Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
KATA karakter semakin populer setelah pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia periode 2016-2019, Muhadjir Effendy, memastikan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) mulai dilaksanakan pada tahun ajaran 2017/2018.
Jika berbicara masalah karakter, tidak akan jauh dari masalah proses pelatihan, pembiasaan, dan keteladanan. Dalam buku Mengenang Bung Hatta, I Wangsa Widjaja mengutip tulisan Bung Hatta (1954) tentang karakter bahwa seseorang boleh genius atau berbakat, tetapi apabila tidak memiliki karakter, sama saja dengan tidak mempunyai kemauan untuk membela bangsanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang sekarang, Nadiem Anwar Makarim, menyatakan masih perlunya memfokuskan penciptaan pendidikan yang berbasis kompetensi dan karakter. Bangsa Indonesia di tengah kompetisi global yang serbadigital membutuhkan banyak sekali perubahan.
Untuk melakukan perubahan, diperlukan keberanian melangkah di era yang kini banyak dikendalikan oleh kode-kode virtual. Satu tindakan nyata yang dapat dilakukan sebagai guru salah satunya ialah menghidupkan literasi yang relevan dalam komunitas dunia digital yang lekat dengan pemrograman atau bahasa coding yang dimulai dari ruang-ruang kelas.
Namun, hal ini tak boleh lepas dari khitah membangun peradaban bangsa yang bermuara pada penguatan karakter peserta didik. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan bila tanpa dibarengi dengan prinsip gotong royong dan kolaborasi dari pemerintah pusat (kementerian) dan daerah, masyarakat, kepala sekolah, keluarga dan guru.
Literasi
Melalui literasi, siapa pun akan tergerak, terinspirasi, terakselerasi, lebih terampil, menguasai Iptek, bertalenta global, dan berubah kehidupannya karena cakrawala intelektualnya akan bertambah luas. Lebih-lebih di era globalisasi 3.0 ini, informasi begitu mudah didapatkan di mana saja dan kapan saja. Tentunya, menanamkan enam kemampuan literasi dasar, yaitu literasi bahasa dan sastra, literasi sains, literasi TIK ( teknologi informasi dan komunikasi), literasi finansial, literasi numerasi, dan literasi budaya dan kewarganegaraan akan menjadi penjaga gawang lapisan utama bagi diri kita dalam menghadapi pendidikan zaman sekarang. Saat ini dengan meruaknya artificial intelligence dan big data, literasi TIK sangat diperlukan dalam pengelolaan pendidikan.
Memang, karakter dan literasi ialah komponen dasar dalam proyeksi pendidikan era 4.0. Alat untuk mengembangkan keterampilan, yaitu jaringan digital, teknologi informasi, dan literasi. Lima puluh juta peserta didik dari generasi Y dan generasi Z atau generasi milenial yang akrab dengan dunia digital di 300 ribu sekolah, membutuhkan ketekunan dan kerja keras untuk membekali diri dengan literasi kontemporer. Bagaimanapun salah satu indikator keberhasilan pendidikan ialah literasi. Prioritas utama tetap membangunan sumber daya manusia yang berkarakter atau menjunjung moralitas.
Permasalahan bangsa ini akan semakin menggunung jika penyakit kronis masih terus menggerogoti jantung pendidikan kita. Hal itu ditandai dengan semakin maraknya tindakan amoral, seperti radikalisme, korupsi, human trafficking, terorisme, penggunaan obat-obatan terlarang, kekerasan oleh siswa terhadap siswa, oleh siswa terhadap guru, oleh guru terhadap siswa, dan oleh orangtua terhadap guru. Oleh karena itu, program PPK secara memerinci memuat 18 nilai–nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa, serta penanaman nilai spiritualitas, harus menjadi landasan dalam penerapan teknologi ultramodern. Semua itu dilakukan untuk mengakselerasi perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di era yang penuh disrupsi ini.
Berbasis jejaring
Guru yang berada dalam society 4.0 bahkan 5.0 dituntut dapat berperan sebagai fasilitator dan pendamping dalam proses pembelajaran yang berbasis jejaring. Peserta didik sekarang dapat dengan mudah mengakses sumber-sumber referensi melalui search engine, situs repository video, dan memanfaatkan electronic mail dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran di era 4.0, yaitu blended learning atau gabungan antara metode tatap muka tradisional dan penggunaan media daring atau digital.
Guru dapat memberi tugas mencari referensi dari tayangan bermutu. Bisa juga mengarahkan peserta didik untuk mencari atau mengunduh tayangan yang bersifat edukatif, yang dapat menambah pengetahuan dan mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Bukankah beragam ilmu pengetahuan sudah tersedia di cloud computing?
Guru juga dapat mengarahkan peserta didik untuk mengikuti kegiatan yang bisa mengembangkan potensi mereka melalui kegiatan eksperimen dengan media digital, kelompok belajar membuat karya-karya kreatif menggunakan software yang ada, proyek dengan memanfaatkan sosial media, mobile learning dengan menggunakan perangkat canggih, seperti smartphone, komputer, riset sederhana, ekstra kurikuler, kegiatan literasi atau extensive reading.
Dengan menerapkan pola pembelajaran seperti itu, berarti seorang guru telah mengembangkan karakter pembelajaran bagi warga pribumi digital (digital native) yang meliputi 4C, antara lain communication (komunikasi), yaitu mengajarkan kemampuan komunikasi yang efektif, collaboration atau kerja sama, critical thinking and problem solving sebagai kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan creativity and innovation, yaitu kemampuan berpikir berbasis penemuan.
Globalisasi 3.0 penuh dengan generasi bebas (langgas), bukan digital immigrant atau kaum imigran digital. Menteri Nadiem mengatakan bahwa teknologi menjadi instrumen yang diandalkan untuk memecahkan permasalahan pendidikan.
Akhirnya, tulisan ini penulis tutup dengan kutipan dari Alfin Toefler yang menyatakan bahwa di era ini, orang buta huruf ialah orang yang tidak menguasai ICT. Globalisasi ialah a boardless world, yaitu dunia tanpa batas yang menawarkan teknologi dan konektivitas.
Stakeholder di dunia pendidikan, baik pemerintah, praktisi pendidikan, guru, pemerhati pendidikan, pengelola sekolah, keluarga maupun masyarakat umum, harus mampu membaca perubahan zaman. Jika mengajari peserta didik sekarang dengan metode yang kita gunakan dulu, sama artinya dengan merampas masa depan mereka. Mari optimalkan teknologi dalam pedagogi siber bagi pembelajar sepanjang hayat (life-long learner) sehingga tercipta link and match di institusi pendidikan dengan industri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved