Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
DUNIA sedang berlomba dengan waktu untuk mengatasi pandemi covid-19, tidak terkecuali Indonesia. Banyak penelitian dilakukan untuk menemukan obat dan vaksin untuk mengatasi virus tersebut. Klaim penemuan obat bahkan sudah dilakukan oleh beberapa pihak, walaupun tanpa prosedur penelitian yang benar.
Padahal, untuk menentukan suatu obat efektif atau tidak, harus melalui penelitian yang benar termasuk secara metodologi. Dalam dunia penelitian pengobatan, metode standar yang digunakan untuk menguji efektivitas suatu obat dikenal dengan istilah randomized controlled trial (RCT). Metode ini menekankan randomisasi dalam menguji efektivitas suatu treatment atau perlakuan, termasuk treatment dengan menggunakan obat covid-19. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini juga mengkritisi ketiadaan randomisasi dalam uji klinik obat covid-19 yang dilakukan Universitas Airlangga bersama TNI AD dan Badan Intelijen Negara.
Apa dan mengapa randomisasi
Randomisasi yang umumnya diketahui dalam penelitian adalah random sampling, atau pengambilan sampel secara acak untuk merepresentasikan populasi yang diteliti. Sedangkan randomisasi dalam penelitian untuk menentukan apakah suatu treatment atau intervensi efektif atau tidak, masih kurang diketahui secara umum.
Sebagaimana namanya, metode RCT menempatkan secara acak sekelompok orang untuk mendapatkan treatment atau perlakuan, dan sejumlah orang lainnya sebagai kontrol yang tidak mendapatkan treatment. Teorinya sederhana, penempatan secara acak atau randomisasi ini membuat kelompok treatment dan kontrol menjadi sama secara karakteristik. Kesamaan ini membuat perbandingan antara kedua kelompok tersebut menjadi perbandingan apple to apple.
Dalam penelitian, hal ini sangat penting untuk menghilangkan bias yang ditimbulkan dari seleksi subyek penelitian. Jika tidak diatasi, bias ini memberikan hasil penelitian yang tidak valid. Dalam penelitian pengobatan, hasil penelitian yang tidak valid akan sangat membahayakan. Bukan hanya biaya, nyawapun bisa melayang sebagai akibatnya.
Sebagai gambaran, misalkan saja suatu penelitian dilakukan untuk menguji keampuhan atau efektivitas obat A untuk mengobati covid-19. Penelitian dilakukan tanpa penempatan secara acak subyek penelitian yang akan diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mendapatkan obat A sembuh setelah lima hari mengonsumsi obat, sedangkan yang tidak mendapatkan obat A tidak sembuh. Hasil penelitian ini tidak bisa dikatakan valid, karena kemungkinan bias seleksi (selection bias) akibat tidak dilakukannya randomisasi.
Misalnya, kelompok orang yang mendapatkan obat A dan sembuh ternyata secara rata-rata mempunyai tingkat keparahan yang lebih ringan dibandingkan yang tidak mendapatkan obat. Atau bisa saja kelompok tersebut umumnya lebih muda secara usia dan mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik. Jika hal-hal seperti ini tidak diperhatikan, penelitian dapat menghasilkan kesimpulan yang salah. Randomisasi dalam metode RCT dilakukan untuk mengatasi hal ini.
Randomisasi dalam penelitian sosial
Metode RCT saat ini tidak saja digunakan dalam penelitian pengobatan, tapi juga dalam penelitian sosial-ekonomi. Metode ini bahkan disebutkan sebagai golden standard dalam penelitian dan evaluasi efektivitas suatu program atau kebijakan. Oleh karena itu, metode ini sering digunakan untuk menentukan program atau kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy).
Penerima hadiah Nobel di bidang ekonomi 2019, Esther Dulfo, Abhijit Banarjee dan Michael Kremer kerap melakukan penelitian dengan menggunakan metode RCT untuk menguji efektivitas program atau kebijakan sosial-ekonomi tertentu dalam mengatasi isu-isu kemiskinan di berbagai negara.
Di Amerika, banyak program dan kebijakan yang dilakukan setelah mendapatkan hasil penelitian dengan metode RCT. Salah satunya adalah program pra-sekolah yang disebut dengan Head Start, yang ditujukan bagi puluhan juta anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Program ini dijalankan sejak 1965, dengan merujuk pada hasil penelitian dengan metode RCT terhadap 123 anak pra-sekolah di Michigan pada 1962.
Contoh lain dari penelitian dengan metode RCT sebagai dasar pembuatan kebijakan, adalah penelitian untuk melihat efektivitas dari kelas dengan jumlah siswa yang lebih sedikit di sekolah dasar. Kebijakan untuk mewajibkan kelas dengan jumlah siswa yang lebih sedikit tentu akan berimplikasi pada meningkatnya pembiayaan pendidikan. Untuk itu, kebijakan seperti ini harus didasarkan pada hasil penelitian yang valid.
Pemerintah negara bagian Tennessee bahkan pernah menggelontorkan anggaran sebesar US$12 juta untuk mendanai penelitian ini yang melibatkan ribuan siswa. Pada 2002, pemerintah federal Amerika Serikat mengeluarkan Undang-Undang Reformasi Ilmu Pendidikan yang mewajibkan penggunaan metode seperti RCT atau sejenisnya dalam penelitian di bidang pendidikan, bilamana penelitian dilakukan dengan pembiayaan dari pemerintah federal.
Pentingnya validitas penelitian
Kembali ke soal uji klinik obat covid-19, penelitian terhadap efektivitas obat harus valid. Ketiadaan metode randomisasi dalam uji klinik obat covid-19 ini tentu mengurangi validitas penelitian. Dalam dunia pengobatan, keputusan untuk memberikan izin produksi obat yang efektivitasnya tidak didasarkan pada penelitian yang valid dapat berbahaya. Dalam hal ini, masukan kritis dari Badan POM kepada Universitas Airlangga sudah tepat.
Menghitung domba untuk tidur adalah praktik yang terkenal, tetapi apakah itu benar-benar membantu Anda tidur?
Dua studi yang dipimpin oleh Leonie Balter dari Universitas Stockholm menyoroti pentingnya tidur dalam memengaruhi seberapa tua atau muda seseorang merasa.
Survei Gallup dan Walton Family Foundation menemukan kebahagiaan generasi Z menurun ketika memasuki usia dewasa.
Studi baru menunjukkan peningkatan signifikan dalam komplikasi penyakit terkait alkohol di kalangan perempuan paruh baya selama periode pandemi covid-19.
Studi menunjukkan suhu yang tinggi dapat mengganggu proses tidur, terutama bagi individu yang rentan terhadap insomnia.
Sebuah penelitian terbaru menunjukkan pembatasan kalori dan puasa intermiten dapat memperpanjang umur hewan, tetapi apakah hal ini berlaku juga untuk manusia?
Studi klinis yang diterbitkan dalam jurnal New England Journal of Medicine menemukan obat diabetes mampu melambatkan perkembangan masalah motorik terkait penyakit Parkinson.
Meskipun obat-obatan dapat menjadi solusi dalam pengelolaan kondisi tersebut, banyak orang mencari alternatif alami untuk mengontrol atau bahkan mengurangi risiko berbagai penyakit.
Salah satu saran, masyarakat juga perlu mewaspadai jika memperoleh skincare yang bertekstur terlalu kental atau lengket.
Penelitian terbaru menunjukkan obat untuk mengatasi diabetes dan obesitas, dapat meningkatkan risiko kelumpuhan lambung (gastroparesis).
Obat antinyeri seperti ibuprofen dan allopurinol adalah obat yang sangat merusak ginjal.
Pengidap migrain jangan mengonsumsi obat selama lebih dari 15 hari dalam sebulan karena bisa menyebabkan medication-overuse headache(MOH) atau sakit kepala akibat dosis obat berlebihan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved