuk belajar dan menerima beasiswa di bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM) masih harus ditingkatkan bagi perempuan, terutama dalam rangka memasuki revolusi industri 4.0.
Budaya patriarki dan pendidikan yang relatif rendah masih menjadi hambatan bagi sebagian besar perempuan untuk bisa berpartisipasi aktif dan menjadi pemimpin dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan politik. Meskipun kondisi kepemimpinan perempuan di RI bukanlah yang terburuk di dunia, bagi kebanyakan orang menjadi pemimpin masih ranah laki-laki. Perempuan sendiri kadang melakukan ‘sabotase’ terhadap perkembangan diri dan kesempatannya untuk menjadi pemimpin.
Dari pengalaman kerja Plan International dengan anak-anak remaja dan perempuan muda, cukup banyak dari mereka yang sebenarnya memiliki hasrat menjadi pemimpin. Riset Plan International (Taking The Lead, 2019) menunjukkan, dari 10 ribu anak dan kaum muda perempuan yang berasal dari 19 negara, 62% mengatakan yakin dengan kemampuan mereka memimpin; 76% secara aktif ingin menjadi pemimpin dalam karier, komunitas, atau di negara mereka; 62% anak dan kaum muda perempuan yang merupakan responden dari riset ini memiliki rasa percaya diri untuk memimpin.
Kepercayaan diri dan pengalaman memimpin haruslah dipupuk sejak muda. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Lalu, anak perempuan dapat meningkatkan mengembangkan awareness, mengetahui kekuatan mereka. Dengan demikian, mereka tahu apa yang harus dikembangkan. Penting membangun kepercayaan diri dan soft skills serta empati.
Tantangan lain yang menghambat ialah kurangnya role model atau contoh perempuan pemimpin yang bisa menginspirasi anak-anak remaja dan perempuan muda, terutama di daerah perdesaan. Pengalaman Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) membina anak-anak perempuan dan perempuan muda, jarang sekali ditemukan anak perempuan di desa yang mempunyai cita-cita menjadi pemimpin.
Beberapa faktor penyebab, stereotip mengenai perempuan yang sering kali dianggap memiliki mental lemah untuk menghadapi permasalahan di masyarakat, juga sering dianggap belum mampu memberikan solusi. Padahal, banyak sekali pemimpin perempuan yang berhasil menangani berbagai isu sosial, lingkungan, serta ekonomi.
Salah satunya Ibu Tri Rismaharini yang pernah menjabat Wali Kota Surabaya. Beliau berhasil menghantarkan Kota Surabaya ke kancah internasional dan menyelesaikan beberapa persoalan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Beliau salah satu wali kota terbaik di dunia dan sering menerima penghargaan.
Dalam merayakan Hari Perempuan Internasional, Plan Indonesia bersama Kemenkeu RI mengadakan Girls Leadership Program (GLP) yang bertujuan memotivasi dan menginspirasi anak perempuan serta kaum muda perempuan untuk membuat perubahan di komunitasnya.
Kegiatan GLP kali ini difokuskan juga pada bidang pendidikan dan teknologi. Rangkaian kegiatan GLP menjaring 120 anak perempuan usia 15-18 tahun yang berhasil dipilih mengikuti sesi kepemimpinan dari Menkeu Sri Mulyani. Pada tahap kedua telah dipilih 31 anak untuk melakukan program perubahan di komunitasnya masing-masing.
Salah satu dari anak perempuan pemimpin peserta GLP ini ialah Mufradatul Riadhah. Ia pendiri dan Direktur Siti Sarah Women Center di Kalsel yang mengadakan program Amplify Her, yang bertujuan meningkatkan partisipasi perempuan ke jenjang perguruan tinggi dan juga memanfaatkan teknologi untuk bonus demografi.
Program ini memberikan mentoring mengenai cara mendapatkan beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah dan cara mendaftar menuju universitas, juga informasi seputar dunia perkuliahan. Amplify Her juga proyek yang mengajarkan anak perempuan berwirausaha mandiri melalui digital marketing agar dapat menciptakan platform digital sendiri untuk membantu UMKM lokal di daerah masing-masing.
GLP merupakan salah satu upaya Plan Indonesia untuk secara programatik dan berkesinambungan maupun melalui kampanye mendukung peran serta aktif anak-anak perempuan dan kaum muda perempuan, juga kesetaraan gender.
Selain GLP, Plan Indonesia juga menjalankan Girls Leadership Academy, dan setiap tahunnya Girls Take Over. Pada saat Hari Anak Perempuan bulan Oktober, anak-anak perempuan menjalankan peran sebagai pemimpin menggantikan para pemimpin puncak.
Berbagai pihak pemangku kepentingan telah dilibatkan untuk memberikan kesempatan dan ruang yang lebih baik bagi anak perempuan dan kaum muda perempuan. Investing in girls atau investasi pada anak perempuan, terutama di bidang pendidikan dan kepemimpinan, merupakan salah satu kunci agar Indonesia bisa benar-benar merealisasikan potensinya; masuk lima besar ekonomi dunia dan tidak terjebak dalam jebakan negara berpendapatan menengah.
Hari Perempuan Internasional kembali menjadi pengingat pentingnya kesadaran masyarakat serta perempuan itu sendiri akan kekuatan, peran besar, juga tantangan kesetaraan gender. Kita tidak usah menunggu 100 tahun untuk mewujudkan kesetaraan gender apabila semua turut bergerak dan mendukungnya.
Mengutip salah satu tokoh perempuan muda dunia, Malala Yousafzai, “Bila kita ingin mencapai tujuan kita, mari perkuat diri kita dengan senjata pengetahuan, dan mari lindungi diri kita dengan kesatuan dan kebersamaan.”
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved