Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Njajah Desa Milang Kori

Ono Sarwono
18/8/2019 00:40
Njajah Desa Milang Kori
Pigura(MI)

DALAM rangka memeriahkan peringatan hari ulang tahun ke-74 kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menanggap wayang kulit dengan dalang Ki Manteb Soedharsono di halaman Istana Merdeka, Jakarta, pada 2 Agustus lalu. Lakon yang dipergelarkan Kresna Jumeneng Ratu.

Secara garis besar, cerita itu mengisahkan perjalanan kesatria bernama Narayana (Kresna) yang menjadi raja di Negara Dwarawati. Ia meraih posisi sebagai pemimpin bukan karena pemberian atau mewarisi takhta orangtuanya, melainkan berkah perjuangannya sendiri. Ini kisah sukses mencapai puncak kekuasaan yang bukan galibnya dalam dunia wayang.

Namun, ‘diksi’ yang disanggitkan Ki Manteb dalam membawakan kisah itu ialah pada kesukaan Narayana blusukan ke dusun-dusun dan bergaul dengan berbagai kalangan. Kebiasaan yang tidak disenangi orangtua angkatnya serta saudaranya itulah yang justru pada akhirnya mengantarkannya menjadi raja gung binathara.


Tinggal di Widarakandang

Pada umumnya warga mengenal Narayana sebagai warga biasa yang tinggal di Dusun Widarakandang, kawasan pelosok yang masuk wilayah Negara Mandura. Dusun itu terkenal asri, tanahnya subur, dan mayoritas warganya hidup dari hasil pertanian. Rumah yang ditempati Narayana beserta saudaranya berada di dekat sungai yang airnya bening. 

Berdasarkan data kependudukan di dusun tersebut, Narayana tercatat sebagai putra pasangan demang Antagopa-Ken Sagopi. Ia memiliki dua saudara kandung, yakni Kakrasana dan Bratajaya. Dalam dokumen kartu keluarga, tertera Narayana memiliki empat saudara lainnya, yakni Udawa, Larasati, Pragota, dan Adimanggala.

Berbeda dengan Kakrasana, masa kecil Narayana suka keluar rumah, dolan. Ini berbeda dengan kakaknya itu yang menjadi anak rumahan, gemar membantu bapaknya bertani di sawah dan berkebun di ladang. Kakrasana juga dikenal suka memelihara hewan.

Ketika menjelang dewasa, kesukaaan Narayana mblayang (meninggalkan rumah) tidak berkurang. Malah, kalau sebelumnya masih dalam satu wilayah dusun, ia semakin meluaskan langkahnya, masuk-keluar desa lainnya. Jika sebelumnya pergi hanya dalam hitungan jam, lalu menjadi seharian, beberapa hari, hingga minggu.

Kebiasaan yang dinilai keluarganya sudah kelewat itulah yang membuat Antagopa dan istrinya waswas. Ini karena suami-istri itu merasa bertanggung jawab atas perkembangan anak-anaknya. Keduanya takut terjadi apa-apa pada Narayana karena nyawa mereka taruhannya.

Kenapa demikian? Karena sesungguhnya Kakrasana, Narayana, dan Bratajaya ialah putra-putri kandung Raja Mandura, Prabu Basudewa. Ketiganya sengaja disingitkan (disembunyikan) Basudewa ke Widarakandang agar digulawentah (dididik) Antagopa seperti warga desa biasa lainnya. Di samping itu, memang ada alasan politis guna menghindari perilaku jahat Kangsa yang ingin menguasai takhta Mandura.

Setiap pulang dari bepergian, Antagopa selalu ‘menceramahi’ Narayana agar tidak meninggalkan rumah sampai berlama-lama. Itu karena dirinya sangat khawatir jika terjadi sesuatu. Udawa juga tidak luput dari teguran karena ia selalu mengikuti Narayana ke mana pun pergi. 

Kakrasana pun mengingatkan, bahkan meminta adiknya untuk menghentikan tabiat yang suka mblayang. Itu juga karena menurut kabar yang ia terima, Narayana ternyata bergaul dengan orang-orang jahat.


Memimpin Dwarawati

Narayana menerima dengan lapang dada semua nasihat orangtua dan kakaknya. Tidak ada sekelumit pun bantahan atau pembelaan diri. Hanya dalam hatinya, ia tidak sependapat bila dirinya disebut suka mblayang karena itu berkonotasi buruk.  

Narayana merasa belum waktunya mengungkapkan apa sesungguhnya niat dan tujuan sejati di balik kebiasaannya meninggalkan rumah. Udawa pun ia wanti-wanti agar tidak membuka mulut kepada siapa pun tentang apa rahasia yang ia lakukan selama ini.
Sesungguhnya, Narayana blusukan dari kampung ke kampung, desa ke desa, bahkan tidak jarang mesti melewati hutan belantara untuk mempelajari langsung kehidupan warga. Ia ingin tahu kondisi warga, harapan dan keinginan mereka. Pun Narayana bisa melihat langsung kondisi serta lingkungan hidup di setiap desa yang dia datangi.

Maka itu, tidak aneh bila Narayana bergaul dengan siapa saja. Dari sana, ia mempelajari apa yang sedang terjadi. Dari sana pula ia memahami segala persoalan masyarakat. Bahkan, dari sana pula ia belajar hidup dan sekaligus menimba ilmu dari praktik kehidupan rakyat.

Di sisi lain, Narayana juga belajar dari setiap guru, resi, maharsi, begawan yang ia temui, baik menyerap ilmu kanuragan maupun kebatinan. Inilah yang menyebabkan ia lama meninggalkan rumah karena nyantrik (menjadi siswa) guru.

Salah satu begawan yang sangat ia hormati dan kagumi ialah Padmanaba di Pertapaaan Untarayana. Dari kegenturannya meguru (menjadi siswa), Narayana mendapatkan ilmu dan pusaka ampuh, di antaranya cakra yang bisa untuk membinasakan semua makhluk serta kembang wijayakusuma yang kesaktiannya bisa menghidupkan titah mati yang belum kodratnya.

Rahasia manfaat blusukan Narayana baru terkuak ketika ia menjadi duta Raja Dewa Bathara Manikmaya (Guru) mengenyahkan Raja Dwarawati Prabu Yudakalakresna yang mengganggu Kahyangan. Dengan pusakanya, Narayana membinasakan raja berwujud buta itu. Sebelumnya, Yudakalakresna menguasai Kahyangan tanpa mampu dihalau para dewa. Atas jasanya, dewa memberikan Negara Dwarawati kepada Kresna. 


Niat dan komitmen

Poin dari kisah itu, meski Narayana ialah pangeran, anak raja, tapi  ia menggapai kekuasaan merangkak dari bawah, berangkat dari menjadi rakyat biasa dan bertempat tinggal di dusun terpencil. Ia tidak berpangku tangan dan menerima warisan dari orangtua. 

Dari perspektif politik, laku blusukan yang dilalukan Narayana (Kresna) itu merupakan salah satu konsep kepemimpinan. Ia merupakan tipe pemimpin yang tidak betah berkantor di satu tempat, istana. Ia terus belajar langsung dari rakyat, karenanya tidak terpisahkan dari rakyat.

Dalam kearifan lokal, konteks dengan makna blusukan itu, ada ungkapan peribahasa tirakatif, njajah desa, milang kori (menjelajahi desa, menghitung pintu). Maknanya, melakukan perjalanan ke berbagai wilayah untuk mengenal kehidupan dan memahami kondisi penduduknya.

Bagi pemimpin, blusukan seperti itu tentu sangat penting karena bisa untuk benar-benar mengetahui langsung denyut nadi kehidupan rakyatnya. Namun, laku ini tidak ringan atau gampang karena dibutuhkan niat dan komitmen serta integritas dari sang pemimpin sejati. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya