DI tengah pandemi covid-19 yang sedang melanda dunia, semangat tranformasi pendidikan muncul guna mengatasi ketimpangan pendidikan di Indonesia.
Mengapa demikian? Pertama, proporsi remaja dan dewasa usia 15-24 tahun, dengan keterampilan teknologi informasi dan komputer menurut BPS 2019, sudah mencapai 83,58 %. Kedua, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui survei APJII, persebaran penggunaan internet di wilayah Indonesia sudah cukup meningkat.
Berdasarkan survei tersebut, penggunaan internet di Sumatera sebesar 36,9 juta jiwa, di Jawa 95,3 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 8,9 juta. Kemudian Kalimantan berjumlah 11,2 juta jiwa serta Sulawesi, Maluku dan Papua sebanyak 18,6 juta jiwa.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) rasio guru yang ideal pada jenjang SMA 1:20. Artinya, 1 guru idealnya mendidik 20 siswa. Ketersediaan guru cenderung tidak merata, karena hanya berfokus di daerah/kota besar saja. Misalnya di Papua, jumlah guru yang tersedia hanya sebanyak 3.601 untuk jenjang SMA dan jumlah siswa sebanyak 51.905 orang.
Hal ini masih diperparah dengan ketersediaan infrastruktur sekolah yang masih sangat minim. Jika kita melihat data jumlah sekolah yang ada di Indonesia, ada kecenderungan semakin tinggi jenjang pendidikannya semakin sedikit jumlah institusinya. Sehingga menimbulkan pertanyaan, ke mana siswa tersebut melanjutkan pendidikannya?
Ketersediaan guru merupakan aspek penting untuk keberlangsungan pendidikan. Tanpa guru, kelas tidak akan berjalan. Menyadari hal itu, tidak semua guru bersedia untuk mengajar di pelosok negeri. Berbagai faktor mungkin menjadi pertimbangannya.
Memang banyak program yang digagas oleh pemerintah maupun dari masyarakat untuk mengatasi kekurangan guru di pelosok. Misalnya program Guru Penggerak Daerah Terpencil yang dilakukan oleh Gugus Tugas Papua. Akan tetapi, jumlahnya masih sangat terbatas dan masa tugas sangat singkat. Sehingga proses keberlanjutan pendidikan siswanya menjadi tidak maksimal
Problem geografis
Ketimpangan pendidikan ini diperparah dengan bentuk geografis negara kita. Tidak semua wilayah Indonesia nyaman dan bersahabat bagi pelajar untuk bersekolah. Apalagi, Indonesia secara geografis bentuk kepulauan dan cenderung terisolasi. Bukan hanya itu, masih banyak desa terpencil yang minim akses untuk menjangkau sarana pendidikan di sana.
Kondisi geografis ini memang menjadi tantangan bagi pembangunan pendidikan. Kita membutuhkan perhatian pemerataan dalam berbagai aspek agar dapat memajukan pendidikan. Kondisi ketimpangan ini memang sudah menjadi perhatian pemerintahan Presiden Jokowi. Di era ini pembangunan infrastruktur menjadi target utama.
Menurut laporan 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK saja, dana pembangunan cukup besar terbagi ke dalam beberapa pulau. Misalnya, di Papua dan Maluku sebesar Rp464 triliun terdapat 12 proyek, kemudian di Sulawesi Rp308,3 triliun sebanyak 27 proyek, sedangkan di Bali dan Nusa Tenggara sebesar Rp9,4 triliun dengan 13 proyek. Kemudian untuk Sumatera sebesar Rp545,8 triliun dengan jumlah proyek 53. Terakhir, di Pulau Jawa sebesar Rp995,9 triliun dengan 89 proyek.
Transformasi sistem pendidikan
Dengan kemajuan yang sudah kita rasakan, serta jumlah rasio remaja yang melek teknologi tersebar di pelosok negeri sudah cukup banyak, kita perlu melakukan transformasi sistem pendidikan. Hal ini untuk dilakukan pemerataan pendidikan dengan menjadikan pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagai model pembelajaran permanen untuk diterapkan ke pelosok negeri.
Belajar dari India, meski merupakan negara berpendapatan sedang-rendah (middle-low income) berdasarkan data yang dirilis oleh World Bank Juni 2020, akan tetapi secara kualitas pendidikan jauh di atas Indonesia. Hal ini terbukti berdasarkan ranking universitas dunia menurut webometrics.
India telah menerapkan model pembelajaran distance learning yang mampu dijangkau pelosok negeri bahkan dunia. Dengan metode ini, maka biaya operasional pendidikan mampu ditekan sangat minim. Sehingga tidak heran di sana biaya pendidikan sangat murah tetapi berkualitas. Berbeda di Indonesia, saat ini hanya Universitas Terbuka yang diakui program pendidikan jarak jauhnya.
Keadilan sosial
Dengan menerapkan sistem metode PJJ ini, diharapkan mampu menjangkau pendidikan hingga ke pelosok negeri. Pemerintah tidak perlu membangun gedung pendidikan. Tidak perlu pusing untuk memikirkan guru yang harus mengajar di daerah terpencil. Cukup jaringan internet yang dikembangkan. Maka pendidikan menjadi sangat ramah untuk masyarakat kita. Dengan demikian seluruh warga masyarakat mendapatkan hak untuk menikmati pendidikan mesti tidak semaksimal tatap muka langsung.
Pemerintah sendiri sudah memberikan gebrakan yang baik dengan membuat program prakerja yang memberikan pelatihan berbasiskan daring. Setidaknya, kualitas diri menjadi lebih baik. Mengapa kita tidak mencoba?