Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
HUKUM internasional tidak mengenal referendum bagi wilayah yang sudah merdeka. Bukan hanya hukum nasional yang melarang referendum bagi Papua, melainkan juga hukum internasional.
Saya sependapat dengan Prof Mahfud MD yang dalam ceramah di Solo baru-baru ini yang menyebutkan, hukum Indonesia tidak mengenal referendum untuk penentuan nasib sendiri bagi daerah yang sudah dikuasai.
Referendum bagi penentuan nasib sendiri hanya dapat dilakuan dalam konteks kolonialisme, dan ini sudah dilakukan oleh Papua bersama seluruh wilayah NKRI lainnya bersama-sama pada 17 Agustus 1945.
Keinginan segelintir kelompok untuk referendum bagi Papua bukan lagi penentuan nasib sendiri namun masuk kategori separatisme. Sayangnya hukum internasional tidak mengakui adanya hak separatisme bagi suatu bagian wilayah, karena hukum ini mengenal prinsip penghormatan terhadap integritas wilayah negara.
Sayangnya masih ada opini yang dikembangkan oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa, seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timor Timur, sehingga menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua. Padahal ini pandangan keliru yang tidak paham hukum internasional, sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timor Timur.
Timor Timur itu adalah non-self governing territory yang terdaftar dalam daftar Komite 24 PBB, yang berarti berhak atas penentuan nasib sendiri. Sedangkan Papua tidak pernah masuk list PBB ini karena statusnya sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 1945, dan sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri. Jika Papua masih diberikan hak menentukan nasib sendiri, ini ibaratnya dia dilahirkan dua kali.
Tuntutan pengulangan referendum akan bertentangan dg prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB yaitu teritorial integrity dan uti possidetis yuris;
1. Pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera telah sesuai dengan prinsip prinsip hukum internasional dan Piagam PBB.
2. Masyarakat Papua telah melakukan self determination oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI. Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan;
Prinsip self determination dalam konteks dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang ulang. Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam kontek kolonialisme atau non governing territory.
Masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut, khususnya dengan memberikan Otonomi Khusus melalui UU No.21 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.
Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah Resolusi tersebut. Keputusan ini diterima secara mayoritas oleh anggota PBB. Sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian dirubah atau dipertimbangkan kembali.
Nikita Mirzani meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk meluruskan hukum di Indonesia, usai menjalani sidang dakwaan kasus pemerasan.
PRESIDEN Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 yang mengatur pembebasan bersyarat bagi saksi pelaku yang bertindak sebagai justice collaborator.
Bayu melaporkan bahwa struktur kepengurusan baru telah terdaftar secara resmi melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-0000825.AH.01.08.TAHUN 2025.
Hanna Kathia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dan konsern mengembangkan spesialisasinya dalam bidang arbitrase, korporasi, litigasi hingga kekayaan intelektual.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved