Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Natal dan Politik Solidaritas

Otto Gusti Ketua STFK Ledalero, Maumere, Flores, Dosen Filsafat dan Alumnus Program Doktoral dari Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman
24/12/2020 05:50
Natal dan Politik Solidaritas
(Otto Gusti Ketua STFK Ledalero, Maumere, Flores, Dosen Filsafat dan Alumnus Program Doktoral dari Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman)

TEMA pesan Natal bersama Persatuan Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) 2020 ialah Mereka akan menamakan-Nya Immanuel (Mat 1:23). Immanuel
artinya Allah hadir bersama kita. Ia mengambil bagian dalam perjalanan sejarah umat manusia, termasuk sejarah kelam penderitaan. Itulah pesan esensial Natal.

Namun, bagaimana kehadiran Allah yang membebaskan itu dapat dimaknai di tengah kondisi pandemi covid-19 yang telah mengantar jutaan umat manusia menjemput ajalnya? Pandemi menyadarkan umat manusia akan kesetaraan radikal sebagai makhluk yang rentan. Kesadaran bahwa manusia terbentuk dari materi yang sama dan rentan. Kerentanan dan kerapuhan ini hendaknya memberikan imperatif etis kepada setiap manusia untuk menyapa sesamanya sebagai saudara dan saudari terlepas dari perbedaan agama, ras, suku, budaya, status sosial, dan bangsa.

Kemanusiaan yang rentan itu menjadi basis persaudaraan dan solidaritas antarumat manusia. Persaudaraan tersebut mendesak setiap orang untuk bersikap peduli terhadap yang lain terutama yang menderita lewat imajinasi, kreativitas, dedikasi, dan sikap dermawan. Sikap peduli dan solidaritas berawal dengan mengakui dan menerima kodrat kerentanan bersama.

Natal di tengah pandemi hendaknya menginspirasi kita untuk menjadi sakramen atau tanda kelihatan dari kehadiran Allah yang tak kelihatan di tengah dunia yang sedang dilanda ‘globalisasi ketakpedulian’. Di tengah dunia seperti ini, Natal mendorong kita untuk menghidupi budaya bela rasa (compassion) dan belas kasih (mercy).

Sikap bela rasa dan belas kasih yang autentik ditunjukkan Allah sendiri dalam peristiwa Natal. Sebab dalam peristiwa Natal, Allah meninggalkan singgasana kekuasaan dan menunjukkan solidaritas-Nya yang radikal kepada manusia dengan mengambil bagian dalam ziarah hidup manusia.

Pengosongan diri


Spiritualitas Natal dinamakan juga sebagai sebuah spiritualitas pengosongan diri (self-emptying). Rasul Paulus melukiskannya secara tepat, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi, 2:5-8).”

Seruan Rasul Paulus ini telah dihidupi dalam sejarah oleh para pejuang kemanusiaan seperti Dalai Lama, Nelson Mandela, atau Dorothy Day. Mereka telah menunjukkan bahwa Tuhan tidak dijumpai dalam jiwa dengan cara mengakumulasi kekuasaan atau kekayaan, tetapi lewat proses pengosongan diri.

 Spiritualitas pengosongan diriialah kritik terhadap budaya konsumeristik dan paradigma beragamakapitalistik. Agama kapitalistik adalahagama yang berhitung-hitungan dengan Tuhan, mengakumulasikekuasaan dan penjelasan serta hanyamemproduksi perilaku moralserta polisi moral. Kapitalismeagama tidak menambah kemuliaanTuhan, tapi memberikan kepuasannarsistik bagi nafsu ego. Ia tidakmendatangkan kebahagiaan bagisesama, tapi sebaliknya menginstrumentalisasisesama manusia untukkebesaran ego.

Natal mengajak kita untuk beralih dari agama kapitalistik menuju semangat pengosongan diri. Agama sebagai pengosongan diri membawa pesan liberatif bagi umat manusia. Ia membebaskan manusia dari egoisme sempit. Spiritualitas pengosongan diri membawa revolusi kultural dari budaya komoditas menuju budaya personal.

Spiritualitas pengosongan diri juga membawa pembebasan dogmatis dari kepastian dan kesadaran palsu yang menghalangi manusia untuk bertemu dengan dirinya sendiri. Diri yang autentik akan membuka diri kepada Tuhan sebagai misteri abadi yang menolak dibakukan dalam dogma mati dan cinta yang liberatif sekaligus.


Politik solidaritas


Pesan Natal sebagai pengosongan diri hanya bermakna jika dihayati dalam hidup sehari-hari. Dalam konteks hidup berbangsa, spritualitas pengosongan diri dapat diwujudkan lewat politik solidaritas. Ada dua hal yang perlu kita lakukan sebagai bangsa; pertama, di tengah situasi pandemi, solidaritas dapat dihidupi lewat penghargaan terhadap pekerjaan.

Pandemi mengajarkan kita untuk mengapresiasi para pekerja yang dianggap tidak terampil dan karena itu, dibayar murah. Inilah momen pembaruan untuk mengevaluasi kembali martabat kerja. Pandemi ini menyadarkan kita bahwa hidup kita sangat bergantung pada pakerja murah seperti perawat, sopir truk, pekerja taman, para pelayan di supermarket,
dan pembantu rumah tangga.

Untuk itu, diperlukan reorientasi dalam memberi bobot pada per kerjaan (Michael Sandel, 2020). Setiap jenis pekerjaan harus mampu menjamin hidup manusia yang bermartabat dan mendapatkan pengakuan secara sosial. Hal itu dapat dijalankan lewat penerapan sistem universal basic income. Sistem ini merupakan basis material dan sumber bagi terciptanya ikatan sosial dan solidaritas. Penilaian dan pemberian bobot pada model-model pendapatan perlu ditinjau kembali. Tarif pajak atas kerja harus diturunkan, sementara pajak atas pasar uang harus dinaikkan.

Kedua, spiritualitas pengosongan diri harus menisbikan posisi individu atau ego dalam masyarakat yang telah berdampak pada kebijakan yang menciptakan ketimpangan sosial dan kerusakan ekologis. Dalam masyarakat yang individualistis, bukan kelompok atau komunitas (Gemeinschaften) menghasilkan sesuatu, melainkan individu. Individu selalu diberi ruang untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan untuk prestasinya itu, ia mendapatkan imbalan secukupnya.

Paradigma berpikir seperti ini membahayakan semua jenis ikatan sosial. Pandangan tentang prestasi tanpa batas dari individu mengabaikan sumber daya sosial yang menghidupi individu tersebut. Kreativitas dan terobosan alternatif di bidang politik, ekonomi, dan budaya sangat dibutuhkan guna melawan hegemoni individu.

Sebagai sebuah bangsa kita perlu memperkuat kesadaran kolektif, sebuah perasaan yang mewajibkan diri untuk bertanggung jawab terhadap satu sama lain sebagai warga negara. Kesadaran kolektif ini memperkukuh solidaritas yang membuat kita merasa berada ‘di atas perahu yang sama’ di tengah empasan pandemi ini. Semoga pesan Natal mendorong kita untuk beralih dari agama individualistis-kapitalistik menuju spiritualitas pengosongan diri sebagai basis kehidupan bersama.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya