Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
ESKALASI kekerasan di Yangon, Myanmar tampaknya akan semakin meningkat dalam beberapa hari ke depan. Hal itu merupakan imbas dari terjadinya kudeta oleh junta militer (Tatmadaw) pimpinan Jendral Min Aung Hlaing yang menganulir kemenangan Partai Liga untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilu tahun ini. Junta militer menuding partai itu telah berbuat curang dan mengklaim telah menemukan lebih dari 10 juta penyimpangan suara dalam pemilihan anggota parlemen pada 8 November 2020. Atas dasar itu, junta militer lalu mengendalikan negara sejak 1 Februari 2021 dan menerapkan keadaan darurat selama setahun.
Terkait situasi terkini di Myanmar, Indonesia pun sebetulnya memiliki sejarah panjang terkait dominasi militer di dalam kekuasaan negara. Saat itu wajah militerisme diwakili oleh rezim Orde Baru. Apa yang saat ini sedang terjadi di Myanmar, sedikit banyak menggambarkan realitas yang dulu pernah terjadi di Indonesia saat Orde Baru berkuasa selama sekitar 32 tahun.
Bahkan, sisa-sisa warisan Orde Baru pun masih belum hilang sama sekali hingga saat ini. Baik ideologi atau pemikiran, serta organisasi berupa partai politik yang merupakan mesin politiknya, maupun para tokoh yang merupakan kader atau simpatisan dari partai tersebut. Bayang-bayang Orde Baru pun tidak dipungkiri masih mewarnai pemerintahan saat ini yang nota bene lahir dari rahim Orde Reformasi, pascatumbangnya Orde Baru pada 1998.
Menurut KBBI, militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan; pemerintahan yang dikuasai oleh golongan militer; pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin, dan sebagainya). Mengacu kepada batasan militerisme tersebut, maka dapat disimpukan secara apriori bahwa tidak akan ada tempat bagi demokrasi di Myanmar. Selanjutnya, dapat dengan mudah ditebak pula bahwa HAM akan dengan mudah dikangkangi oleh penguasa. Karena militerisme menganggap HAM tidak ada artinya, jika dibandingkan dengan keamanan dan stabilitas negara. Atas nama kepentingan negara, HAM akan dengan mudah diberangus.
Bukti sikap keras kepala dan mengabaikan kecaman dari dunia internasional atas kudeta yang terjadi, maupun atas jatuhnya korban jiwa warga sipil yang berunjuk rasa oleh aparat kemanan maupun militer, menunjukkan bahwa model penguasa anti-demokrasi yang merendahkan nilai-nilai HAM ternyata masih eksis hingga saat ini. Hal itu setidaknya diwakili oleh Myanmar dan tentunya Korea Utara.
Militerisme ala Myanmar sesungguhnya tidak mengambarkan mainstream kekuasaan yang ada di dunia pada saat ini. Mengapa demikian? Karena militerisme sudah tidak lagi mendapatkan tempat terhormat di kancah pergaulan antarbangsa yang berlandaskan pada penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM. Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami masa kelam militerisme ala Orde Baru, tentunya tidak ingin kembali kepada situasi saat itu.
Hanya saja, hal sebaliknya justru terjadi di Myanmar, saat junta militer mengkudeta otoritas sipil yang sedang berusaha membangun negara menuju demokrasi dan supremasi hukum sejak 2011. Kehadiran militer sebagai penguasa, justru akan membawa negara itu kembali ke era diktatorial yang tentunya anti-demokrasi dan anti-HAM sebagaimana pernah dialami selama hampir 50 tahun.
Pada akhirnya, fakta sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa, cepat atau lambat, paham militerisme tidak akan mampu bertahan dalam menghadapi tuntutan zaman yang terus bergerak ke arah yang lebih demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Sekuat apapun paham tersebut.
Pakar Sebut RUU KUHAP Harus Hargai Nilai HAM
Ketika masyarakat adat ditinggalkan dan tidak diakui, demokrasi akan menurun
Pendeta Sue Parfitt, dari Bristol, ditahan karena memegang plakat bertuliskan "Saya menentang genosida. Saya mendukung Palestine Action".
KEMENTERIAN Hak Asasi Manusia (HAM) menegaskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan aplikator dan pengemudi ojek online (ojol) saat ini sudah tidak layak untuk dipertahankan.
Contoh termudah memahami personalisasi konten, adalah tawaran konten yang tersaji di media digital. Di platform tersebut preferensi disesuaikan kepada tiap-tiap khalayak.
Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
FENOMENA autokratisasi secara global yang terjadi saat ini memasuki gelombang ketiga. Pemerintah otoriter lahir dengan cara 'memanfaatkan' sistem demokrasi.
MANTAN Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, yang berstatus terdakwa, dibebaskan secara bersyarat setelah menjalani hukuman enam bulan dari satu tahun hukumannya.
Bantuan yang diberikan Amerika Serikat ke Gabon akan dihentikan setelah kudeta militer bulan lalu.
KEMENTERIAN Luar Negeri Prancis pada Kamis (14/9), mengumumkan bahwa seorang warganya yang ditahan selama kudeta di Niger telah dibebaskan.
Selama 17 tahun dipimpin Pinochet, lebih dari 3.200 orang terbunuh atau “hilang” dan puluhan ribu orang lainnya disiksa.
Diskusi antara Prancis dan Niger dilakukan terkait kelanjutan prajurit asal Prancis.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved