Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Krisis Ekonomi dan Wakil Rakyat

IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem
03/9/2020 04:15
Krisis Ekonomi dan Wakil Rakyat
IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem(Medcom.id )

SECARA makro, pertumbuhan atau sebaliknya kontraksi akan menentukan apakah Indonesia akan selamat atau mengalami resesi ekonomi. Data terbaru, seperti diungkapkan Menteri Keuangan dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR-RI pada 1 September 2020, ekonomi Indonesia diprediksi akan bertumbuh sebesar -1,1% hingga 0,2%. Ini merupakan revisi dari sebelumnya yang mencapai -0,4% sampai 2,3% (Maret-April 2020).

Data lainnya, Asian Development Bank (ADB) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 dari 2,5% dan menjadi -1%. International Monetary Fund (IMF) mengubah proyeksi dari pertumbuhan sebesar 0,5% menjadi -0,3%. Bank Dunia merevisi pertumbuhan dari -3,5% sampai 2,1% pada 2020 menjadi 0%, sedangkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) merevisi dari 4,8% menjadi -3,9% hingga -28%.

Apa yang dialami Indonesia ini juga terjadi di hampir 90% sampai 95% negara di dunia sehingga secara keseluruhan, ekonomi dunia akan mengalami kontraksi -3% pada 2020. Penyebab utama dari penurunan proyeksi ini adalah belum pulihnya kondisi perekonomian global, regional, maupun dalam negeri karena wabah covid-19.

Di atas kertas, kontraksi ekonomi dinyatakan terjadi karena penurunan tingkat konsumsi rumah tangga yang diandaikan sebagai kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi. Masyarakat tidak bebas untuk beraktivitas di luar rumah karena pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sehingga aktivitas ekonomi melamban atau bahkan berhenti. Masyarakat cenderung membatasi pengeluaran dan fokus pada kesehatan, makanan, dan minuman.

Dua sektor utama lainnya yang berkontribusi besar, perdagangan dan manufaktur, juga mengalami perlambatan atau juga banyak yang berhenti sehingga daya serap tenaga kerja berpengaruh terhadap penghasilan dan konsumsi secara signifikan. Demikian pula dengan sektor transportasi dan pergudangan yang berkontraksi, bahkan mencapai 30,84%. Salah satu faktor yang bertumpuh positif adalah pertanian yang mencapai 2,19% serta sektor informasi dan komunikasi yang mencapai 10,88%.

Dalam situasi dan kondisi seperti ini bisa dikatakan telah di tingkat waspada atau lampu kuning, segenap pihak—penyelenggara negara, aparat sipil, militer, para pelaku ekonomi, dan masyarakat banyak—harus betul-betul kembali pada hakikat ketahanan ekonomi. Ini adalah saat keutuhan bangsa ini harus benar-benar disadari, bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelangsungan hidup seluruh warga negara tetap bisa dijamin secara layak.

Aktivitas ekonomi apa pun—oleh negara maupun swasta—harus dipastikan ke arah kemandirian ekonomi nasional. Ini adalah saat siapa pun juga yang peduli pada negeri ini mendukung supaya produk domestik bruto (PDB) kembali stabil. Belanja pemerintah, investasi, konsumsi swasta, dan selisih antara ekspor dan impor tak lagi boleh sembarangan atau ‘yang penting untung’ secara pribadi atau kelompok semata.

Tidak sendirian

Sebagai purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kini bekerja dalam sebuah partai politik, apa yang disampaikan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, satu setengah bulan lalu amat tepat. “Pak Jokowi, Anda tidak sendirian. Kami jelas akan perteguh sikap kami dan semangat ini. Tidak akan kami biarkan presiden bekerja sendirian.”

“Saya mengerti presiden sedang mengalami kesulitan. Semua negara sama. Berusaha untuk tetap survival. Tidak berlebihan apabila pak presiden berharap mampu menyatukan perasaan kita, termasuk elemen parpol (partai politik)....Hal itu dibutuhkan untuk mengeluarkan Indonesia dari ancaman resesi ekonomi yang terjadi akibat pandemi covid-19,” begitu kata Surya Paloh.

Pertanyaannya kemudian tentu saja adalah bagaimana setiap orang sampai kepada kesadaran bahwa negara ini sedang menghadapi krisis di tengah dunia yang juga diempas krisis sebab sense of crisis bukanlah sesuatu yang tiba-tiba saja jatuh dari langit. Dalam arus deras pasar bebas, para pelaku ekonomi mudah terjebak dalam egosentrisme, demokrasi liberal yang belum terkonsolidasi menjebak politisi dalam egosentrisme politik, lemahnya penegakan hukum mengalahkan akal sehat aparat sipil dan militer, dan perut yang lapar bisa membuat masyarakat melakukan amuk.

Dalam pandangan saya, sesuai dengan garis demokrasi, di garis depan ketahanan ekonomi mesti tegak para politisi yang mengurusi check and balances dalam roda pemerintahan negara ini. Tentu saja ini tidak untuk menafi kan peran penting penyelenggara pemerintahan yang lain.

Sebagai wakil rakyat, para legislator harus betul-betul menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan sebab ketiga fungsi yang mereka miliki adalah mata air kebijakan sekaligus rem yang mengendalikan apa pun yang dilakukan eksekutif. Keberadaan legislatif yang cerdas, kuat, dan peduli akan menentukan arah bangsa ini untuk terlepas dari jurang resesi.

Jika bertumbuh sense of crisis, selanjutnya, dengan seluruh kekuatan politik yang berada dalam pemerintahan, yang secara struktural juga berperan kuat dalam partai-partai yang mengusung mereka, akan terdapat suatu political will, kehendak politik secara luas yang berkebajikan. Bahkan, dengan berpikir lebih jauh bagi karier politik mereka—tentu saja jika bisa terbebas dari sikap oportunistis atau berpolitik sebagai semata-mata cara mendapat penghasilan sebanyak-banyaknya dan sekadar terpilih lagi—krisis saat ini adalah momentum untuk membuktikan diri di tengah masyarakat banyak.

Jika tak bisa seluruhnya, seandainya sebagian besar dari 575 anggota DPR-RI berusaha keras menguasai bidang kerjanya, memupuk keberanian, serta terus mengasah hati nurani, negara ini akan selamat. Paling kurang, hemat saya, lebih dari 60% saja yang memang betul-betul humanis dan nasionalis sudah lebih dari cukup.

Demikian pula, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD yang mencapai 19.817 kursi, meningkat dari sebelumnya 19.007 kursi, akan mampu berbuat lebih jika juga memilih untuk cerdas, berani, dan peduli. Apalagi jika para gubernur dan bupati/wali kota yang juga dipilihrakyat mampu berjalan seiring-sejalan dengan lembaga legislatif di wilayah mereka.

Di sinilah, bahwa setiap politisi harus tergugah untuk menjadi politisi yang negarawan, bukan politisi oportunistis yang cenderung menangguk di air keruh. Dalam situasi krisis ini kecerdasan emosi politisi mendapatkan ujian, apakah mereka betul-betul memiliki empati, keberdayaan mengendalikan hasrat pribadi, dan kemampuan untuk melihat dirinya sebagai bagian dari bangsa ini.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya