Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Afghanistan, Perdamaian Setengah Hati

Darmansjah Djumala Diplomat senior yang bertugas di Vienna, Austria; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung
27/3/2020 07:57
Afghanistan, Perdamaian Setengah Hati
Darmansjah Djumala Diplomat senior yang bertugas di Vienna, Austria; Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadjaran, Bandung(Dok UNPAD)

UNTUK mengakhiri perang yang sudah berlangsung 19 tahun di Afghanistan, AS dan Taliban menandatangani kesepakatan damai pada 29 Februari di Doha, Qatar. Diteken oleh utusan AS Zalmay Khalilzad dan pemimpin Taliban, Mullah Abdul Ghani, kesepakatan itu memuat
komitmen untuk mengakhiri kekerasan, mengurangi pendudukan pasukan asing di Afghanistan, dan saling tukar tawanan perang.

Juga, disepakati membasmi terorisme dan negosiasi antarrakyat Afghanistan (intra-Afghan negotiations) untuk membicarakan masa depan Afghanistan. Dengan kesepakatan damai ini, banyak pihak melambungkan asa, semoga dalam waktu dekat rakyat Afghanistan terlepas dari nestapa perang tak terperi. Mungkinkah?

Menteri Pertahanan AS Mark Esper menilai pelaksanaan kesepakatan akan melalui jalan panjang berliku dan bergelombang--sebuah metafora keraguan. Firasat itu tak salah; baru tiga hari kesepakatan damai ditandatangani, kekerasan kembali terulang. Taliban menyerang 43 pos penjagaan pasukan pemerintah di Helmand dan Kunduz. Akibat dari peristiwa itu, 15 tentara pemerintah tewas. AS membalas dengan serangan udara ke titik-titik pertahanan Taliban.

Banyak pihak berharap kesepakatan damai AS-Taliban bisa menjadi landasan pijak untuk mengakhiri perang. Apa mau dikata, lazimnya sebuah kesepakatan politik berlaku adagium; the devil is in the details. Artinya, justru hal kecil teknis (tak tertulis) yang menjadi batu sandungan dalam implementasi perjanjian.

Dari proses dan isinya, perjanjian damai AS-Taliban memang sudah ‘cacat dari lahir’. Ada nuansa ambiguitas (keadaan mendua) dalam perumusannya sehingga menimbulkan kerancuan dalam implementasinya. Pertama, ada dua dokumen kesepakatan yang dibuat terpisah, yaitu US-Taliban Peace Agreement (antara AS dan Taliban) berisi kesepakatan mengurangi tingkat kekerasan, pertukaran tawanan perang, dan penarikan pasukan asing; dan USAfghanistan Joint Declaration (antara AS dan Pemerintah Afghanistan yang didukung AS) memuat komitmen memerangi teroris dan dukungan AS bagi aparat keamanan Afghanistan memerangi terorisme.

Ada ambiguitas

Adanya dua perjanjian untuk menyelesaikan satu masalah (konflik Afghanistan) mengundang tanya. Kalau tujuan kesepakatan itu untuk menghentikan konflik, mengapa harus dibuat dalam dua perjanjian terpisah; antara AS dan Taliban, serta antara AS dan Afghanistan? Pada titik inilah kerancuan dan ambiguitas bermula.

Salah satu isu krusial dalam resolusi konflik Afghanistan terkait pembebasan tawanan Taliban ialah syarat dimulainya negosiasi damai antara pemerintah Afghanistan dan Taliban. Namun, isu tawanan diatur berbeda di kedua dokumen perjanjian sehingga menimbulkan kerancuan dalam negosiasi teknisnya.

Di dalam kesepakatan AS-Taliban (peace agreement), AS mengurangi pasukannya di Afghanistan dari 12 ribu personel menjadi 8.600 dalam waktu 4,5 bulan dan melepas 5 ribu pejuang Taliban sebelum negosiasi damai yang direncanakan pada 10 Maret lalu. Sebagai imbalannya, AS menuntut Taliban agar tidak lagi mendukung teroris beroperasi di Afghanistan.

Sementara itu, di dalam deklarasi bersama AS-Afghanistan (joint de claration), jadwal pembebasan tawanan tidak disinggung. Deklarasi hanya menyatakan, Afghanistan ‘will participate in a US facilitated discussion with Taliban representatives on confidence building measures’, tanpa merinci jadwal dan jumlah tawanan yang akan dibebaskan.

Isu pembebasan tawanan mencuatkan dua masalah bagi Afghanistan. Pertama, tidak dirincinya isu tawanan dalam deklarasi menempatkan pemerintah Afghanistan dalam posisi sulit ketika harus berunding dengan Taliban.

Pemerintah tak punya landasan politik ketika memutuskan isu tawanan. Jika tidak ada kejelasan, isu tawanan bisa menyebabkan perundingan damai berlarut-larut. Ini salah satu batu sandungan dalam perundingan damai dengan Taliban nanti.

Kedua, berbeda dengan deklarasi bersama AS-Afghanistan, perjanjian damai AS-Taliban menetapkan secara eksplisit jadwal pembebasan
tawanan Taliban. Akan tetapi, masalahnya ialah tawanan Taliban itu kini ada di tangan pemerintah Afghanistan. Celakanya, pemerintah
Afghanistan tidak menjadi bagian dari perjanjian damai AS-Taliban.

Bagaimana bisa Afganistan patuh pada perjanjian yang mereka sendiri tidak menjadi bagian dari perjanjian itu? Bisa dimengerti jika mereka merasa tidak harus memenuhi komitmen pembebasan tawanan. Di sinilah letaknya titik tengkar antara pemerintah Afghanistan dan Taliban. Karena tidak dilibatkan dalam perjanjian perdamaian AS-Taliban, pemerintah Afghanistan ogah-ogahan membebaskan tawanan Taliban.
Pemerintah hanya akan melepas tawanan secara bertahap.

Namun, Taliban menuntut pembebasan 5 ribu tawan an sekaligus sebagai syarat dimulainya negosiasi damai. Tak tercapai kesepakatan. Buntu, akhirnya Taliban melakukan serangan lagi terhadap pasukan AS dan pemerintah. Kekerasan berulang lagi. Gagal sudah rencana negosiasi antarrakyat Afghanistan yang dijadwalkan 10 Maret lalu

AS setengah hati

Merebaknya lagi kekerasan ini boleh jadi karena adanya pengaturan yang ambigu terkait pembebasan tawanan. Pengamat berspekulasi bahwa ambiguitas ini justru menguntungkan AS secara politik. Itu karena jika Taliban dan pemerintah terus bertikai, AS akan tetap menjadi ‘penengah’ dengan daya tawar (bargaining power) yang tinggi visa vis Taliban dan pemerintah Afghanistan. Atau, kebuntuan politik ini justru menjadi justifikasi politik AS untuk terus menempatkan militernya di Afghanistan. Tidak mengherankan jika banyak pemerhati menilai AS setengah hati dalam mendamaikan rakyat Afghanistan.

Kedua, terkait dengan kesepakatan gencatan senjata. Di dalam perjanjian damai AS-Taliban tidak ada referensi gencatan senjata secara eksplisit. Yang disebut hanya ‘pengurangan tindakan kekerasan’ (reduction in violence) sebelum dimulainya negosiasi antarrakyat Afghanistan.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pun mengindikasikan bahwa AS dan Taliban sepakat untuk ‘mengurangi kekerasan’ menjelang negosiasi itu. Muncul pertanyaan, mengapa tidak ‘menghentikan kekerasan’ sehingga negosiasi untuk perdamaian benar-benar dapat terlaksana? Kekerasan tentu merujuk kepada tindakan terorisme. Di Afghanistan, masih ada 20 kelompok teroris yang masih berkeliaran. Namun, dengan tewasnya Abu Bakar al-Baghdadi, pimpinan teroris Islamic State (IS), terorisme tak terlalu jadi momok lagi bagi AS.

Akan tetapi, dengan semakin panasnya hubungan AS dan Iran di Timur Tengah, terutama di Irak, AS tentu masih menganggap penting kehadiran pasukannya di Afghanistan (Carter Malkasian, How the Good War Went Bad, America’s Slow-Motion Failure in Afghanistan, Foreign Affairs, Maret/April 2020).

Bisa jadi AS sengaja ‘memelihara’ kekerasan agar Afghanistan tetap bergantung pada AS dalam hal militer untuk bertempur melawan Taliban--sebuah justifi kasi politik bagi kehadiran militer AS di Afghanistan. Permainan politik seperti ini memantik praduga, upaya solusi konfl ik di Afghanistan hanyalah ikhtiar perdamaian setengah hati.

Selagi pihak-pihak yang bertikai masih setengah hati menyelesaikan konflik, perdamaian masih akan tetap membayang dalam angan setiap rakyat Afghanistan. Entah sampai kapan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik