Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Pers, Pilih Diam Atau Bersahabat Dengan Perubahan

Eko Suprihatno, Jurnalis Harian Media Indonesia
09/2/2021 11:30
Pers, Pilih Diam Atau Bersahabat Dengan Perubahan
Eko Suprihatno(Dok pribadi)

KETIKA ada orang berbisik di ujung dunia, dalam sekejap bisikan itu bisa terdengar di ujung lainnya. Saat ada yang berteriak lantang, ternyata tak banyak yang mendengar. Maklum saja, berbisiknya di berbagai platform media sosial yang seketika itu juga bisa diakses banyak orang. Sementara yang berteriak hanya menggunakan media tradisional saja, sehingga tak heran kalau kemudian seperti hilang ditelan bumi.

Seperti itulah gambaran keberadaan informasi yang kita hadapi saat ini. Setidaknya mohon dipahami ada sedikit perbedaan antara informasi dan berita. Walaupun secara kaidah bahasa, tidak ada perbedaan antara informasi dan berita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan informasi adalah pemberitahuan; kabar atau berita tentang sesuatu. Sedangkan berita adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat; kabar. Hanya saja dalam pemahaman jurnalistik, informasi baru sebatas pemberitahuan saja dan belum terverifikasi. Sedangkan berita merupakan informasi yang sudah terverifikasi. 

Dalam konteks inilah wartawan atau jurnalis bukan sekadar memberikan informasi saja. Dia harus menyajikan berita. Hal ini juga bisa disitat dari Pasal 6 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan; Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; 

Dari penegasan tersebut sudah jelas pers memiliki fungsi sebagai penyampai informasi yang tepat, akurat dan benar kepada masyarakat. Di sisi lain juga melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terkait kepentingan umum. Yang tidak kalah penting adalah memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Verifikasi

Mengacu kepada konteks 'kebenaran' tentulah berbeda dengan 'kebaikan'. Diksi 'kebenaran' artinya menyangkut pada sesuatu yang benar, faktual, tidak mengada-ada, sesuai fakta sebagaimana adanya. Sedangkan 'kebaikan' belum bisa dikatakan benar bila menyangkut sesuatu yang terjadi di masyarakat. Bisa saja wartawan tidak menyampaikan sesuatu fakta dengan pertimbangan demi 'kebaikan' masyarakat luas. 

Sejauh ini fungsi tersebut bolehlah dikatakan berjalan dengan baik karena dalam proses pemberitaan kita mengenal adanya kebijakan redaksional (editorial policy). Jadi, dalam penyampaikan suatu berita kepada masyarakat ada tahapan yang patut dipahami awak redaksi yaitu; 1. menyangkut nama (name makes news), 2. terkait dengan nominal (quantity), 3. dampak (impact), dan 4. kebijakan redaksional.

Bila mengacu pada empat poin tersebut, tidak ada cara lain dalam menyajikan berita yaitu kewajiban setiap awak redaksi untuk melakukan verifikasi fakta dalam penulisannya. Verifikasi ini menjadi harga mutlak bila kita tidak ingin disebut wartawan abal-abal. Nafas berita adalah fakta yang benar dan sudah terverifikasi agar tidak terjebak dalam membuat kebohongan. 

Bila saja wartawan melakukan kebohongan sama artinya dia mematikan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam kode etik, yaitu kejujuran. Wartawan bisa saja salah tapi tidak boleh bohong. Hal tersebut sesuai Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yaitu wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Bila membandingkan dengan media sosial, tentu tidak bisa kita jadikan informasi di berbagai platform tersebut sebagai sesuatu yang benar. Wartawan harus selalu memperlakukan fakta secara objektif, bukan berdasarkan bisik-bisik, isu, ataupun informasi yang tidak jelas sumbernya. Itu sebabnya ketika melakukan penggalian informasi kepada narasumber, faktor kredibilitas dan kapabilitas  mutlak diperlukan. Hal ini untuk menghindari informasi yang sumir mengingat narasumber terkadang hanya menjadi orang kedua saja.

Masa kini media sosial memang tak bisa dihindari. Itu sebabnya butuh kecermatan menggali informasi dari situ. Menjadikan informasi itu sebagai latar belakang atau langkah awal bisa saja dilakukan. Tahap selanjutnya adalah mendalami lagi informasi tersebut dengan kaidah-kaidah jurnalistik sebelum ditampilkan sebagai berita. Di sinilah tantangan insan pers yang harus menghindari pembuatan berita multitafsir. Berita yang baik adalah berita yang tidak menimbulkan bermacam-macam persepsi dari pembaca. Dengan kata lain, berita haruslah langsung bisa dipahami makna dan substansinya.

Keselarasan

Itu sebabnya dalam penulisan berita harus dihindari penggunaan judul yang bombastis dan sarkastis. Hal ini terkadang terjadi di pemberitaan sejumlah media siber. Persoalan substansi terkadang dikeluhkan pembaca. Mereka seperti dijebak dengan pola pemberitaan karena judul dan isi berita tidak selaras. Inilah yang kita kenal sebagai clickbait.

Yayat D Hadiyat dalam Jurnal Pekommas, Vol. 4 No. 1, April 2019: 1-10 dalam artikel berjudul Clickbait di Media Online Indonesia (Clickbait on Indonesia Online Media) menuturkan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membawa perubahan di berbagai bidang termasuk memengaruhi lanskap media dengan berkembangnya media online dan cara masyarakat mengonsumsi media secara online. Perubahan ini membuat media harus mampu menarik pembaca media online dengan salah satu cara, yaitu penggunaan judul artikel clickbait.

Apa yang dikatakan Yayat tersebut memang menemui pembenaran, karena pola pembaca sudah berubah dari sebelumnya melahap media konvensional seperti koran, tabloid, atau majalah, kini lebih sering mengakses media-media daring. Lewat gawai di tangan dunia sudah seperti dalam genggaman.

Yayat juga mengutip data Serikat Perusahaan Pers (SPS) menunjukkan bahwa terjadi penurunan oplah media cetak sebanyak 5 juta eksemplar dalam lima tahun terakhir. Pada 2013 oplah media cetak sebanyak 22,4 juta eksemplar dan turun menjadi 17,2 juta pada 2017. Selain itu, pada kurun waktu yang sama oplah koran/surat kabar juga mengalami penurunan dari 9,6 juta eksemplar menjadi 7,1 juta eksemplar (Media Direktori 2017 SPS Pusat). 

Berdasarkan pendataan Serikat Perusahaan Pers (SPS) penurunan jumlah media cetak mulai terjadi sejak 2012. Penurunan tajam jumlah media cetak terasa pada tahun 2015 yang menjadi 1.218, dari 1.321 di 2014. Dua tahun berikutnya penurunannya lebih drastis, yaitu menjadi 810 di 2016 dan 793 di 2017. Penurunan ini terjadi di segala jenis media.

Salah satu peluang terjadinya clickbait adalah verifikasi bisa dilakukan belakangan ketika informasi yang akan disuguhkan menyangkut kepentingan publik yang mendesak. Pola seperti inilah yang akan mengikat pembaca, sehingga ia akan mengklik informasi tersebut. Klik pembaca pada tautan sebuah informasi atau berita akan berdampak pada jumlah pengakses. Ujung-ujungnya semakin banyak yang mengakses berpotensi mendatangkan pemasukan bagi media yang bersangkutan.

Ketua Dewan Pers 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47 ribu media dan media daring 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Kemudian sekitar 2.000 sampai 3.000 merupakan media cetak dan sisanya radio dan televisi. (Medcom.id 8 Februari 2020)

Dari jumlah yang luar biasa tersebut, tentu timbul pertanyaan, bagaimana kondisi wartawannya? Sanggupkah media tempat mereka bergabung memberikan kesejahteraan yang layak? Bukan cerita baru lagi di kalangan masyarakat ada yang dikenal sebagai 'wartawan bodrek', sebuah istilah untuk menyebutkan mereka hanya berorientasi 'memeras' narasumber untuk mendapatkan uang. Wartawan jenis ini memang menjadi nila setitik rusak susu sebelanga. Karena ulah mereka membuat banyak wartawan mendapat label serupa. 

Peran PWI

Di sinilah kehadiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dalam menggelar uji kompetensi wartawan (UKW) mengurangi keberadaan mereka. Bukan persoalan independensi media saja yang jadi perhatian, tapi lebih kepada bagaimana memberikan jalan kepada perusahaan-perusahaan media untuk mempekerjakan wartawan-wartawan kompeten. Begitu juga dengan narasumber untuk tidak perlu takut terhadap tingkah polah mereka yang terkadang tak kenal etika.

Menyangkut independensi media bukanlah hal mudah dilakukan seperti menancapkan tiang ke dalam tanah. Tegak lurus. Bahwa independen merupakan salah satu nafas media massa merupakan sesuatu yang tak bisa dibantah. Ketidakberpihakan jelas diatur dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik bahwa Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Hanya saja ketika setiap orang punya kebebasan untuk membuat penerbitan pers, tentulah hal ini juga harus diperhitungkan. Mendirikan penerbitan pers tidak semata-mata 'berjualan berita' saja karena ada sejumlah faktor ekonomi yang perlu dipertimbangkan. Di dalamnya ada banyak pekerja yang tentu saja harus diberi upah, membayar listik dan telepon, perawatan kantor, dan sebagainya. 

Bila hanya mengacu pada 'jualan berita' saja, jelas hal ini tidak akan mencukupi. Tentu harus diselaraskan dengan penjualan halaman untuk iklan. Keberpihakan merupakan sebuah keniscayaan dan sulit untuk dihindari. Yang terpenting, apapun yang dilakukan semua harus berdasarkan fakta yang benar dan tidak meruntuhkan ideologi sebuah penerbitan pers.

Bagi kalangan insan wartawan yang 9 Februari merayakan Hari Pers Nasional (HPN), jadikan momentum tersebut sebagai kilas balik bagi dunia pers di Indonesia. Pers bukanlah katak di dalam tempurung. Pers juga bukan robot yang tidak bisa berubah dalam mengantisipasi perkembangan global. Peran media adalah to inform, to educate dan to influence. Wujudkan tiga hal itu lewat langkah nyata dan terencana. HPN bukan sekadar ajang seremonial belaka. Di luar tantangan berat sudah menunggu sehingga butuh kekuatan agar tidak tersingkir. Pilih diam tapi tergilas jaman, atau bersahabat dengan perubahan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik