Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

`Militerisasi Mindset Nasionalisme  

Ikhsan Yosarie Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute 
06/8/2019 00:20
`Militerisasi Mindset Nasionalisme  
Ilustrasi(Thinkstock)

WACANA-WACANA yang cenderung mengarah kepada penggunaan aparat militer di ranah sipil kembali muncul ke ruang publik setelah beberapa waktu yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina para peserta didik baru. 

Wacana itu mengemuka pada Rapat Koordinasi antara Kemendikbud dan TNI mengenai Pengenalan Lingkungan Sekolah, di Kantor Kemendikbud, Jakarta, pada pada 21 Juni lalu.

Dalam website Kemendikbud dijelaskan bahwa pembinaan difokuskan pada karakter nasionalisme siswa dengan materi mengacu pada Kemendikbud. Karakter utama yang diajarkan mengenai nasionalisme yang bertujuan menangkal paham radikalisme di kalangan siswa. 

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada masa pengenalan lingkungan sekolah (PLS) mulai jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, juga menjelaskan materi pembinaan akan bersumber kepada penyiapan karakter siswa berdasarkan empat pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut Panglima Hadi, hal ini untuk menyiapkan karakter siswa dalam menghadapi bonus demografi pada 2045.

Untuk mendukung PLS tersebut, Panglima Hadi Tjahjanto menjelaskan, TNI akan mempersiapkan personel yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia melalui teritorial TNI di Koramil (Komando Rayon Militer), Lanal (Pangkalan TNI Angkatan Laut), Lanud (Pangkalan Udara Militer), sehingga mudah menjangkau (siswa) di wilayah terpencil, termasuk wilayah perbatasan. Materi PLS menyesuaikan dengan arahan Kemendikbud.

Mindset dan peraturan
Massifnya narasi-narasi yang berkaitan dengan radikalisme dan intoleransi, serta kenakalan remaja yang berakibat mundurnya kualitas generasi muda, memang harus dilawan dengan antitesisme. Salah satunya yang berkaitan dengan nasionalisme serta elemen-elemen yang terdapat dalam empat pilar kebangsaan. 

Narasi-narasi yang menjadi antitesis tersebut harus ‘dicairkan’ agar tidak menjadi konsep yang kaku. Jika menjadi konsep kaku, susah dikembangkan dan dijadikan bahan dialektika. Mengapa harus dicairkan? Karena narasi yang akan dilawan ialah isme, yang berarti pikiran kontra pikiran sehingga narasi tersebut diterima secara logis, bukan karena keterpaksaan.

Menjadi pertanyaan umum, untuk melawan radikalisme dan intoleransi di kalangan siswa sekolah, mengapa Kemendibud justru menggandeng militer? Padanan pertanyaannya, mengapa Kemendibud tidak menggandeng lembaga negara, seperti Kementerian Agama (Kemenag), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), ataupun lembaga-lembaga riset lainnya yang concern dan melakukan riset terkait dengan radikalisme dan intoleransi untuk membangun sebuah kurikulum atau pelatihan untuk guru dan siswa yang menonjolkan aspek nasionalisme? Cara-cara seperti ini tentu tidak menimbulkan persoalan lainnya jika dibandingkan dengan menggandeng militer.  

Upaya-upaya untuk melibatkan alat negara, dalam hal ini TNI, untuk tugas-tugas di luar tupoksi utamanya, tentu memiliki aturan main yang harus ditaati. Dalam kasus ini, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) menjadi acuannya. Namun, pada Pasal 7 ayat (2) UU TNI, dari 14 yang termasuk dalam operasi militer selain perang (OMSP), tidak ada satu pun poin yang menyebut sektor pendidikan ataupun sekadar berkaitan dengan sektor pendidikan menjadi bagian dari OMSP sehingga menjadi pertanyaan mendasar, apa dasar Kemendikbud menggandeng TNI untuk urusan sektor pendidikan? Apakah Kemendikbud tidak membaca bahwa sektor pendidikan tidak termasuk dalam OMSP? Pun TNI seharusnya bisa menerima (jika sesuai UU TNI) dan menolak (jika tidak sesuai UU TNI).

Persoalan ini berefek domino kepada ketidakterpenuhan ihwal kebijakan dan keputusan politik negara sebagai landasan bergeraknya alat negara, dalam hal ini TNI. Pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (3) disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya di bidang pertahanan negara dan menjalankan OMSP, harus dilaksanakan berdasarkan keputusan politik negara. Penjelasan mengenai keputusan politik negara dijelaskan pada pasal 5 bagian penjelasan UU TNI sebagai kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam akun Twitter-nya pada 21 Juni 2019, Kemendikbud mengetwit bahwa upacara bendera dan latihan baris-berbaris ialah contoh atau bentuk pembinaan nasionalisme paling mendasar yang akan dilakukan. Pada titik ini, tentu tidak ada persoalan. Namun, ketika perspektif ini diterapkan kepada anak-anak sekolah, tentu akan menjadi kendala karena filosofi nasionalisme dicontohkan dengan hal-hal yang cenderung dekat dengan militeristik dan dimentori militer secara langsung. Padahal, di sisi lain masih ada Pramuka dan Purna Paskibraka Indonesia. 

Perlu diperhatikan juga bahwa jika latihan baris-berbaris dijadikan acuan pembinaan nasionalisme paling mendasar, nilai-nilai yang terkandung dalam baris-berbaris, seperti komando, instruktif, kesamaan, dan serentak akan masuk dalam pemahaman dan mindset anak sekolah tentang nasionalisme. Sementara itu, pemahaman dan pengaplikasian nasionalisme akan beragam sesuai dengan bidang masing-masing, seperti para atlet dan pendiri startup yang mengharumkan nama bangsa melalui bidangnya. Kemendikbud seharusnya fokus untuk melahirkan insan-insan yang kritis, inovatif, dan bergagasan melalui sistem pendidikan nasional kita. 

Tentu menjadi pertanyaan bersama, mengapa untuk membina karakter, kedisiplinan, dan nasionalisme peserta didik di sekolah harus melibatkan TNI yang secara kultur berbeda sehingga metodenya pun akan berbeda? Di sisi lain, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana startup tumbuh subur di Indonesia. Menjadi pertanyaan, bukankah orang-orang yang mendirikan startup itu juga disiplin, memiliki karakter kuat, dan juga cinta Tanah Air? Tentu mereka punya, terlebih mereka juga mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia serta membantu membuka lapangan kerja. 

Selain itu, para atlet nasional kita pun juga tidak kurang dengan disiplin, karakter, dan nasionalisme. Agar lebih relevan, baik secara kultur maupun metode, cara dan pendekatan yang digunakan, mengapa Kemendikbud tidak menggandeng mereka saja dalam pembangunan disiplin, karakter, dan nasionalisme di sekolah-sekolah? Ini bukan persoalan benar atau salah, melainkan soal relevansi. 

Masuknya militer ke ranah sipil, di luar konteks ketentuan OMSP, tidak hanya datang dari intervensi militer, tetapi juga tarikan atau dorongan dari institusi sipil. Pada titik ini, harus disadari bahwa reformasi TNI, secara umum alat negara, harus berjalan dua arah atau timbal balik, yakni tidak hanya menuntut profesionalisme TNI, tetapi institusi sipil pun harus memastikan bahwa kebijakan mereka searah dengan reformasi TNI serta menghormati upaya reformasi yang tengah dilakukan TNI.
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya