Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Potensi Teror Di Era Pandemi Covid-19

Albert Barita Sihombing, Mahasiswa Doktoral Ilmu Kepolisian di PTIK Lemdiklat Polri
10/11/2020 19:31
Potensi Teror Di Era Pandemi Covid-19
Albert Barita M Sihombing(Dok pribadi)

ANARKISME menjadi catatan kelam sejarah demonstrasi omnibus law Cipta Kerja. Ada cipta hoaks di dunia maya dan cipta kondisi di dunia nyata. Keduanya berjalan beriringan mencari isu untuk rusuh. "Kalau rekan-rekan ada yang ingin membaca WA-nya... Ngeri," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono, Selasa (13/10). Komentar ini terkait penangkapan petinggi dan anggota Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang modus operandinya memanfaatkan komunikasi via handphone.

Miris. Telepon seluler yang seharusnya jadi mata air kehidupan dengan merebaknya bisnis daring malah menjadi air mata kesedihan dengan merebaknya hoaks. Jadi teringat, dulu telepon seluler tidak boleh ada atau dibawa di sekolah. Sekarang giliran guru dan murid yang tidak boleh ada di sekolah karena kegiatan belajar harus daring. Alhasil, telepon seluler kini krusial kedudukan karena sangat dibutuhkan. Pandemi covid-19 telah mengubah pola hidup ke kenormalan baru. Kata work from home dan stay at home sudah tidak asing lagi. Mesin pencari Google dan media-media sosial sudah menjadi pihak yang paling berpengaruh memberi pengertian dan yang menghadirkan dunia di tangan Anda. 

Saat dunia di tangan Anda, adakah kontrol? Kontrol dalam bentuk blokir situs terlarang oleh pemerintah sering dilakukan namun yang terjadi kemudian bermunculan tutorial cara akses situs yang dilarang, baik karena berkonten porno maupun hoaks. Semakin kreatif semakin merdeka dan ada kebebasan yang sebebas-bebasnya di rimba internet. Adagium yang muncul dalam konteks ini ialah siapa kuat, jadi penguasa.

Ironis, saat anak-anak belajar di internet, saat yang bersamaan juga mereka terhantar ke rimba pesona penyimpangan. Secara teori penyimpangan itu bisa dicegah. Salah satu caranya adalah mengaktifkan faktor kontrol melalui peran sosial sekolah atau lembaga keagamaan dalam mengakomodir comformity atau mengefektifkan berlakunya nilai dan norma untuk dilakukan anggotanya. Sehingga potensi penyimpangan dapat diminimalkan. 

Hanya saja masalahnya adalah stay at home. Ada pembatasan peran guru dan pemuka agama untuk menghadirkan ritual keakraban langsung secara fisik untuk silih asih dan asuh melibatkan indra perasa (kulit), indra pengecap (lidah) dan indra pencium (hidung) yang kehadirannya mustahil ada di internet.
 
Alhasil lemahnya kontrol akan berbanding terbalik dengan potensi/meningkatnya penyimpangan dalam bentuk kejahatan. Anarkisme demo omnibus law Cipta Kerja dapat dijadikan pelajaran lemahnya kontrol di dunia maya. Lalu, bagaimana halnya dengan potensi teror dalam era kenormalan baru ini?

Potensi teror 
Secara teori terdapat segitiga faktor penyebab terorisme. Sisi pertama adalah dissapointed person atau orang yang kecewa. Kecewa karena apa yang diharap tidak sesuai kenyataan baik di bidang ekonomi, politik maupun ideologi, sehingga ada perasaan ketidakadilan yang diperparah berita hoaks. Isu ketidakadilan ini gampang digoreng dan meluas di media sosial. Kasus Ciracas atau lontaran sentimen bernuansa SARA oleh Veronica Koman misalnya, dapat dijadikan contoh faktual mudahnya isu ketidakadilan diprovokasi untuk menyulut tindakan anarkis.

Sisi kedua adalah ideologi radikal. Aksi pelarangan ibadah baru-baru ini di Cikarang dapat dijadikan contoh radikalisme ideologi berbalut akidah agama. Adalah dosa besar jika tidak berunjuk sikap. Ironisnya kaum inteloran ini seakan difasilitasi oleh penafsiran tendensius terhadap Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri soal pendirian rumah ibadah. 

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BPNPT) mengkategorikan radikalisme di Indonesia dalam lima tipologi; pertama radikal gagasan. Narasi radikal dalam wujud gagasan kekhalifahan/formalisasi syariah misalnya, masih didengungkan simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) di beberapa media sosial Tanah Air, dan mudah dijumpai sebagai tafsir yang juga bagian dari kebebasan berpendapat di kampus-kampus. 

Kedua, radikal vandalisme. Catatan berita-berita aksi persekusi kaum intoleran terhadap minoritas demi penegakan akidah keagamaan tertentu dapat dijadikan fakta, bahwa paham radikal vandalisme masih tumbuh subur.

Kedua paham tersebut di atas, jika tidak dikontrol akan memicu tipologi ketiga, yaitu radikal milisi sebagai ajakan untuk merapatkan kekuatan melawan ketidakadilan dalam wujud kesatuan aksi semisal laskar jihad atau laskar mujahidin. Militansi terbentuk melalui kegiatan politisasi agama. Para ideolog dilatih kemahiran bersilat lidah dan berpidato saat dakwah.
 
Keempat adalah tipologi radikal separatis. Sikap radikal akan menjadi semakin ekstrim saat konflik terjadi karena ada alasan untuk mempersenjatai diri dan masuk ke kancah perang demi memperjuangkan separatisme. Ironisnya, banyak narasi-narasi separatisme sebagai bagian kebebasan berpendapat masih bergaung di kampus-kampus dan internet yang diinisiasi simpatisan DI/TII atau NII. Walau belum mengarah kepada tindakan, namun seakan menjadi persiapan aksi jangka panjang yang mendorong tumbuhnya aksi teror.

Tipologi kelima adalah radikal teroris sebagai puncak radikalisme. Fanatik rela berkorban demi paham yang dijunjung yang memandang aksi bom bunuh diri dan bentuk kekerasan lainnya sebagai puncak perjuangan atau ibadah.

Sisi ketiga adalah kelompok pendana. Kelompok ini merekrut dissapointed person dan menumbuh kembangkan radikalisme melalui gerakan terselubung. Lontaran isu kemanusiaan berujung penggalangan dana perlu diwaspadai, demikian halnya dengan penggorengan isu anti PKI dan anti pemurtadan yang ujung-ujungnya mempertebal rasa kebencian akibat ketidakadilan. Mudah ditebak, penggalangan masa untuk memberontak. Puncaknya aksi teror baik secara kelompok maupun perorangan (lonely wolf).

Dari fakta-fakta di atas jelas bahwa penyimpangan dalam wujud aksi teror sangat potensional terjadi di era kenormalan baru. Sekarang ini saja sudah terdeteksi propaganda corona virus is a soldier of Allah. Propaganda virus korona sebagai prajurit Allah jelas menggiring opini publik bahwa pemerintahan yang gagal melawan virus adalah pemerintahan yang tidak diridhoi Allah.

Solusi
Semakin giat masyarakat terkonsentrasi di dunia maya, seyogyanya kontrol pun semakin meningkat. Ini adalah kunci untuk menjauhkan penyimpangan. Caranya; pertama, tingkatkan kontrol media dari berita-berita yang menyulut rasa ketidakadilan yang dapat menumbuhkembangkan radikalisme.  

Berikan penjelasan yang komprehensif kepada para editor media agar mampu menghadirkan narasi/berita yang lebih objektif. Hal itu perlu dilakukan ketimbang terjebak mengeksploitasi bad news is a good news. Kucurkan subsidi yang besar bagi tumbuh dan berkembangnya TV edukasi. Publik perlu dicerdaskan bukan dipuaskan dengan gosip. 

Kedua, tingkatkan kontrol dalam bentuk penegakkan hukum. Kecepatan dan kepastian penindakan hukum bagi pelanggar sangat dibutuhkan untuk membentuk efek jera. Penghapusan organisasi terlarang harus disertai tindakan nyata bagi yang melanggar secara berjamaah. Negara tidak boleh kalah oleh tekanan kelompok massa. Terapkan sertifikasi pendakwah agar tidak terjadi kesimpangsiuran persepsi yang kontraproduktif. 

Beri penghargaan bahkan perlindungan bagi pegiat medsos, yang melalui tulisan dan program-programnya memberi sumbangsih penerapan nilai dan norma kehidupan yang bertanggung jawab dalam mengeliminir intoleransi dan radikalisme. Mari kita bongkar hoaks dan ajaran menyimpang. Gunakan akal sehat agar negara selamat.
  
Ketiga, tingkatkan kontrol terhadap keberadaan organisasi pengumpul dan penyalur dana. Awasi transaksi keuangannya serta antisipasi konektivitasnya dengan tata kelola limbah dan barang-barang berbahaya alias antisipasi penggunaan CBRNE (Chemical, Biological, Radiological, Nuclear and Explosive) termasuk pemanfaatan internet untuk tujuan terorisme.

Akhir kata sebagai kontrol sosial, berikanlah kepada negara apa yang wajib diberikan kepada negara. Berikanlah kepada Allah apa yang wajib diberikan kepada Allah. Masyarakat harus mampu membedakan. Ini adalah kunci. Diperlukan kearifan untuk tidak terjebak bahwa beda pendapat adalah permusuhan. Mari terima perbedaan sebagai pelangi bukan perang. Budaya diskusi harus diterapkan secara dini agar anak bangsa terhindar dari hoaks.

Potensi teror tetap mengintai dengan memanfaatkan kekecewaan dan kebencian, terlebih saat ekonomi sulit plus harapan yang belum pasti terkait masih hadirnya covid-19. Kegelisahan yang terjadi jangan sampai dijadikan landasan berpikir para calon martir pelaku teror, yang kukuh memercayai hoaks karena mereka terlanjur sayang/menginginkan apa yang diyakini sebelumnya sebagai kebenaran. Mari berkehidupan sosial secara bertanggung jawab. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya