Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Kemerdekaan dan Reaktivasi Pancasila

Syaiful Arif Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
18/8/2020 03:05
Kemerdekaan dan Reaktivasi Pancasila
(Dok. Pribadi)

INDONESIA telah menapaki usia ke-75 tahun dalam kemerdekaannya. Sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta, bangsa kita telah terlepas dari penjajahan politik dan militer meskipun belum tentu terbebas dari penjajahan dalam bentuk lain.

Dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan, ada baiknya kita mengambil pelajaran dari perjuangan para pendiri bangsa yang berhasil mengantar kita ke alam merdeka. Di dalam pelajaran inilah kita akan mendapati fakta bahwa kemerdekaan bangsa merupakan satu tarikan napas dengan keberhasilan para pendiri bangsa dalam mendirikan negara nasional yang bersatu, berdasarkan Pancasila.

Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta merupakan rasa syukur atas keberhasilan pendirian negara. Prosesi pendirian negara ini dilakukan sejak terbentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) hingga sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Rentang waktunya terhitung 29 Mei-18 Agustus 1945.

Di dalam prosesi pendirian negara ini, mereka berhasil melakukan beberapa hal penting. Pertama, perumusan dasar negara Pancasila sejak sidang pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). Rapat Panitia Sembilan (22 Juni 1945), sidang kedua BPUPK (10-17 Juli), hingga sidang PPKI (18 Agustus 1945). Sehari sebelum sidang PPKI, proklamasi kemerdekaan dideklarasikan.

Semua proses itu dilakukan dalam keadaan darurat, di tengah pengawasan senjata tentara Jepang. Perumusan dasar negara pun sebenarnya menyimpang dari wewenang BPUPK, yang sejak awal hanya ditugasi merumuskan hal-hal teknis bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan konstitusi. Adalah Ketua BPUPK dr Radjiman Widiodiningrat yang mengajak anggota BPUPK untuk merumuskan terlebih dahulu dasar negara yang bersifat fi losofi s.

Meskipun awalnya tidak disetujui sebagian peserta sidang karena dianggap akan menciptakan debat filosofis berkepanjangan, sidang pertama BPUPK sepenuhnya diisi perdebatan panjang tentang dasar negara. Apakah dasar negara Indonesia berbasis Islam ataukah kebangsaan? Perdebatan ini belum mencapai titik temu sampai Bung Karno menyampaikan gagasan Pancasila, yang menjadi kalimat bersama (kalimatun sawa’) antara kelompok Islam dan nasionalis.

Mengapa ide Pancasila Bung Karno mampu menjadi titik temu? Karena ia menjadikan Ketuhanan YME sebagai bagian dari dasar negara.

Bagi kelompok Islam, ide tersebut melegakan karena ketuhanan menjadi bagian dari dasar negara. Bagi kelompok nasionalis juga melegakan karena ketuhanan yang termuat dalam Pancasila tidak mewakili doktrin keagamaan tertentu, tetapi prinsip umum ketuhanan semua agama.

Indonesia lalu menjadi negara ketuhanan, bukan negara agama atau negara sekular. Meskipun dalam proses perumusan selanjutnya ketuhanan lalu dinaikkan dari sila kelima pada ide Bung Karno 1 Juni menjadi sila pertama pada rumusan Piagam Jakarta, secara hakiki tidak terlalu berbeda. Bagi Bung Karno, ketuhanan merupakan akar bagi sila-sila di atasnya. Bagi Panitia Sembilan (yang diketuai Bung Karno), ketuhanan menjadi sebab utama (causa prima) bagi sila-sila di bawahnya.

Kedua, perumusan konstitusi bersendikan kedaulatan rakyat, perlindungan terhadap HAM, dan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip pokok UUD 1945 yang merupakan turunan nilai dari Pancasila. Hal ini juga tersusun melalui perdebatan panjang, khususnya antara kaum integralistik yang diwakili Mr Soepomo dengan penganjur kedaulatan rakyat yang diwakili Mohammad Hatta.

Bagi Soepomo, bangunan kenegaraan kita haruslah bersifat integralistik yang mengandaikan persatuan rakyat dan negara. Karena rakyat adalah negara dan negara adalah rakyat, perlindungan terhadap rakyat (HAM) menjadi tidak dibutuhkan.

Pandangan ini ditolak Bung Hatta yang mengedepankan demokrasi melalui pemisahan kekuasaan dengan rakyat. Karena kekuasaan berpotensi koruptif dan sewenangwenang, rakyat wajib dilindungi melalui UUD. Pandangan demokratik menang dan HAM lalu dijamin sepenuhnya oleh UUD.


Reaktivasi progresivitas

Oleh karena itu, proklamasi kemerdekaan adalah pula proklamasi tentang kemenangan visi progresif pendiri bangsa yang menjadi asas negara. Visi progresif itu secara sistematis dan koheren tersusun di dalam Pancasila yang memuat beberapa prinsip mendasar. Pertama, Indonesia ialah negara ketuhanan yang inklusif yang memaknai agama tidak sebatas ritus formalistis, melainkan profetik.

Di dalam visi profetik ini, Pancasila lalu memuat nilai transendensi, liberasi, dan transformasi. Bertuhan tidak terhenti di ruang ibadah, tetapi pengabdian kemanusiaan melalui partisipasi demokratik.

Kedua, Indonesia ialah negara persatuan yang memuarakan diri pada negara kesejahteraan. Inilah makna kemerdekaan sebagai ‘jembatan emas’ bagi kesejahteraan rakyat. Sebagaimana ditegaskan Soekarno dalam Mencapai Indonesia Merdeka (1933) bahwa sebagai jembatan, kemerdekaan tidak boleh mengantarkan rakyat pada penjajahan baru, penderitaan baru. Ia harus dibangun menjadi jembatan kesejahteraan rakyat, melalui sistem demokrasi yang tidak hanya memenuhi hak-hak politik, tetapi juga hak-hak ekonomi.

Ketiga, Indonesia merupakan negara yang didirikan sebagai perlawan an terhadap penjajahan, baik atas kolonialisme, kapitalisme, maupun imperialisme. Inilah yang menjadi sendi pokok pemikiran para pendiri negara. Dengan demikian, Pancasila juga merupakan dasar negara pascakolonial, yang mengarahkan kritiknya pada ketidakadilan. Inilah mengapa ujung Pancasila adalah keadilan sosial.

Berdasarkan progresivitas pendirian negara ini, Pancasila lalu merupakan ideologi progresif yang bersikap kritis terhadap ketidakadilan. Pancasila tidak sebatas dasar negara legalistik atau nilai-nilai kultural kepribadian bangsa yang normatif.

Kehendak pendiri negara untuk merdeka dari kolonialisme yang merupakan praksis dari kapitalisme telah menjadikan Pancasila, juga UUD 1945, sebagai asas-asas kenegaraan progresif. Progresivitas ini disusun berdasarkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Untuk itu, demi mengisi kemerdekaan RI yang telah berusia 75 tahun, sudah saatnya kita melakukan reaktivasi progresivitas Pancasila ini agar kehidupan bernegara tidak menyimpang dari visi-misi pendiriannya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya